Sunday 23 August 2009

PENGEMBANGAN KETAHANAN LOKAL DALAM RANGKA MEMELIHARA KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA 

Oleh Djohan Effendi

 ”Malu aku jadi orang Indonesia,” demikian salah satu judul sajak Taufik Ismail yang sekaligus juga menjadi kumpulan sajak-sajak terakhirnya. ”Belum pernah saya smearah, sesedih dan semalu saat ini” kata Taufik Abdullah dalam pertemuan yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama tanggal 5 Desember 1998 untuk mengadakan refleksi atas berbagai kasus kerusuhan yang mengganggu hubungan antar umat berbagai agama yang terjadi di berbagai tempat di Tanah Air kita dalam beberapa tahun terakhir ini. Ungkapan-ungkapan di atas agaknya menggambarkan perasaan banyak orang sehubungan dengan berbagai kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa, harta dan keretakan sosial yang sangat memprihatinkan bahwa betapa masyarakat seakan-akan telah kehilangan akal sehat dan pikiran jernih. Peristiwa-peristiwa tersebut sukar dipercaya tapi tokh terjadi juga. Saat inipun kita masih saja diselimuti dan dicekam oleh perasaan was-was bahwa peristiwa-peristiwa semacam itu masih saja akan terjadi dan terjadi lagi. 

 Diperlukan tindakan hukum terhadap para pelaku kerusuhan itu. Itu memang tuntutan masyarakat. Tanpa penegakan hukum yang adil dan berlaku untuk setiap dan semua orang ketertiban masyarakat sukar diwujudkan. Hanya saja kita khawatir bahwa kerusuhan-kerusuhan tersebut cuma bagaikan letusan gunung berapi. Kita tidak mungkin mengelakkan dan menghindari letusan-letusan berikutnya kalau berbagai krisis multidimensional yang kita hadapi saat ini tidak kunjung teratasi, krisis yang pada hakikatnya merupakan akumulasi kesalahurusan kehidupan bernegara sehingga melahirkan kekecewaan, kecurigaan, kegeraman dan bahkan penderitaan masyarakat yang menggumpal menjadi magma potensi konflik yang tidak terukur dan sewaktu-waktu bisa meledak menjadi kerusuhan sosial. Karena itu yang tidak kurang diperlukan adalah diagnosa yang telat hal-hal yang menyebabkan krisis multidimensional itu muncul sehingga akan diperoleh terapi yang tepat.

 Kerukunan Selama ini Semu!
 
Ungkapan di atas adalah tajuk berita Harian Sore Suara Pembaruan terbitan 3 Februari yang lalu. Bunyi tajuk itu adalah kesimpulan team Komite Nasional Hak-Hak Asasi Manusia setelah melakukan kunjungan investigasi ke Ambon sehubungan dengan kerusuhan yang terjadi di sana. Memang berbagai peristiwa kerusuhan akhir-akhir ini benar-benar menyentak dan menghentak hati kita sekaligus membuat kita merasa pilu dan malu. Kita dipaksa untuk merenungkan dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu bisa terjadi. Apa yang kita bangga-banggakan sebelumnya, dan hal ini diakui oleh orang luar, bahwa bangsa kita merupakan salah satu contoh tentang bagaimana berbagai agama besar dunia hidup dan berkembang secara rukun, kini sirna sudah. Kelu lidah kita untuk menyebut-nyebutnya lagi. Mudah-mudahan hal ini tidak akan berlangsung untuk selama-lamanya. Namun pasti, untuk memulihkan kembali suasana yang hilang itu diperlukan tekad, kerja sama dan waktu. Mungkin juga diperlukan keberanian untuk tidak populer dan disalahpahami. Sebab saat ini, kata dr. Sulastomo, masyarakat kita diliputi oleh suasana yang membuat orang mudah marah. Bahkan orang yang tidak ikut-ikut marah bisa-bisa dicurigai, dianggap bukan orang ”kita” tapi orang ”mereka”. 

 Menyimak berbagai kerusuhan yang terjadi selama ini kita melihat betapa beragam bentuk perwujudannya dan betapa pula kompleksitas faktor penyebabnya. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat itu mewujud dalam berbagai bentuk kekerasan, penjarahan dan perusakan, tidak hanya terhadap milik pribadi akan tetapi juga milik pemerintah atau negara bahkan terhadap simbol-simbol keagamaan yang kelihatannya dilakukan dengan gembira tanpa merasa berdosa. Kita ragu menyatakan bahwa kerusuhan itu merupakan konflik agama (semata) namun sulit untuk menafikannya sama sekali. Sebab, nyatanya sejumlah perusakan sejumlah rumah-rumah ibadah yang dianggap sakral dan merupakan simbol kehadiran sebuah agama dan komunitas para pemeluknya terjadi. Kemungkinan faktor-faktor lain berperan sebagai sumber penyebabnya juga sukar dibantah. Misalnya masalah kaum pendatang dan penduduk asli tampak kentara dalam kasus Kupang, Ambon dan Kalimantan Barat yang sekarang sedang berkecamuk untuk ke sekian kalinya. Kalau dalam kasus Kupang dan Ambon, misalnya ada bias dan nuansa pekat dari perbedaan agama kasus yang terjadi di Kalimantan Barat justru terjadi antara dan melibatkan paling kurang dua suku yang seagama. Mungkin saja kasus-kasus ini sedikit banyak didorong oleh kesenjangan ekonomi karena kaum pendatang biasanya bekerja lebih ulet dan lebih berhasil sehingga menguasai sektor perekonomian lokal. Atau mungkin juga kerusuhan itu muncul sebagai akibat konflik budaya yang selama ini tidak kita perhatikan dan kita khawatirkan sehingga diabaikan dan tidak dianggap masalah serius. Tapi bagaimana kita menerangkan kerusuhan yang terjadi di daerah Indramayu, misalnya, yang justru terjadi di antara dua kelompok etnis yang sama dan merupakan pemeluk agama yang sama pula. Lalu kita juga melihat berbagai kerusuhan yang memperlihatkan seakan-akan ada gejala konflik antara rakyat dan penguasa, yang untuk batas tertentu, mengisyaratkan gejala ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan dan pemerintahan. Perusakan markas-markas kepolisian dan kantor-kantor pemerintah dari tingkat lurah hingga bupati, dan juga DPRD, memperlihatkan kecenderungan itu. Hal itu menunjukkan bahwa problem kerukunan hidup beragama bukan sebuah barang jadi. Ia lebih merupakan sebuah kondisi yang bergerak bahkan labil dalam sebuah proses sosial yang tidak immun dari pengaruh lingkungan sosial, ekonomi, politik dan budaya. 

