Sunday 23 August 2009

PENGEMBANGAN KETAHANAN LOKAL DALAM RANGKA MEMELIHARA KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA 

Oleh Djohan Effendi

 ”Malu aku jadi orang Indonesia,” demikian salah satu judul sajak Taufik Ismail yang sekaligus juga menjadi kumpulan sajak-sajak terakhirnya. ”Belum pernah saya smearah, sesedih dan semalu saat ini” kata Taufik Abdullah dalam pertemuan yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama tanggal 5 Desember 1998 untuk mengadakan refleksi atas berbagai kasus kerusuhan yang mengganggu hubungan antar umat berbagai agama yang terjadi di berbagai tempat di Tanah Air kita dalam beberapa tahun terakhir ini. Ungkapan-ungkapan di atas agaknya menggambarkan perasaan banyak orang sehubungan dengan berbagai kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa, harta dan keretakan sosial yang sangat memprihatinkan bahwa betapa masyarakat seakan-akan telah kehilangan akal sehat dan pikiran jernih. Peristiwa-peristiwa tersebut sukar dipercaya tapi tokh terjadi juga. Saat inipun kita masih saja diselimuti dan dicekam oleh perasaan was-was bahwa peristiwa-peristiwa semacam itu masih saja akan terjadi dan terjadi lagi. 

 Diperlukan tindakan hukum terhadap para pelaku kerusuhan itu. Itu memang tuntutan masyarakat. Tanpa penegakan hukum yang adil dan berlaku untuk setiap dan semua orang ketertiban masyarakat sukar diwujudkan. Hanya saja kita khawatir bahwa kerusuhan-kerusuhan tersebut cuma bagaikan letusan gunung berapi. Kita tidak mungkin mengelakkan dan menghindari letusan-letusan berikutnya kalau berbagai krisis multidimensional yang kita hadapi saat ini tidak kunjung teratasi, krisis yang pada hakikatnya merupakan akumulasi kesalahurusan kehidupan bernegara sehingga melahirkan kekecewaan, kecurigaan, kegeraman dan bahkan penderitaan masyarakat yang menggumpal menjadi magma potensi konflik yang tidak terukur dan sewaktu-waktu bisa meledak menjadi kerusuhan sosial. Karena itu yang tidak kurang diperlukan adalah diagnosa yang telat hal-hal yang menyebabkan krisis multidimensional itu muncul sehingga akan diperoleh terapi yang tepat.

 Kerukunan Selama ini Semu!
 
Ungkapan di atas adalah tajuk berita Harian Sore Suara Pembaruan terbitan 3 Februari yang lalu. Bunyi tajuk itu adalah kesimpulan team Komite Nasional Hak-Hak Asasi Manusia setelah melakukan kunjungan investigasi ke Ambon sehubungan dengan kerusuhan yang terjadi di sana. Memang berbagai peristiwa kerusuhan akhir-akhir ini benar-benar menyentak dan menghentak hati kita sekaligus membuat kita merasa pilu dan malu. Kita dipaksa untuk merenungkan dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu bisa terjadi. Apa yang kita bangga-banggakan sebelumnya, dan hal ini diakui oleh orang luar, bahwa bangsa kita merupakan salah satu contoh tentang bagaimana berbagai agama besar dunia hidup dan berkembang secara rukun, kini sirna sudah. Kelu lidah kita untuk menyebut-nyebutnya lagi. Mudah-mudahan hal ini tidak akan berlangsung untuk selama-lamanya. Namun pasti, untuk memulihkan kembali suasana yang hilang itu diperlukan tekad, kerja sama dan waktu. Mungkin juga diperlukan keberanian untuk tidak populer dan disalahpahami. Sebab saat ini, kata dr. Sulastomo, masyarakat kita diliputi oleh suasana yang membuat orang mudah marah. Bahkan orang yang tidak ikut-ikut marah bisa-bisa dicurigai, dianggap bukan orang ”kita” tapi orang ”mereka”. 

 Menyimak berbagai kerusuhan yang terjadi selama ini kita melihat betapa beragam bentuk perwujudannya dan betapa pula kompleksitas faktor penyebabnya. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat itu mewujud dalam berbagai bentuk kekerasan, penjarahan dan perusakan, tidak hanya terhadap milik pribadi akan tetapi juga milik pemerintah atau negara bahkan terhadap simbol-simbol keagamaan yang kelihatannya dilakukan dengan gembira tanpa merasa berdosa. Kita ragu menyatakan bahwa kerusuhan itu merupakan konflik agama (semata) namun sulit untuk menafikannya sama sekali. Sebab, nyatanya sejumlah perusakan sejumlah rumah-rumah ibadah yang dianggap sakral dan merupakan simbol kehadiran sebuah agama dan komunitas para pemeluknya terjadi. Kemungkinan faktor-faktor lain berperan sebagai sumber penyebabnya juga sukar dibantah. Misalnya masalah kaum pendatang dan penduduk asli tampak kentara dalam kasus Kupang, Ambon dan Kalimantan Barat yang sekarang sedang berkecamuk untuk ke sekian kalinya. Kalau dalam kasus Kupang dan Ambon, misalnya ada bias dan nuansa pekat dari perbedaan agama kasus yang terjadi di Kalimantan Barat justru terjadi antara dan melibatkan paling kurang dua suku yang seagama. Mungkin saja kasus-kasus ini sedikit banyak didorong oleh kesenjangan ekonomi karena kaum pendatang biasanya bekerja lebih ulet dan lebih berhasil sehingga menguasai sektor perekonomian lokal. Atau mungkin juga kerusuhan itu muncul sebagai akibat konflik budaya yang selama ini tidak kita perhatikan dan kita khawatirkan sehingga diabaikan dan tidak dianggap masalah serius. Tapi bagaimana kita menerangkan kerusuhan yang terjadi di daerah Indramayu, misalnya, yang justru terjadi di antara dua kelompok etnis yang sama dan merupakan pemeluk agama yang sama pula. Lalu kita juga melihat berbagai kerusuhan yang memperlihatkan seakan-akan ada gejala konflik antara rakyat dan penguasa, yang untuk batas tertentu, mengisyaratkan gejala ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan dan pemerintahan. Perusakan markas-markas kepolisian dan kantor-kantor pemerintah dari tingkat lurah hingga bupati, dan juga DPRD, memperlihatkan kecenderungan itu. Hal itu menunjukkan bahwa problem kerukunan hidup beragama bukan sebuah barang jadi. Ia lebih merupakan sebuah kondisi yang bergerak bahkan labil dalam sebuah proses sosial yang tidak immun dari pengaruh lingkungan sosial, ekonomi, politik dan budaya. 