 Budaya Kekerasan: Sebuah Gejala yang Sangat Memprihatinkan

 Kasus-kasus kerusuhan di atas memperlihatkan bahwa salah satu tantangan serius yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah fenomena muncul dan merebaknya budaya kekerasan bahkan tidak jarang bersifat sadisme yang tak berprikemanusiaan. Fenomena ini sungguh sangat mencemaskan. Ironisnya adalah bahwa gejala sadisme ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang mudah main hakim sendiri dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan akan tetapi juga dilakukan aparat negara sebagaimana sering diungkapkan oleh mereka yang mengalami siksaan ketika diinterogasi. Budaya kekerasan ini ikut mewarnai berbagai kerusuhan akhir-akhir ini sebagaimana terlihat dari korban-korban yang terbunuh bahkan secara sangat mengenaskan.

 Muncul dan merebaknya budaya kekerasan ini perlu beroleh perhatian yang serius. Masalah ini memang sangat kompleks. Kehidupan masyarakat kita sangat kondusif untuk tumbuhnya budaya kekerasan. Kehidupan rumah tangga, pendidikan di sekolah, kondisi lingkungan perumahan, misalnya, bisa merupakan faktor yang besar pengaruhnya, langsung ataupun tidak, terhadap munculnya budaya kekerasan. Kelangkaan buku-buku bacaan di perpustakaan sekolah, kurang dipentingkannya pendidikan seni untuk mengembangkan rasa estetika dan kegiatan olah raga untuk menyalurkan energi dan seklaigus untuk mengembangkan sportivitas, juga bisa memberikan andil bagi lahirnya budaya kekerasan. Keserakahan para ”developer” perumahan yang tidak segan-segan merusak keindahan alam yang dianugerahkan Tuhan dengan menimbun telaga atau danau, dan meratakan bebukitan, dan kepelitan untuk menyediakan lahan untuk taman dan sarana olah raga, secara tidak langsung tidak membantu menyediakan lingkungan fisik yang bisa memperkecil munculnya budaya kekerasan.

 Berbagai kerusuhan sosial apalagi budaya kekerasan mengisyaratkan bahwa kemampuan rakyat untuk menangani konflik yang terjadi sebagai akibat pluralitas masyarakat kita sudah sangat menyusut. Gejala ini sangat berbahaya karena pluralitas masyarakat kita cukup kompleks dan sering bertumpang tindih sehingga satu insiden kecil bisa berkembang atau dikembangkan menjadi sebuah kerusuhan sosial yang tidak relevan dan tidak masuk akal seperti telah kita alami akhir-akhir ini. Hal ini bisa terjadi karena pluralitas masyarakat kita dihadapkan pada situasi krisis sosial, politik dan ekonomi yang sangat serius dan kompleks yang membuat banyak orang mengalami stress dan kehilangan akal sehat untuk berpikir jernih. Akibatnya masyarakat kita bagaikan timbunan jerami kering di musim kemarau, tanpa sulutan api pun bisa dan mudah terbakar.

 Pluralisme: Sebuah Realitas yang Perlu Ditangani

 Pluralitas masyarakat di manapun adalah sebuah relasi eksistensial yang terbentuk dari perbedaan yang ada secara kodrati dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Tak seorang manusia pun sama dengan manusia lainnya walau mereka lahir sebagai saudara kembar. Kesaksian dari ”dactylosopy”, pengetahuan tentang sisik jari bahwa tak ada cap jempol yang sama adalah contoh paling nyata bahwa tak ada dua orang manusia yang absolut sama. Mungkin saja sangat mirip tapi tidak mungkin persis sama. Sebuah masyarakat terdiri dan terbentuk dari banyak orang yang merupakan warganya. Kalaulah ada sebuah masyarakat tradisional yang dianggap homogen namun pasti homogenitasnya itu relatif sifatnya sebab di dalamnya pasti ada unsur-unsur yang berbeda sehingga tak akan terelakkan adanya heteroginitas betapapun kecilnya. Lebih-lebih lagi sebuah masyarakat, bagaimanapun, bukanlah sebuah kumpulan makhluk organis yang statis, yang tidak mengalami perubahan. Perubahan itu, entah berlangsung secara alami atau direncanakan, tentu sangat bervariasi coraknya sehingga makin memperkaya dan menambah kompleksitas perbedaan. Karena itu tidak mungkin dihindari bahwa pluralitas yang ada secara kodrati kemudian secara sosial dan kultural terus mengalami perkembangan dalam gerak dinamika kehidupan manusia dan masyarakat yang multidimensional sifatnya, dan dengan sendirinya akan melahirkan berbagai visi tentang kehidupan dan masa depan, melahirkan pandangan dunia (worldview) dan membentuk cara hidup (way of life) yang berbeda-beda. 

 Untuk batas tertentu pluralitas bisa dilihat sebagai kekayaan namun dalam perkembangannya ia tidak hanya berhenti pada perbedaan sekedar dan sebagai perbedaan semata tapi mungkin saja perbedaan itu bersifat diametral dan antagonistik sehingga sebenarnya bukan lagi perbedaan melainkan sebuah pertentangan. Tantangan yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat adalah bukan menghilangkan perbedaan dan pertentangan sebagai realitas sosial dan kultural melainkan bagaimana mengelolanya agar tidak beralih menjadi pertikaian dan lebih jauh mengarahkannya secara cerdas dan keratif menjadi persaingan (competition) yang sehat di satu sisi dan kerja sama (cooperation) yang produktif di sisi lain. 

 Multikulturisme: Sebuah Keniscayaan

 Pluralitas yang muncul dalam proses kehidupan bangsa kita mewujud dalam dua bentuk: pluralitas horizontal dan pluralitas vertikal. Yang pertama terlihat misalnya dalam perbedaan etnis atau ras dan agama sedangkan yang kedua terlihat umpamanya dalam perbedaan peran politik antara penguasa dan rakyat, dalam kemampuan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, dan dalam tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dan masyarakat awam. Tentu saja pluralitas vertikal ini tidak dikaitkan dengan pluralisme tradisional yang memberlakukan perbedaan strata sosial dalam pelembagaan yang bersifat diskriminatif. Kedua-duanya, pluralitas horizontal dan pluralitas vertikal kita terima sebagai realitas sosial dan tentu saja seharusnya juga dalam kerangka pluralisme moderen yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

 Mobilitas sosial yang didukung oleh kemudahan dalam dan untuk bepergian sebagai hasil kemajuan sarana-sarana transportasi membuat kontak-kontak horizontal warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya makin sering terjadi dan juga makin luas jangkauannya melampaui batas-batas geografis, lokal, regional bahkan nasional sehingga keragaman masyarakat makin kompleks. Perbedaan tingkat dan kadar kemampuan warga masyarakat, baik dilihat dari segi kebendaan, kecerdasan maupun kesempatan untuk memperoleh jalur lembaga pendidikan maupun media massa, mengakibatkan perbedaan kemampuan untuk mengembangkan diri dan meraih keberhasilan. Akibat lebih jauh adalah terjadinya pluralitas vertikal yang terwujud dalam tingkatan strata sosial baik politik, ekonomi maupun keterpelajaran. Perlu disadari dan dicatat bahwa pluralitas walaupun dalam batas tertentu merupakan kekayaan yang membentuk mozaik kultural sekaligus potensi dinamik bangsa kita namun hal itu juga bisa menjadi sumber konflik sosial. Karena itu diperlukan usaha untuk menumbuhan kesadaran untuk menerima perbedaan sebagai realitas natural maupun kultural sepanjang fungsional sifatnya dan tidak melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan. Dari perspektif ini kita bersinggungan dengan konsep pluralisme.

 Pluralisme tentu saja lahir dari kesadaran dan kesediaan menerima perbedaan untuk kemudian mengolahnya sebagai unsur kreatif masyarakat kita sebagai sebuah kesatuan yang mengandung dan merangkum kemajemukan. Dalam perspektif masyarakat kita yang multietnik perlu disadari bahwa masing-masing etnik tentu memiliki identitas budayanya sendiri. Tambahan lagi, kehadiran berbagai agama yang menjadi anutan masyarakat kita telah memperkaya kemajemukan bangsa kita. Kehadiran agama-agama itu tentu saja memasuki aspek batiniah budaya bangsa kita. Karena itu pluralisme dengan sendirinya identik dengan dan memang pada hakikatnya muradif atau sinonim multikulturisme. Semboyan Bhinneka Tungal Ika sebagai terpatri dalam lambang negara kita Garuda Pancasila menegaskan bahwa bangsa kita secara tegas menganut prinsip pluralisme. Dengan pluralisme di sini tidak kita maksudkan pluralisme ekstrem sebagai reaksi terhadap monisme yang mengatakan bahwa dunia ini terdiri dari jumlah tak terbatas dari unsur-unsur yang terpisah. Pluralisme yang perlu dan harus kita kembangkan adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap pluralistik, yakni sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajuan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat kita saling berinteraksi secara alamiah dalam proses yang saling memperkaya, dan diharapkan akan melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka, multikultural dan demokratis. Dalam kaitan ini kita perlu mengembangkan multikulturalisme yang tidak hanya mengakui tapi juga memberi tempat terhadap keragaman budaya dalam masyarakat kita sebagai perwujudan eksistensial dan fungsional dari pluralisme. 

 Pluralitas dan Kerukunan Hidup Beragama
 
 Pluralitas dalam konteks kehidupan keagamaan tidak hanya ditandai oleh kehadiran berbagai agama yang secara eksistensial memiliki tradisi yang berbeda satu sama lain akan tetapi juga ditandai oleh pluralitas internal masing-masing agama, baik berkenaan dengan aspek penafsiran maupun aspek pelembagaannya. Kedua-duanya saling terjalin satu sama lain. Pluralitas penafsiran tidak hanya melahirkan berbagai aliran atau mazhab bahkan juga sekte keagamaan akan tetapi juga melahirkan perbedaan kecenderungan pandangan dan sikap: eksklusifisme dan inklusifisme. Pluralitas kelembagaan yang melalui itu agama mendunia, memasuki ruang dan waktu, tampak dari dan mewujud dalam kehadiran, paling tidak, tokoh-tokoh agama, organisasi-organisasi keagamaan dan komunitas-komunitas agama.

 Perlu digarisbawahi bahwa pluralitas agama berkaitan dengan masalah yang sangat peka. Sebab agama berkaitan dengan keyakinan tentang sesuatu yang absolut benar, sesuatu yang ”ultimate”, yang menyangkut keselamatan hidup manusia setelah ”kematian”. Keyakinan tersebut diejawantahkan dalam keberagamaan, tidak hanya dalam wujud keyakinan theologis atau simbolisme ritual melainkan juga dalam wujud kegiatan yang secara langsung atau tidak bernuansa bahkan berdampak sosial.