 Budaya Kekerasan: Sebuah Gejala yang Sangat Memprihatinkan

 Kasus-kasus kerusuhan di atas memperlihatkan bahwa salah satu tantangan serius yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah fenomena muncul dan merebaknya budaya kekerasan bahkan tidak jarang bersifat sadisme yang tak berprikemanusiaan. Fenomena ini sungguh sangat mencemaskan. Ironisnya adalah bahwa gejala sadisme ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang mudah main hakim sendiri dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan akan tetapi juga dilakukan aparat negara sebagaimana sering diungkapkan oleh mereka yang mengalami siksaan ketika diinterogasi. Budaya kekerasan ini ikut mewarnai berbagai kerusuhan akhir-akhir ini sebagaimana terlihat dari korban-korban yang terbunuh bahkan secara sangat mengenaskan.

 Muncul dan merebaknya budaya kekerasan ini perlu beroleh perhatian yang serius. Masalah ini memang sangat kompleks. Kehidupan masyarakat kita sangat kondusif untuk tumbuhnya budaya kekerasan. Kehidupan rumah tangga, pendidikan di sekolah, kondisi lingkungan perumahan, misalnya, bisa merupakan faktor yang besar pengaruhnya, langsung ataupun tidak, terhadap munculnya budaya kekerasan. Kelangkaan buku-buku bacaan di perpustakaan sekolah, kurang dipentingkannya pendidikan seni untuk mengembangkan rasa estetika dan kegiatan olah raga untuk menyalurkan energi dan seklaigus untuk mengembangkan sportivitas, juga bisa memberikan andil bagi lahirnya budaya kekerasan. Keserakahan para ”developer” perumahan yang tidak segan-segan merusak keindahan alam yang dianugerahkan Tuhan dengan menimbun telaga atau danau, dan meratakan bebukitan, dan kepelitan untuk menyediakan lahan untuk taman dan sarana olah raga, secara tidak langsung tidak membantu menyediakan lingkungan fisik yang bisa memperkecil munculnya budaya kekerasan.

 Berbagai kerusuhan sosial apalagi budaya kekerasan mengisyaratkan bahwa kemampuan rakyat untuk menangani konflik yang terjadi sebagai akibat pluralitas masyarakat kita sudah sangat menyusut. Gejala ini sangat berbahaya karena pluralitas masyarakat kita cukup kompleks dan sering bertumpang tindih sehingga satu insiden kecil bisa berkembang atau dikembangkan menjadi sebuah kerusuhan sosial yang tidak relevan dan tidak masuk akal seperti telah kita alami akhir-akhir ini. Hal ini bisa terjadi karena pluralitas masyarakat kita dihadapkan pada situasi krisis sosial, politik dan ekonomi yang sangat serius dan kompleks yang membuat banyak orang mengalami stress dan kehilangan akal sehat untuk berpikir jernih. Akibatnya masyarakat kita bagaikan timbunan jerami kering di musim kemarau, tanpa sulutan api pun bisa dan mudah terbakar.

 Pluralisme: Sebuah Realitas yang Perlu Ditangani

 Pluralitas masyarakat di manapun adalah sebuah relasi eksistensial yang terbentuk dari perbedaan yang ada secara kodrati dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Tak seorang manusia pun sama dengan manusia lainnya walau mereka lahir sebagai saudara kembar. Kesaksian dari ”dactylosopy”, pengetahuan tentang sisik jari bahwa tak ada cap jempol yang sama adalah contoh paling nyata bahwa tak ada dua orang manusia yang absolut sama. Mungkin saja sangat mirip tapi tidak mungkin persis sama. Sebuah masyarakat terdiri dan terbentuk dari banyak orang yang merupakan warganya. Kalaulah ada sebuah masyarakat tradisional yang dianggap homogen namun pasti homogenitasnya itu relatif sifatnya sebab di dalamnya pasti ada unsur-unsur yang berbeda sehingga tak akan terelakkan adanya heteroginitas betapapun kecilnya. Lebih-lebih lagi sebuah masyarakat, bagaimanapun, bukanlah sebuah kumpulan makhluk organis yang statis, yang tidak mengalami perubahan. Perubahan itu, entah berlangsung secara alami atau direncanakan, tentu sangat bervariasi coraknya sehingga makin memperkaya dan menambah kompleksitas perbedaan. Karena itu tidak mungkin dihindari bahwa pluralitas yang ada secara kodrati kemudian secara sosial dan kultural terus mengalami perkembangan dalam gerak dinamika kehidupan manusia dan masyarakat yang multidimensional sifatnya, dan dengan sendirinya akan melahirkan berbagai visi tentang kehidupan dan masa depan, melahirkan pandangan dunia (worldview) dan membentuk cara hidup (way of life) yang berbeda-beda. 

 Untuk batas tertentu pluralitas bisa dilihat sebagai kekayaan namun dalam perkembangannya ia tidak hanya berhenti pada perbedaan sekedar dan sebagai perbedaan semata tapi mungkin saja perbedaan itu bersifat diametral dan antagonistik sehingga sebenarnya bukan lagi perbedaan melainkan sebuah pertentangan. Tantangan yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat adalah bukan menghilangkan perbedaan dan pertentangan sebagai realitas sosial dan kultural melainkan bagaimana mengelolanya agar tidak beralih menjadi pertikaian dan lebih jauh mengarahkannya secara cerdas dan keratif menjadi persaingan (competition) yang sehat di satu sisi dan kerja sama (cooperation) yang produktif di sisi lain. 

 Multikulturisme: Sebuah Keniscayaan

 Pluralitas yang muncul dalam proses kehidupan bangsa kita mewujud dalam dua bentuk: pluralitas horizontal dan pluralitas vertikal. Yang pertama terlihat misalnya dalam perbedaan etnis atau ras dan agama sedangkan yang kedua terlihat umpamanya dalam perbedaan peran politik antara penguasa dan rakyat, dalam kemampuan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, dan dalam tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dan masyarakat awam. Tentu saja pluralitas vertikal ini tidak dikaitkan dengan pluralisme tradisional yang memberlakukan perbedaan strata sosial dalam pelembagaan yang bersifat diskriminatif. Kedua-duanya, pluralitas horizontal dan pluralitas vertikal kita terima sebagai realitas sosial dan tentu saja seharusnya juga dalam kerangka pluralisme moderen yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

 Mobilitas sosial yang didukung oleh kemudahan dalam dan untuk bepergian sebagai hasil kemajuan sarana-sarana transportasi membuat kontak-kontak horizontal warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya makin sering terjadi dan juga makin luas jangkauannya melampaui batas-batas geografis, lokal, regional bahkan nasional sehingga keragaman masyarakat makin kompleks. Perbedaan tingkat dan kadar kemampuan warga masyarakat, baik dilihat dari segi kebendaan, kecerdasan maupun kesempatan untuk memperoleh jalur lembaga pendidikan maupun media massa, mengakibatkan perbedaan kemampuan untuk mengembangkan diri dan meraih keberhasilan. Akibat lebih jauh adalah terjadinya pluralitas vertikal yang terwujud dalam tingkatan strata sosial baik politik, ekonomi maupun keterpelajaran. Perlu disadari dan dicatat bahwa pluralitas walaupun dalam batas tertentu merupakan kekayaan yang membentuk mozaik kultural sekaligus potensi dinamik bangsa kita namun hal itu juga bisa menjadi sumber konflik sosial. Karena itu diperlukan usaha untuk menumbuhan kesadaran untuk menerima perbedaan sebagai realitas natural maupun kultural sepanjang fungsional sifatnya dan tidak melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan. Dari perspektif ini kita bersinggungan dengan konsep pluralisme.

 Pluralisme tentu saja lahir dari kesadaran dan kesediaan menerima perbedaan untuk kemudian mengolahnya sebagai unsur kreatif masyarakat kita sebagai sebuah kesatuan yang mengandung dan merangkum kemajemukan. Dalam perspektif masyarakat kita yang multietnik perlu disadari bahwa masing-masing etnik tentu memiliki identitas budayanya sendiri. Tambahan lagi, kehadiran berbagai agama yang menjadi anutan masyarakat kita telah memperkaya kemajemukan bangsa kita. Kehadiran agama-agama itu tentu saja memasuki aspek batiniah budaya bangsa kita. Karena itu pluralisme dengan sendirinya identik dengan dan memang pada hakikatnya muradif atau sinonim multikulturisme. Semboyan Bhinneka Tungal Ika sebagai terpatri dalam lambang negara kita Garuda Pancasila menegaskan bahwa bangsa kita secara tegas menganut prinsip pluralisme. Dengan pluralisme di sini tidak kita maksudkan pluralisme ekstrem sebagai reaksi terhadap monisme yang mengatakan bahwa dunia ini terdiri dari jumlah tak terbatas dari unsur-unsur yang terpisah. Pluralisme yang perlu dan harus kita kembangkan adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap pluralistik, yakni sikap yang bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajuan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat kita saling berinteraksi secara alamiah dalam proses yang saling memperkaya, dan diharapkan akan melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka, multikultural dan demokratis. Dalam kaitan ini kita perlu mengembangkan multikulturalisme yang tidak hanya mengakui tapi juga memberi tempat terhadap keragaman budaya dalam masyarakat kita sebagai perwujudan eksistensial dan fungsional dari pluralisme. 

 Pluralitas dan Kerukunan Hidup Beragama
 
 Pluralitas dalam konteks kehidupan keagamaan tidak hanya ditandai oleh kehadiran berbagai agama yang secara eksistensial memiliki tradisi yang berbeda satu sama lain akan tetapi juga ditandai oleh pluralitas internal masing-masing agama, baik berkenaan dengan aspek penafsiran maupun aspek pelembagaannya. Kedua-duanya saling terjalin satu sama lain. Pluralitas penafsiran tidak hanya melahirkan berbagai aliran atau mazhab bahkan juga sekte keagamaan akan tetapi juga melahirkan perbedaan kecenderungan pandangan dan sikap: eksklusifisme dan inklusifisme. Pluralitas kelembagaan yang melalui itu agama mendunia, memasuki ruang dan waktu, tampak dari dan mewujud dalam kehadiran, paling tidak, tokoh-tokoh agama, organisasi-organisasi keagamaan dan komunitas-komunitas agama.

 Perlu digarisbawahi bahwa pluralitas agama berkaitan dengan masalah yang sangat peka. Sebab agama berkaitan dengan keyakinan tentang sesuatu yang absolut benar, sesuatu yang ”ultimate”, yang menyangkut keselamatan hidup manusia setelah ”kematian”. Keyakinan tersebut diejawantahkan dalam keberagamaan, tidak hanya dalam wujud keyakinan theologis atau simbolisme ritual melainkan juga dalam wujud kegiatan yang secara langsung atau tidak bernuansa bahkan berdampak sosial.