 Ada berbagai opsi dalam masyarakat kita menjawab pluralitas keagamaan itu. Pertama adalah sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah sikap tidak saling mengganggu. Kedua adalah mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga adalah mencari dan mengembangkan dan merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab problema, tantangan dan keprihatinan umat manusia. Opsi pertama adalah sekedar tahap awal dan kondisi minimal untuk membangun kebersamaan masyarakat kita. Opsi ketiga merupakan landasan orang dapat hidup bersama dalam semangat persamaan dan kesatuan umat manusia. Opsi kedua merupakan perwujudan nyata dari kebersamaan itu.

 Dalam perspektif yang lain kita juga bisa menempatkan pluralisme keagamaan itu dalam kerangka pendekatan alm. Kiyai Ahmad Siddik yang menempatkan persaudaraan seagama, persaudaraan sebangsa dan persaudaraan sesama umat manusia dalam satu nafas. Ketiga-tiganya tidak harus bertentangan dan amsing-masing mempunyai tempat dan relevansinya sendiri dalam kehidupan kita sebagai manusia pribadi, warga negara dan warga dunia sehingga tidak perlu membuat kita dalam situasi rancu dan dilematik.

 Keluar dari Dunia Kecurigaan dan Permusuhan

 Kita tidak tahu kapan kita bisa keluar dari situasi yang masih mencekam. Krisis relasi sosial yang secara langsung atau tidak mencederai kerukunan hidup antar umat berbagai agama sangat menghantui kita sebab malapetaka yang diakibatkannya tidak bisa diperkirakan bahkan cenderung tidak masuk akal sebagaimana kita alami berkali-kali akhir-akhir ini. Para cendekiawan agama dihadapkan pada tantangan yang sebagian bukan tanggung jawab mereka. Masyarakat kita telah terpuruk dalam kehidupan yang diliputi oleh suasana saling curiga. Terdapat berbagai persepsi negatif satu sama lain di antara berbagai kelompok masyarakat kita sehingga kehidupan kita sebnagsa menyimpan potensi disintegrasi sosial. Masing-masing golongan merasa terancam eksistensi mereka oleh golongan lain. Berbagai kasus tragis telah menimbulkan trauma yang memerlukan waktu lama untuk dihilangkan dari memori bangsa kita.  
 Kalau kita mau berbicara terus terang saya rasa kita masih belum bisa merasa optimis bahwa suasana gelap yang menyelimuti bangsa kita akan segera berganti dengan suasana terang. Tentu saja kita tidak boleh berputus asa. Akan tetapi selama tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dan tepat dari semua pihak untuk memulihkan rasa aman dan keyakinan akan terjalinnya kehidupan yang rukun dan damai benih-benih permusuhan akan tetap hidup di sudut hati masyarakat kita yang sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi konflik sosial.

 Kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali keluar dari kegelapan. Kita tidak boleh menunggu dan menunda kalau kita tidak ingin persoalan yang dihadapi bangsa kita makin menumpuk yang akan membebani generasi anak cucu kita. Sebab akibat berbagai kesalahan dan kelemahan generasi sekarang dalam mengelola negara dan menyelenggarakan pemerintahan akan menimbulkan beban warisan yanga akan dipikul generasi yang akan datang. Karena itu diperlukan keberanian kita untuk sama-sama mawas diri kalau kita benar-benar tidak menghendaki bangsa kita mengalami kemunduran dan dilecehkan oleh masyarakat beradab. Pertama-tama kita harus mulai dengan melihat diri sendiri, secara jujur mencoba mencari dan menyadari kelemahan, kekurangan dan kekhilafan kita sendiri, dan tidak mencari, apalagi mencari-cari, kambing hitam atau melemparkan kesalahan pada orang lain. Semua kita tanpa kecuali perlu menghayati warisan kearifan leluhur kita yang mengingatkan agar kita jangan sampai hanya bisa melihat semut di seberang lautan tapi tidak melihat gajah di kelopak mata sendiri. Sikap seperti ini, selain tidak terpuji juga sama sekali tidak akan menolong keadaan dan tidak akan menyelesaikan masalah. Kedua, kita tidak boleh terjebak dalam sikap sekedar puas berbasa-basi untuk menghindari perdebatan dalam membicarakan masalah-masalah kontroversial dalam masyarakat. Mungkin sikap memendam persoalan seperti ini akan berhasil meredam konflik demi terciptanya kerukunan masyarakat namun kerukunan semacam itu akan semu dan sementara sifatnya. Kecenderungan seperti ini hanya menunda persoalan dan sama sekali tidak akan menyelesaikannya sebab akan selalu ada pihak yang merasa dirugikan bahkan dikorbankan. Keadaan ini jelas tidak sehat dan akan membiarkan potensi konflik bertambah dan sewaktu-waktu bisa meledak. Semua pihak mestilah bersedia duduk bersama dan dengan terus terang tapi bersahabat untuk bersama-sama mencoba mendekati, melihat dan membicarakan berbagai masalah yang ada dalam masyarakat kita sebagaimana apa adanya secara jujur, obyektif dan adil, untuk mencari ”win-win solution”, yakni penyelesaian yang relatif memuaskan semua pihak. Tak ada yang merasa dikalahkan, dikorbankan atau diperlakukan tidak adil.

 Ketahanan Lokal

 Lalu apa yang harus dilakukan? Tentu banyak yang bisa dilakukan. Kita tidak boleh hanya melihat satu cara penyelesaian masalah sosial. Semua dan setiap kita yang merasa prihatin dan tidak ingin melihat negeri ini hancur berantakan perlu berbuat sesuatu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Menyadari betapa kompleksitasnya faktor yang bermain dalam berbagai kerusuhan sosial Badan Litbang Agama menyelenggarakan beberapa kali diskusi yang diikuti oleh eksponen lembaga-lembaga formal agama dan para cendekiawan dari berbagai kalangan yang bersifat lintas agama, lintas disiplin keilmuan dan linats golongan. Dari diskusi-diskusi itu muncul konstatasi bahwa ada sesuatu yang terabaikan dalam pembangunan bangsa selama ini, yakni ketahanan lokal. Memang ada kecenderungan, yang disadari atau tidak, bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan justru kurang mendukung menempatkan potensi masyarakat secara lebih fungsional sebagai modal kultural bangsa kita. Pencepatan modernisasi untuk menghilangkan keterbelakangan, pembangunan ekonomi yang lebih mendahulukan pertumbuhan, penyelenggaraan pemerintahan dengan menekankan sentralisasi kekuasaan, pengendalian masyarakat melalui uniformisasi lembaga-lembaga sosial, memang telah berhasil meningkatkan pembangunan fisik. Tapi sayang sekali biaya sosialnya cukup mahal. Potensi kreatif masyarakat kita tidak berkembang secara wajar. Apalagi kecenderungan membiarkan budaya paternalistik seperti tercermin dalam kebiasaan mohon petunjuk, restu dan perkenan dari bawah dan pendekatan yang bersifat bicara satu arah (monologis) dan tuntutan semuanya dari atas (top down), cenderung membawa masyarakat ke arah kehidupan yang feodalistik. Ditambah lagi dengan kecenderungan ”etatisme” yang menggejala dalam birokratisasi yang berlebihan telah memperlemah potensi dan posisi masyarakat.  

 Dengan ketahanan lokal terutama dimaksudkan kemampuan masyarakat untuk memberdayakan segenap potensi lokal yang ada dalam masyarakat itu sendiri, baik berupa kearifan lokal, pranata-pranata lokal maupun pemuka-pemuka agama dan masyarakat lokal. Untuk sekedar mencari masukan dari bawah Badan Litbang Agama memfasilitisasi dialog para tokoh agama di empat kecamatan: Kecamatan pasar Kliwon, Solo; Kecamatan Banyu Putih, Situbondo, Kecamatan Pematang Siantar Utara, Kodya Pematang Siantar dan Kecamatan Tamalete, Kodya Ujung Pandang. Tanggapan para tokoh agama lokal sangat positif. Mereka memperoleh forum untuk duduk bersama membicarakan masalah-masalah konkret yang dihadapi masyarakat setempat. Mereka mendiskusikan potensi kerukunan dan potensi konflik yang riil ada di lingkungan mereka. Kentara sekali bahwa problem di bawah tidak sama dengan yang dipikirkan atau diasumsikan oleh tokoh-tokoh di atas. Atas kesadaran dan keinginan mereka sendiri di masing-masing kecamatan dibentuk Forum Persaudaraan Umat Beriman (Pasar Kliwon, Forum Kerukunan Tokoh Umat Beragama (Banyu Putih), Forum Komunikasi Kerukunan Masyarakat (Siantar) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (Tamalate). 

 Berangkat dari konstatasi dan pengalaman lapangan di atas Badan Litbang Agama merancang sebuah program lokakarya tentang ”multikulturisme” dan ”managemen konflik” bagi tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal sebagaimana termuat dalam proposal untuk ”Peningkatan Wawasan Keragambudayaan (Multikulturisme) Bagi Pemimpin Agama dan Masyarakat Lokal”. Secara umum tujuannya kegiatan yang diusulkan ini bertujuan menemukan landasan budaya dan mekanisme sosial baru, yakni keragambudayaan (multikulturisme) guna mengelola perbedaan kepentingan berbagai golongan. Secara lebih khusus kegiatan ini diharapkan akan dapat : (1) menumbuhkan kesadaran bahwa pluralitas itu alamiah dan kerukunan dalam keragaman adalah kebutuhan masyarakat modern; (2) meningkatkan pemahaman dasar tentang aspek-aspek kehidupan keagamaan dan etnisitas setempat; dan (3) memberi bekal praktis berkenaan teknik-teknik dasar pengelolaan konflik. 

 Akhirulkalam, demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan di hadapan forum musyawarah ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

  1 Makalah yang disampaikan pada Musyawarah Antar Pemuka Agama dengan Pemerintah dalam rangka Pengembangan Potensi Kerukunan Masyarakat Lokal, diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama, Departemen Agama, tanggal 29 Maret 1999 di Jakarta.    

 2 Sayang sekali praktek penyiksaan dalam proses interogasi agaknya sudah membudaya dan dianggap biasa. Rupanya para interogator tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mencari pembuktian tapi agaknya sudah terbiasa untuk mencari pengakuan dan kalau perlu melalui penyiksaan. Bisa jadi malah mereka menemukan kepuasan dengan melakukan penyiksaan tersangka yang menurut hukum harus dianggap sebagai belum bersalah sampai dibuktikan dalam pengadilan. Celakanya para hakim yang seyogyanya peka terhadap pelecehan harkat dan martabat manusia tidak menanggapi praktek penyiksaan ini yang tentu secara juridis formal sukar dibuktikan. Selain itu negara pun bisa melakukan kekerasan melalui tindakan represif yang berlebihan.

3   Kalau kita mau menyimak kondisi hubungan antar umat beragama selama ini sebenarnya dalam masyarakat kita telah berkembang sikap saling curiga dan saling merasa terancam selama-lama puluhan tahun. Isyu Kristenisasi, Islamisasi, pendidikan agama di sekolah-sekolah yang memiliki kekhususan agama, kesukaran membangun rumah ibadah, dsb. Berkembang dalam pikiran masyarakat. Ceramah-ceramah keagamaan yang menghujat pihak lain dan berita tentang perusakan rumah ibadah di media massa, baik publik maupun intern, menimbulkan ketegangan di kalangan para pemeluk agama. 