 Ada berbagai opsi dalam masyarakat kita menjawab pluralitas keagamaan itu. Pertama adalah sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah sikap tidak saling mengganggu. Kedua adalah mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga adalah mencari dan mengembangkan dan merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab problema, tantangan dan keprihatinan umat manusia. Opsi pertama adalah sekedar tahap awal dan kondisi minimal untuk membangun kebersamaan masyarakat kita. Opsi ketiga merupakan landasan orang dapat hidup bersama dalam semangat persamaan dan kesatuan umat manusia. Opsi kedua merupakan perwujudan nyata dari kebersamaan itu.

 Dalam perspektif yang lain kita juga bisa menempatkan pluralisme keagamaan itu dalam kerangka pendekatan alm. Kiyai Ahmad Siddik yang menempatkan persaudaraan seagama, persaudaraan sebangsa dan persaudaraan sesama umat manusia dalam satu nafas. Ketiga-tiganya tidak harus bertentangan dan amsing-masing mempunyai tempat dan relevansinya sendiri dalam kehidupan kita sebagai manusia pribadi, warga negara dan warga dunia sehingga tidak perlu membuat kita dalam situasi rancu dan dilematik.

 Keluar dari Dunia Kecurigaan dan Permusuhan

 Kita tidak tahu kapan kita bisa keluar dari situasi yang masih mencekam. Krisis relasi sosial yang secara langsung atau tidak mencederai kerukunan hidup antar umat berbagai agama sangat menghantui kita sebab malapetaka yang diakibatkannya tidak bisa diperkirakan bahkan cenderung tidak masuk akal sebagaimana kita alami berkali-kali akhir-akhir ini. Para cendekiawan agama dihadapkan pada tantangan yang sebagian bukan tanggung jawab mereka. Masyarakat kita telah terpuruk dalam kehidupan yang diliputi oleh suasana saling curiga. Terdapat berbagai persepsi negatif satu sama lain di antara berbagai kelompok masyarakat kita sehingga kehidupan kita sebnagsa menyimpan potensi disintegrasi sosial. Masing-masing golongan merasa terancam eksistensi mereka oleh golongan lain. Berbagai kasus tragis telah menimbulkan trauma yang memerlukan waktu lama untuk dihilangkan dari memori bangsa kita.  
 Kalau kita mau berbicara terus terang saya rasa kita masih belum bisa merasa optimis bahwa suasana gelap yang menyelimuti bangsa kita akan segera berganti dengan suasana terang. Tentu saja kita tidak boleh berputus asa. Akan tetapi selama tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dan tepat dari semua pihak untuk memulihkan rasa aman dan keyakinan akan terjalinnya kehidupan yang rukun dan damai benih-benih permusuhan akan tetap hidup di sudut hati masyarakat kita yang sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi konflik sosial.

 Kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali keluar dari kegelapan. Kita tidak boleh menunggu dan menunda kalau kita tidak ingin persoalan yang dihadapi bangsa kita makin menumpuk yang akan membebani generasi anak cucu kita. Sebab akibat berbagai kesalahan dan kelemahan generasi sekarang dalam mengelola negara dan menyelenggarakan pemerintahan akan menimbulkan beban warisan yanga akan dipikul generasi yang akan datang. Karena itu diperlukan keberanian kita untuk sama-sama mawas diri kalau kita benar-benar tidak menghendaki bangsa kita mengalami kemunduran dan dilecehkan oleh masyarakat beradab. Pertama-tama kita harus mulai dengan melihat diri sendiri, secara jujur mencoba mencari dan menyadari kelemahan, kekurangan dan kekhilafan kita sendiri, dan tidak mencari, apalagi mencari-cari, kambing hitam atau melemparkan kesalahan pada orang lain. Semua kita tanpa kecuali perlu menghayati warisan kearifan leluhur kita yang mengingatkan agar kita jangan sampai hanya bisa melihat semut di seberang lautan tapi tidak melihat gajah di kelopak mata sendiri. Sikap seperti ini, selain tidak terpuji juga sama sekali tidak akan menolong keadaan dan tidak akan menyelesaikan masalah. Kedua, kita tidak boleh terjebak dalam sikap sekedar puas berbasa-basi untuk menghindari perdebatan dalam membicarakan masalah-masalah kontroversial dalam masyarakat. Mungkin sikap memendam persoalan seperti ini akan berhasil meredam konflik demi terciptanya kerukunan masyarakat namun kerukunan semacam itu akan semu dan sementara sifatnya. Kecenderungan seperti ini hanya menunda persoalan dan sama sekali tidak akan menyelesaikannya sebab akan selalu ada pihak yang merasa dirugikan bahkan dikorbankan. Keadaan ini jelas tidak sehat dan akan membiarkan potensi konflik bertambah dan sewaktu-waktu bisa meledak. Semua pihak mestilah bersedia duduk bersama dan dengan terus terang tapi bersahabat untuk bersama-sama mencoba mendekati, melihat dan membicarakan berbagai masalah yang ada dalam masyarakat kita sebagaimana apa adanya secara jujur, obyektif dan adil, untuk mencari ”win-win solution”, yakni penyelesaian yang relatif memuaskan semua pihak. Tak ada yang merasa dikalahkan, dikorbankan atau diperlakukan tidak adil.