4   Sekedar illustrasi betapa sikap paternalistic bahkan feodalistik secara tidak sadar menggejala dalam dunia birokrasi kita dapat dilihat dari konstruksi struktural pertemuan antara kepala negara dengan bawahannya bahkan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Kepala negara duduk di belakang neja kerjanya sedangkan mereka yang menghadapnya benar-benar menghadap secara fisik kepadanya dan duduk berjejer secara berhadapan. Dalam bentuk yang tidak sama namun suasana seorang pejabat itu bukan ”public servamt” tapi pejabat pemerintah, juga terasa di semua tingkat pemerintahan. Pada tahun 50-an awal ada gugatan terhadap pemakaian istilah ”pemerintah” tapi di masa Orde Baru bahkan dipergunakan istilah ”penguasa tunggal”. 

5  Sebenarnya dalam masyarakat kita sudah muncul prakarsa masyarakat sendiri untuk membentuk forum-forum lembaga-lembaga dialog dan forum persaudaraan umat beragama. Kebanyakan memakai istikan umat beriman sehingga lebih luas jangkauannya. Pemrakarsanya justru tokoh-tokoh agama sendiri. 


 
 
   

Mengembangkan Faham Pluralisme Sebuah Keniscayaan

Oleh: Djohan Effendi


Sesungguhnya seorang penganut suatu agama tertentu bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, seorang yang bertuhan bisa berkawan akrab dengan seorang atheis, tapi seorang pluralis tidak mungkin hidup berdampingan dengan seorang anti-pluralis. Sebab seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya. Kalau seorang anti-pluralis berkuasa dia tidak akan membiarkan pikiran, gagasan dan pendirian yang tidak sama dengan pikiran, gagasan dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah pikiran, gagasan dan pendiriannya. Yang lain tidak. Oleh karena itu kalau kita ingin membangun kehidupan bersama yang memberi tempat bagi kita semua yang berbeda-beda satu sama lain kita harus mengembangkan faham pluralisme dalam kehidupan kita. Tak ada pilihan lain.

Dalam perspektif itulah mengapa kita mengangan-angankan tumbuhnya sikap saling menerima eksistensi orang lain dengan segala keunikannya, saling menghormati keyakinan masing-masing dan saling membela hak hidup bersama. Saya rasa cita-cita inilah yang melatarbelakangi kehadiran berbagai organisasi interfaith di mana-mana di berbagai negeri sejak satu-dua dasawarsa yang lalu. Juga di negeri kita. Makalah ini ingin mencoba mengemukakan beberapa gagasan aplikatif untuk mengembangkan sikap pluralis dalam kehidupan masyarakat kita, terutama untuk generasi kita di masa depan.

Sebelum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut saya ingin menceritakan pengalaman ketika saya dipercaya memimpin Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama sekitar tahun 1973-1978 ketika Departemen Agama dipimpin oleh Prof Mukti Ali. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan oleh proyek ini, yakni dialog tokoh-tokoh berbagai agama, penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai agama, dan kemping bersama yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan agama dan organisasi mahasiswa berlatar belakang agama.

Pada tiga tahun pertama proyek ini menyelenggarakan dialog-dialog antar pemuka berbagai agama di hampir semua propinsi di Tanah Air kita. Bukan hanya diikuti oleh tokoh-tokoh dari apa yang selama ini dipersepsi sebagai agama-agama resmi tapi juga diikuti oleh tokoh agama lokal seperti agama Kaharingan di Kalimantan Tengah bahkan tokoh aliran kepercayaan di Jawa Tengah. Kegiatan dialog itu sedapat mungkin diselenggarakan di luar kota sehingga para tokoh dari agama-agama yang berbeda itu beroleh kesempatan hidup bersama beberapa hari. Atau kalau diselenggarakan dalam kota selain kegiatan dialog juga dilaksanakan darmawisata bersama untuk meninjau sarana-sarana kegiatan keagamaan masing-masing sehingga berbagai tokoh agama-agama itu beroleh kesempatan untuk bercengkerama secara santai dan informal selama perjalanan darmawisata tersebut. Yang dipentingkan dalam dialog ini bukanlah kesepakatan pendapat yang dituangkan dalam kesimpulan tertulis tapi kesempatan untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab satu sama lain dari para tokoh berbagai agama itu yang justru tercipta di luar kegiatan dialog yang terstruktur. Terciptanya hubungan interpersonal itu jauh lebih penting dari kesepakatan formal dan tertulis antar institusi.

Sejak tahun ketiga diselenggarakan kegiatan penelitian tentang peranan agama, baik nilai-nilai agama maupun lembaga-lembaga keagamaan, dalam kehidupan riil masyarakat. Untuk ini berbagai desa atau komunitas di mana suatu agama dominan dijadikan sasaran penelitian yang dilaksanakan oleh para peneliti dari berbagai agama. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan tentang hubungan dan interaksi antara agama dan masyarakat, persamaan dan perbedaannya.

Terakhir, sejak tahun keempat difasilitasi kemping bersama yang diikuti oleh mahasiswa perguruan-perguruan agama dan anggota-anggota organisasi mahasiswa yang berlatar belakang agama. Kegiatan ini bertujuan untuk memberi ruang dimana berbagai calon pemuka agama dan tokoh umat beragama di masa depan dapat berkenalan, bercakap-cakap dan membangun hubungan interpersonal satu sama lain. Melalui percakapan yang terbuka dan terus terang diharapkan mereka akan sampai pada komitmen bersama untuk membangun masa depan bangsa.