 Ketahanan Lokal

 Lalu apa yang harus dilakukan? Tentu banyak yang bisa dilakukan. Kita tidak boleh hanya melihat satu cara penyelesaian masalah sosial. Semua dan setiap kita yang merasa prihatin dan tidak ingin melihat negeri ini hancur berantakan perlu berbuat sesuatu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Menyadari betapa kompleksitasnya faktor yang bermain dalam berbagai kerusuhan sosial Badan Litbang Agama menyelenggarakan beberapa kali diskusi yang diikuti oleh eksponen lembaga-lembaga formal agama dan para cendekiawan dari berbagai kalangan yang bersifat lintas agama, lintas disiplin keilmuan dan linats golongan. Dari diskusi-diskusi itu muncul konstatasi bahwa ada sesuatu yang terabaikan dalam pembangunan bangsa selama ini, yakni ketahanan lokal. Memang ada kecenderungan, yang disadari atau tidak, bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan justru kurang mendukung menempatkan potensi masyarakat secara lebih fungsional sebagai modal kultural bangsa kita. Pencepatan modernisasi untuk menghilangkan keterbelakangan, pembangunan ekonomi yang lebih mendahulukan pertumbuhan, penyelenggaraan pemerintahan dengan menekankan sentralisasi kekuasaan, pengendalian masyarakat melalui uniformisasi lembaga-lembaga sosial, memang telah berhasil meningkatkan pembangunan fisik. Tapi sayang sekali biaya sosialnya cukup mahal. Potensi kreatif masyarakat kita tidak berkembang secara wajar. Apalagi kecenderungan membiarkan budaya paternalistik seperti tercermin dalam kebiasaan mohon petunjuk, restu dan perkenan dari bawah dan pendekatan yang bersifat bicara satu arah (monologis) dan tuntutan semuanya dari atas (top down), cenderung membawa masyarakat ke arah kehidupan yang feodalistik. Ditambah lagi dengan kecenderungan ”etatisme” yang menggejala dalam birokratisasi yang berlebihan telah memperlemah potensi dan posisi masyarakat.  

 Dengan ketahanan lokal terutama dimaksudkan kemampuan masyarakat untuk memberdayakan segenap potensi lokal yang ada dalam masyarakat itu sendiri, baik berupa kearifan lokal, pranata-pranata lokal maupun pemuka-pemuka agama dan masyarakat lokal. Untuk sekedar mencari masukan dari bawah Badan Litbang Agama memfasilitisasi dialog para tokoh agama di empat kecamatan: Kecamatan pasar Kliwon, Solo; Kecamatan Banyu Putih, Situbondo, Kecamatan Pematang Siantar Utara, Kodya Pematang Siantar dan Kecamatan Tamalete, Kodya Ujung Pandang. Tanggapan para tokoh agama lokal sangat positif. Mereka memperoleh forum untuk duduk bersama membicarakan masalah-masalah konkret yang dihadapi masyarakat setempat. Mereka mendiskusikan potensi kerukunan dan potensi konflik yang riil ada di lingkungan mereka. Kentara sekali bahwa problem di bawah tidak sama dengan yang dipikirkan atau diasumsikan oleh tokoh-tokoh di atas. Atas kesadaran dan keinginan mereka sendiri di masing-masing kecamatan dibentuk Forum Persaudaraan Umat Beriman (Pasar Kliwon, Forum Kerukunan Tokoh Umat Beragama (Banyu Putih), Forum Komunikasi Kerukunan Masyarakat (Siantar) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (Tamalate). 

 Berangkat dari konstatasi dan pengalaman lapangan di atas Badan Litbang Agama merancang sebuah program lokakarya tentang ”multikulturisme” dan ”managemen konflik” bagi tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal sebagaimana termuat dalam proposal untuk ”Peningkatan Wawasan Keragambudayaan (Multikulturisme) Bagi Pemimpin Agama dan Masyarakat Lokal”. Secara umum tujuannya kegiatan yang diusulkan ini bertujuan menemukan landasan budaya dan mekanisme sosial baru, yakni keragambudayaan (multikulturisme) guna mengelola perbedaan kepentingan berbagai golongan. Secara lebih khusus kegiatan ini diharapkan akan dapat : (1) menumbuhkan kesadaran bahwa pluralitas itu alamiah dan kerukunan dalam keragaman adalah kebutuhan masyarakat modern; (2) meningkatkan pemahaman dasar tentang aspek-aspek kehidupan keagamaan dan etnisitas setempat; dan (3) memberi bekal praktis berkenaan teknik-teknik dasar pengelolaan konflik. 

 Akhirulkalam, demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan di hadapan forum musyawarah ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

  1 Makalah yang disampaikan pada Musyawarah Antar Pemuka Agama dengan Pemerintah dalam rangka Pengembangan Potensi Kerukunan Masyarakat Lokal, diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama, Departemen Agama, tanggal 29 Maret 1999 di Jakarta.    

 2 Sayang sekali praktek penyiksaan dalam proses interogasi agaknya sudah membudaya dan dianggap biasa. Rupanya para interogator tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mencari pembuktian tapi agaknya sudah terbiasa untuk mencari pengakuan dan kalau perlu melalui penyiksaan. Bisa jadi malah mereka menemukan kepuasan dengan melakukan penyiksaan tersangka yang menurut hukum harus dianggap sebagai belum bersalah sampai dibuktikan dalam pengadilan. Celakanya para hakim yang seyogyanya peka terhadap pelecehan harkat dan martabat manusia tidak menanggapi praktek penyiksaan ini yang tentu secara juridis formal sukar dibuktikan. Selain itu negara pun bisa melakukan kekerasan melalui tindakan represif yang berlebihan.

3   Kalau kita mau menyimak kondisi hubungan antar umat beragama selama ini sebenarnya dalam masyarakat kita telah berkembang sikap saling curiga dan saling merasa terancam selama-lama puluhan tahun. Isyu Kristenisasi, Islamisasi, pendidikan agama di sekolah-sekolah yang memiliki kekhususan agama, kesukaran membangun rumah ibadah, dsb. Berkembang dalam pikiran masyarakat. Ceramah-ceramah keagamaan yang menghujat pihak lain dan berita tentang perusakan rumah ibadah di media massa, baik publik maupun intern, menimbulkan ketegangan di kalangan para pemeluk agama. 

4   Sekedar illustrasi betapa sikap paternalistic bahkan feodalistik secara tidak sadar menggejala dalam dunia birokrasi kita dapat dilihat dari konstruksi struktural pertemuan antara kepala negara dengan bawahannya bahkan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Kepala negara duduk di belakang neja kerjanya sedangkan mereka yang menghadapnya benar-benar menghadap secara fisik kepadanya dan duduk berjejer secara berhadapan. Dalam bentuk yang tidak sama namun suasana seorang pejabat itu bukan ”public servamt” tapi pejabat pemerintah, juga terasa di semua tingkat pemerintahan. Pada tahun 50-an awal ada gugatan terhadap pemakaian istilah ”pemerintah” tapi di masa Orde Baru bahkan dipergunakan istilah ”penguasa tunggal”. 

5  Sebenarnya dalam masyarakat kita sudah muncul prakarsa masyarakat sendiri untuk membentuk forum-forum lembaga-lembaga dialog dan forum persaudaraan umat beragama. Kebanyakan memakai istikan umat beriman sehingga lebih luas jangkauannya. Pemrakarsanya justru tokoh-tokoh agama sendiri. 


 
 
   

Mengembangkan Faham Pluralisme Sebuah Keniscayaan

Oleh: Djohan Effendi


Sesungguhnya seorang penganut suatu agama tertentu bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, seorang yang bertuhan bisa berkawan akrab dengan seorang atheis, tapi seorang pluralis tidak mungkin hidup berdampingan dengan seorang anti-pluralis. Sebab seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya. Kalau seorang anti-pluralis berkuasa dia tidak akan membiarkan pikiran, gagasan dan pendirian yang tidak sama dengan pikiran, gagasan dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah pikiran, gagasan dan pendiriannya. Yang lain tidak. Oleh karena itu kalau kita ingin membangun kehidupan bersama yang memberi tempat bagi kita semua yang berbeda-beda satu sama lain kita harus mengembangkan faham pluralisme dalam kehidupan kita. Tak ada pilihan lain.

Dalam perspektif itulah mengapa kita mengangan-angankan tumbuhnya sikap saling menerima eksistensi orang lain dengan segala keunikannya, saling menghormati keyakinan masing-masing dan saling membela hak hidup bersama. Saya rasa cita-cita inilah yang melatarbelakangi kehadiran berbagai organisasi interfaith di mana-mana di berbagai negeri sejak satu-dua dasawarsa yang lalu. Juga di negeri kita. Makalah ini ingin mencoba mengemukakan beberapa gagasan aplikatif untuk mengembangkan sikap pluralis dalam kehidupan masyarakat kita, terutama untuk generasi kita di masa depan.

Sebelum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut saya ingin menceritakan pengalaman ketika saya dipercaya memimpin Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama sekitar tahun 1973-1978 ketika Departemen Agama dipimpin oleh Prof Mukti Ali. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan oleh proyek ini, yakni dialog tokoh-tokoh berbagai agama, penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai agama, dan kemping bersama yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan agama dan organisasi mahasiswa berlatar belakang agama.

Pada tiga tahun pertama proyek ini menyelenggarakan dialog-dialog antar pemuka berbagai agama di hampir semua propinsi di Tanah Air kita. Bukan hanya diikuti oleh tokoh-tokoh dari apa yang selama ini dipersepsi sebagai agama-agama resmi tapi juga diikuti oleh tokoh agama lokal seperti agama Kaharingan di Kalimantan Tengah bahkan tokoh aliran kepercayaan di Jawa Tengah. Kegiatan dialog itu sedapat mungkin diselenggarakan di luar kota sehingga para tokoh dari agama-agama yang berbeda itu beroleh kesempatan hidup bersama beberapa hari. Atau kalau diselenggarakan dalam kota selain kegiatan dialog juga dilaksanakan darmawisata bersama untuk meninjau sarana-sarana kegiatan keagamaan masing-masing sehingga berbagai tokoh agama-agama itu beroleh kesempatan untuk bercengkerama secara santai dan informal selama perjalanan darmawisata tersebut. Yang dipentingkan dalam dialog ini bukanlah kesepakatan pendapat yang dituangkan dalam kesimpulan tertulis tapi kesempatan untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab satu sama lain dari para tokoh berbagai agama itu yang justru tercipta di luar kegiatan dialog yang terstruktur. Terciptanya hubungan interpersonal itu jauh lebih penting dari kesepakatan formal dan tertulis antar institusi.

Sejak tahun ketiga diselenggarakan kegiatan penelitian tentang peranan agama, baik nilai-nilai agama maupun lembaga-lembaga keagamaan, dalam kehidupan riil masyarakat. Untuk ini berbagai desa atau komunitas di mana suatu agama dominan dijadikan sasaran penelitian yang dilaksanakan oleh para peneliti dari berbagai agama. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan tentang hubungan dan interaksi antara agama dan masyarakat, persamaan dan perbedaannya.

Terakhir, sejak tahun keempat difasilitasi kemping bersama yang diikuti oleh mahasiswa perguruan-perguruan agama dan anggota-anggota organisasi mahasiswa yang berlatar belakang agama. Kegiatan ini bertujuan untuk memberi ruang dimana berbagai calon pemuka agama dan tokoh umat beragama di masa depan dapat berkenalan, bercakap-cakap dan membangun hubungan interpersonal satu sama lain. Melalui percakapan yang terbuka dan terus terang diharapkan mereka akan sampai pada komitmen bersama untuk membangun masa depan bangsa.

Sayang sekali pimpinan Departemen Agama sesudah Mukti Ali tidak meneruskan kegiatan ini. Persepsi dan pemahaman tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralitas agama berbeda sehingga pandangan dan sikap dalam penangannya pun berbeda pula. Pengaturan, dan bukan dialog, yang dianggap lebih efektif untuk mengembankan kerukunan hidup umat beragama. Kesepakatan formal institusional dianggap lebih penting daripada hubungan interpersonal antar pemuka agama dalam masyarakat. Padahal seringkali kesepakatan formal dan institusional itu lebih banyak bersifat artifisial serta dipaksakan dan jarang menyentuh hal-hal yang justru lebih diterima secara sukarela dan berakar dari kesadaran dan pengalaman masyarakat sendiri.