Sayang sekali pimpinan Departemen Agama sesudah Mukti Ali tidak meneruskan kegiatan ini. Persepsi dan pemahaman tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralitas agama berbeda sehingga pandangan dan sikap dalam penangannya pun berbeda pula. Pengaturan, dan bukan dialog, yang dianggap lebih efektif untuk mengembankan kerukunan hidup umat beragama. Kesepakatan formal institusional dianggap lebih penting daripada hubungan interpersonal antar pemuka agama dalam masyarakat. Padahal seringkali kesepakatan formal dan institusional itu lebih banyak bersifat artifisial serta dipaksakan dan jarang menyentuh hal-hal yang justru lebih diterima secara sukarela dan berakar dari kesadaran dan pengalaman masyarakat sendiri.

Bagaimanapun, sesunggguhnya kerukunan hidup umat beragama tidak akan tercipta oleh pengaturan dari atas melainkan ia harus dikembangkan dari bawah. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir ini saya rasa, sedikit banyak, disebabkan oleh karena kita lebih mementingkan tuntunan dari atas dan kurang mengembangkan kemampuan masyarakat kita sendiri untuk memelihara kerukunan hidup mereka. Akhirnya bangsa kita yang dahulu dianggap sebagai bangsa yang dapat dijadikan teladan dalam memelihara kerukunan masyarakat yang sangat majemuk saat ini dikenal sebagai bangsa yang dilanda budaya kekerasan bahkan kebengisan yang justru tidak diajarkan oleh agama apapun.

Sebenarnya sekarang ini dirasakan saat yang sangat mendesak untuk mempergiat usaha-usaha yang lebih terarah dan terencana untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan warga bangsa kita dengan belajar dari pengalaman pahit yang kita alami selama ini. Apa yang perlu ditekankan, saya rasa, adalah konseptualisasi bersama tentang pluralisme dan usaha bersama untuk mensosialisasikannya. Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan beberapa gagasan untuk mewujudkan gagasan di atas. 

Pertama, melakukan dialog-dialog yang teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal agar tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal dia antara mereka. Melalui kegiatan ini mereka akan mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan merevitalisasi kemampuan “management of conflict” sebagai instrumen kultural untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut melalui “local wisdom” yang berakar dalam pengalaman masyarakat itu sendiri.

Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain. Lebih dari itu diharapkan mereka bisa secara bersama mencari titik-titik temu untuk mengembangkan etik sosial yang mengikat kehidupan bersama.

Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga dilakukan kuliah umum tentang agama-agama dari ahlinya masing-masing sehingga para mahasiswa mengetahui perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama, seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahasiswa masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari berbagai umat.

Tentu masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa dikembangkan namun paling tidak melalui kegiatan-kegiatan di atas apa yang kita maksudkan sebagai pendidikan pluralisme dapat dilaksanakan pada tingkat yang lebih praktikal. Yang lebih penting lagi diharapkan sikap anti pluralis dapat dibendung.[]

Kemusliman dan Kemajemukan Agama

Tulisan: Seri Dian I Tahun I 
Dialog: Kritik & Identitas Agama




oleh: Djohan Effendi


Kemajemukan adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari. Kita hidup di dalam kemajemukan dan merupakan bagian dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Kita menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi –kalau tidak di negeri kita tentu di negeri lain- orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.

Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita harus belajar toleran terhadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas dasar dan dalam semangat pluralisme. Persoalannya adalah bagaimanakah, dalam perspektif iman kita, fenomena kemajemukan itu kita terima? Dan bagaimana pula nilai-nilai pluralisme itu kita hayati?

Islam, Pluralisme Agama dan Kepercayaan

Dengan kata yang jelas Islam tegas-tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. ”Tak ada paksaan dalam agama”, tandas Alquran (QS: II, Al-Baqarah, 156). Bahkan lebih dari itu, Tuhan pun mempersilahkan siapa saja yang mau entah beriman atau kufur terhadap-Nya (QS: XVIII, Al-Kahfi, 29).

Sesuai dengan misi yang diembannya tentulah wajar sekali jika Nabi Muhammad SAW mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawanya. Beliau ingin agar setiap orang menerima Islam sebagai anutan mereka. Maka itu Tuhan mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksakan orang agar beriman kepadaNya sebab Tuhan sendiri tidak memaksakan untuk itu, sebab kalau Ia mau tak ada kesukaran bagi-Nya (QS: X, Yunus, 99).

Terhadap agama-agama yang ada Islam sama sekali tidak menafikan begitu saja. Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Secara eksplisit Alquran menegaskan bahwa orang-orang yang beriman (muslim), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta melakukan amal kebaikan, mereka akan memperoleh ganjaran dari Tuhan, bebas dari rasa takut dan kesedihan (QS: II, Al-Baqarah, 62). Sikap menghormati kepercayaan orang lain sebagaimana yang diajarkan Alquran begitu luas, termasuk larangan sebagaimana mencerca berhala yang menjadi sesembahan orang lain. Sembari menentang keras segala bentuk kemusyrikan Islam menekankan kepada kita untuk tetap menjaga perasaan orang-orang musyrik (QS: IV, Al-An’am, 109). Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi sebuah masyarakat majemuk akan tetapi bagi seorang muslim, merupakan ajaran agama. Karena itu membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh Alquran sendiri yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan seperti biara-biara dan gereja-gereja, siangog-sinagog dan masjid-masjid (QS: XXII, Al-Hajj, 40).

Kesatuan Nubuwwah

Salah satu konsep yang ada gayutannya dengan masalah pluralisme agama dan kepercayaan tersebut adalah konsep tentang kesatuan kenabian. Iman kepada para nabi dan rasul adalah bagian dari aqidah Islam. Dalam kerangka iman kepada para nabi dan rasul itu Alquran mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan mereka satu sama lain (QS: II, Al-Baqarah, 136).