Bagaimanapun, sesunggguhnya kerukunan hidup umat beragama tidak akan tercipta oleh pengaturan dari atas melainkan ia harus dikembangkan dari bawah. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir ini saya rasa, sedikit banyak, disebabkan oleh karena kita lebih mementingkan tuntunan dari atas dan kurang mengembangkan kemampuan masyarakat kita sendiri untuk memelihara kerukunan hidup mereka. Akhirnya bangsa kita yang dahulu dianggap sebagai bangsa yang dapat dijadikan teladan dalam memelihara kerukunan masyarakat yang sangat majemuk saat ini dikenal sebagai bangsa yang dilanda budaya kekerasan bahkan kebengisan yang justru tidak diajarkan oleh agama apapun.

Sebenarnya sekarang ini dirasakan saat yang sangat mendesak untuk mempergiat usaha-usaha yang lebih terarah dan terencana untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan warga bangsa kita dengan belajar dari pengalaman pahit yang kita alami selama ini. Apa yang perlu ditekankan, saya rasa, adalah konseptualisasi bersama tentang pluralisme dan usaha bersama untuk mensosialisasikannya. Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan beberapa gagasan untuk mewujudkan gagasan di atas. 

Pertama, melakukan dialog-dialog yang teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal agar tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal dia antara mereka. Melalui kegiatan ini mereka akan mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan merevitalisasi kemampuan “management of conflict” sebagai instrumen kultural untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut melalui “local wisdom” yang berakar dalam pengalaman masyarakat itu sendiri.

Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain. Lebih dari itu diharapkan mereka bisa secara bersama mencari titik-titik temu untuk mengembangkan etik sosial yang mengikat kehidupan bersama.

Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga dilakukan kuliah umum tentang agama-agama dari ahlinya masing-masing sehingga para mahasiswa mengetahui perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama, seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahasiswa masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari berbagai umat.

Tentu masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa dikembangkan namun paling tidak melalui kegiatan-kegiatan di atas apa yang kita maksudkan sebagai pendidikan pluralisme dapat dilaksanakan pada tingkat yang lebih praktikal. Yang lebih penting lagi diharapkan sikap anti pluralis dapat dibendung.[]

Kemusliman dan Kemajemukan Agama

Tulisan: Seri Dian I Tahun I 
Dialog: Kritik & Identitas Agama




oleh: Djohan Effendi


Kemajemukan adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari. Kita hidup di dalam kemajemukan dan merupakan bagian dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Kita menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi –kalau tidak di negeri kita tentu di negeri lain- orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.

Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita harus belajar toleran terhadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas dasar dan dalam semangat pluralisme. Persoalannya adalah bagaimanakah, dalam perspektif iman kita, fenomena kemajemukan itu kita terima? Dan bagaimana pula nilai-nilai pluralisme itu kita hayati?

Islam, Pluralisme Agama dan Kepercayaan

Dengan kata yang jelas Islam tegas-tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. ”Tak ada paksaan dalam agama”, tandas Alquran (QS: II, Al-Baqarah, 156). Bahkan lebih dari itu, Tuhan pun mempersilahkan siapa saja yang mau entah beriman atau kufur terhadap-Nya (QS: XVIII, Al-Kahfi, 29).

Sesuai dengan misi yang diembannya tentulah wajar sekali jika Nabi Muhammad SAW mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawanya. Beliau ingin agar setiap orang menerima Islam sebagai anutan mereka. Maka itu Tuhan mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksakan orang agar beriman kepadaNya sebab Tuhan sendiri tidak memaksakan untuk itu, sebab kalau Ia mau tak ada kesukaran bagi-Nya (QS: X, Yunus, 99).

Terhadap agama-agama yang ada Islam sama sekali tidak menafikan begitu saja. Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Secara eksplisit Alquran menegaskan bahwa orang-orang yang beriman (muslim), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta melakukan amal kebaikan, mereka akan memperoleh ganjaran dari Tuhan, bebas dari rasa takut dan kesedihan (QS: II, Al-Baqarah, 62). Sikap menghormati kepercayaan orang lain sebagaimana yang diajarkan Alquran begitu luas, termasuk larangan sebagaimana mencerca berhala yang menjadi sesembahan orang lain. Sembari menentang keras segala bentuk kemusyrikan Islam menekankan kepada kita untuk tetap menjaga perasaan orang-orang musyrik (QS: IV, Al-An’am, 109). Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi sebuah masyarakat majemuk akan tetapi bagi seorang muslim, merupakan ajaran agama. Karena itu membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh Alquran sendiri yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan seperti biara-biara dan gereja-gereja, siangog-sinagog dan masjid-masjid (QS: XXII, Al-Hajj, 40).

Kesatuan Nubuwwah

Salah satu konsep yang ada gayutannya dengan masalah pluralisme agama dan kepercayaan tersebut adalah konsep tentang kesatuan kenabian. Iman kepada para nabi dan rasul adalah bagian dari aqidah Islam. Dalam kerangka iman kepada para nabi dan rasul itu Alquran mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan mereka satu sama lain (QS: II, Al-Baqarah, 136).

Dalam kata-kata Nabi Muhammad SAW para nabi digambarkan sebagai bersaudara. Mereka bersaudara bukan karena berasal dari keturunan yang sama melainkan karena membawa risalah yang sama, agama perdamaian yang berlandaskan pada kepasrahan kepada Tuhan. ”Para nabi itu bersaudara, ibu-ibu mereka berlainan namun agama mereka satu” (Al-Hadist). Sabda Nabi itu mungkin bisa kita pahami sebagai penjelasan terhadap pernyataan Alquran dalam surat XLII (Asy-Syura, 13).

Islam mengakui adanya titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan untuk hidup bersama (QS: III, Ali Imran, 63).

Ka’bah Lambang Kesatuan Nubuwwah

Dalam konteks ini, ada baiknya bila kita mencoba melihat dan memahami posisi simbolik Ka’bah dalam kerangka konsep kesatuan nubuwwah. Ka’bah atau baitullah yang menjadi kiblat kita dalam sembahyang dan pusat yang dikitar jemaah haji dalam thawaf seringkali menjadi sasaran kritik dan pertanyaan dari kalangan non-muslim. Tidak sedikit orang menjadi kritik menghadapi pertanyaan kritis semacam itu.