Dalam kata-kata Nabi Muhammad SAW para nabi digambarkan sebagai bersaudara. Mereka bersaudara bukan karena berasal dari keturunan yang sama melainkan karena membawa risalah yang sama, agama perdamaian yang berlandaskan pada kepasrahan kepada Tuhan. ”Para nabi itu bersaudara, ibu-ibu mereka berlainan namun agama mereka satu” (Al-Hadist). Sabda Nabi itu mungkin bisa kita pahami sebagai penjelasan terhadap pernyataan Alquran dalam surat XLII (Asy-Syura, 13).

Islam mengakui adanya titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan untuk hidup bersama (QS: III, Ali Imran, 63).

Ka’bah Lambang Kesatuan Nubuwwah

Dalam konteks ini, ada baiknya bila kita mencoba melihat dan memahami posisi simbolik Ka’bah dalam kerangka konsep kesatuan nubuwwah. Ka’bah atau baitullah yang menjadi kiblat kita dalam sembahyang dan pusat yang dikitar jemaah haji dalam thawaf seringkali menjadi sasaran kritik dan pertanyaan dari kalangan non-muslim. Tidak sedikit orang menjadi kritik menghadapi pertanyaan kritis semacam itu.

Ka’bah sebenarnya melambangkan ide kesatuan Nubuwwah. Ia melambangkan himpunan para Nabi yang diutus dari zaman ke zaman di berbagai tempat di muka bumi ini, yang mencapai puncaknya dalam kedatangan Muhammad SAW. Perlambang ini dapat kita tarik dari sabda Nabi:

”Sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumku adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah gedung. Ia bangun gedung itu dengan baik dan indah kecuali kurang sebuah batu-bata di salah satu pojok gedung itu. Lalu orang-orang yang berkeliling mengitari gedung itu sambil mengaguminya berkata: ’kenapa kau tinggal satu batu-bata lagi’. Maka akulah batu-bata itu, akulah penutup segala Nabi.” (Al-Hadits)

Batu-bata terakhir yang mengisi kekosongan di pojok bangunan yang indah itu adalah fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai khatamu ’l-nabiyyin. Itulah yang dilambangkan oleh hajaru ’l-aswad. Karena itu perbuatan mencium hajaru ’l-aswad ketika melaksanakan thawaf adalah perlambang komitmen kita kepada agama yang dibawa oleh Nabi. Tidak jelas apakah Umar Ibnu ’l-Khattab menghayati makna perlambang itu, namun kata-kata yang terlontar dari mulut beliau ketika akan mencium hajaru ’l-aswad memperlihatkan komitmen itu. ”Hai batu hitam,” kata beliau, ”Sebenarnya kamu sama nilainya dengan batu-batu lain yang berserakan di jalanan. Aku tak akan mencium kau kalau saja aku tak melihat Nabi mencium kau.”

Sikap Nabi terhadap Umat Lain

”Barang siapa mengganggu kaum dzimmi (minoritas non-muslim) maka ia telah menganggu aku,” kata Nabi. Ucapan tersebut memperlihatkan betapa besar rasa tanggung jawab Nabi terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan Muslim terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan Muslim yang hidup di bawah kekuasaan kaum Muslimin. Hal ini terlihat semenjak Nabi mulai membangun masyarakat di Madinah setelah hijrah. Penting untuk dicatat bahwa sejak semula kelihatan sekali bahwa Nabi tidak bermaksud untuk membangun sebuah masyarakat Muslim yang eksklusif. Piagam Madinah yang menjadi landasan pembangunan masyarakat baru di Madinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan umat-umat lain. Piagam Madinah menggambarkan semangat hidup berdampingan secara rukun yang diikat oleh kesediaan untuk bekerjasama dan saling membela. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa tersingkirnya orang-orang Yahudi dari Madinah bukan karena perlakuan tidak semena-mena, tetapi karena pengkhianatan mereka sendiri terhadap piagam tersebut.

Salah satu peristiwa lain yang sangat penting untuk kita simak adalah penerimaan Nabi Muhammad SAW terhadap delegasi Kristen dari Najran. Suatu ketika Nabi kedatangan serombongan delegasi yang berjumlah sekitar 60 orang. Mereka penganut agama Katolik yang dipimpin oleh Abdu ’l-Masih al-Ayham dan Abu Haritsa bin ’Al-qama. Yang disebut terakhir ini adalah seorang Uskup tokoh agama mereka. Mereka tinggal beberapa hari di Madinah dan ditampung di Masjid Nabawi dan rumah-rumah sahabat Nabi. Selama beberapa hari itu terjadilah dialog antar agama antara Nabi dengan mereka. Suatu ketika pimpinan delegasi itu mohon pamit kepada Nabi untuk meninggalkan Masjid Nabawi beberapa saat. Ketika Nabi menanyakan apa keperluan mereka sehingga harus pergi meninggalkan masjid, mereka menjawab bahwa mereka ingin melakukan kebaktian. Nabi mencegah mereka pergi keluar dari masjid dan mempersilahkan mereka melakukan kebaktian di masjid Nabawi. Peristiwa itu diceritakan oleh sejarawan Islam dalam buku Sirah Ibn Ishaq (85-151 H).

Refleksi

Sikap Nabi seperti tergambar di atas kalau kita tarik ke dalam konteks kehidupan sekarang mungkin menimbulkan dilema antara komitmen kepada nilai-nilai luhur Islam sebagaimana diteladankan oleh Nabi dengan kepentingan politik yang lebih ditentukan oleh tuntunan kondisional. Hirarki dari sistem nilai yang dianut seseorang seringkali tidak jelas sehingga mengakibatkan komitmennya tidak jarang lebih kepada kepentingan temporal daripada nilai eternal.[]