Ka’bah sebenarnya melambangkan ide kesatuan Nubuwwah. Ia melambangkan himpunan para Nabi yang diutus dari zaman ke zaman di berbagai tempat di muka bumi ini, yang mencapai puncaknya dalam kedatangan Muhammad SAW. Perlambang ini dapat kita tarik dari sabda Nabi:

”Sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumku adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah gedung. Ia bangun gedung itu dengan baik dan indah kecuali kurang sebuah batu-bata di salah satu pojok gedung itu. Lalu orang-orang yang berkeliling mengitari gedung itu sambil mengaguminya berkata: ’kenapa kau tinggal satu batu-bata lagi’. Maka akulah batu-bata itu, akulah penutup segala Nabi.” (Al-Hadits)

Batu-bata terakhir yang mengisi kekosongan di pojok bangunan yang indah itu adalah fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai khatamu ’l-nabiyyin. Itulah yang dilambangkan oleh hajaru ’l-aswad. Karena itu perbuatan mencium hajaru ’l-aswad ketika melaksanakan thawaf adalah perlambang komitmen kita kepada agama yang dibawa oleh Nabi. Tidak jelas apakah Umar Ibnu ’l-Khattab menghayati makna perlambang itu, namun kata-kata yang terlontar dari mulut beliau ketika akan mencium hajaru ’l-aswad memperlihatkan komitmen itu. ”Hai batu hitam,” kata beliau, ”Sebenarnya kamu sama nilainya dengan batu-batu lain yang berserakan di jalanan. Aku tak akan mencium kau kalau saja aku tak melihat Nabi mencium kau.”

Sikap Nabi terhadap Umat Lain

”Barang siapa mengganggu kaum dzimmi (minoritas non-muslim) maka ia telah menganggu aku,” kata Nabi. Ucapan tersebut memperlihatkan betapa besar rasa tanggung jawab Nabi terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan Muslim terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan Muslim yang hidup di bawah kekuasaan kaum Muslimin. Hal ini terlihat semenjak Nabi mulai membangun masyarakat di Madinah setelah hijrah. Penting untuk dicatat bahwa sejak semula kelihatan sekali bahwa Nabi tidak bermaksud untuk membangun sebuah masyarakat Muslim yang eksklusif. Piagam Madinah yang menjadi landasan pembangunan masyarakat baru di Madinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan umat-umat lain. Piagam Madinah menggambarkan semangat hidup berdampingan secara rukun yang diikat oleh kesediaan untuk bekerjasama dan saling membela. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa tersingkirnya orang-orang Yahudi dari Madinah bukan karena perlakuan tidak semena-mena, tetapi karena pengkhianatan mereka sendiri terhadap piagam tersebut.

Salah satu peristiwa lain yang sangat penting untuk kita simak adalah penerimaan Nabi Muhammad SAW terhadap delegasi Kristen dari Najran. Suatu ketika Nabi kedatangan serombongan delegasi yang berjumlah sekitar 60 orang. Mereka penganut agama Katolik yang dipimpin oleh Abdu ’l-Masih al-Ayham dan Abu Haritsa bin ’Al-qama. Yang disebut terakhir ini adalah seorang Uskup tokoh agama mereka. Mereka tinggal beberapa hari di Madinah dan ditampung di Masjid Nabawi dan rumah-rumah sahabat Nabi. Selama beberapa hari itu terjadilah dialog antar agama antara Nabi dengan mereka. Suatu ketika pimpinan delegasi itu mohon pamit kepada Nabi untuk meninggalkan Masjid Nabawi beberapa saat. Ketika Nabi menanyakan apa keperluan mereka sehingga harus pergi meninggalkan masjid, mereka menjawab bahwa mereka ingin melakukan kebaktian. Nabi mencegah mereka pergi keluar dari masjid dan mempersilahkan mereka melakukan kebaktian di masjid Nabawi. Peristiwa itu diceritakan oleh sejarawan Islam dalam buku Sirah Ibn Ishaq (85-151 H).

Refleksi

Sikap Nabi seperti tergambar di atas kalau kita tarik ke dalam konteks kehidupan sekarang mungkin menimbulkan dilema antara komitmen kepada nilai-nilai luhur Islam sebagaimana diteladankan oleh Nabi dengan kepentingan politik yang lebih ditentukan oleh tuntunan kondisional. Hirarki dari sistem nilai yang dianut seseorang seringkali tidak jelas sehingga mengakibatkan komitmennya tidak jarang lebih kepada kepentingan temporal daripada nilai eternal.[]

Buya Hamka dan Kebebasan Beragama

oleh: Djohan Effendi 

 
  
 “Majlis Hakim Kerajaan telah memutuskan bahwa kami melanggar Mazhab Syafi’i. Untuk menjaga perdamaian, kami kemukakan alasan Mazhab Syafi’i juga menganggap sah Jum’at kami. Sekarang sebab Pemerintah Dai Nippon telah sudi mencampuri soal ini, biarlah kami kemukakan pendirian kami yang sebenarnya. Kami Muhammadiyah tidak terikat dalam Mazhab Syafi’i. Memang kami tidak terikat kepada Mazhab Syafi’i. Kami hanya memakai suatu mazhab, yaitu Qur`an dan Hadits. Pada pendapat kami Jum’at kami tidak sah, selama kami bersatu dalam Jum’at kerajaan. Menurut pandangan kami di situ terlalu banyak bid’ah, yang dalam Mazhab Syafi’i sendiri pun tidak ada! Dalam ajaran Nabi kami, Muhammad s.a.w., bila seorang Islam sampai tiga kali meninggalkan Jum’at, hatinya akan dikelamkan Tuhan. Dia menjadi munafik. Maka kawan-kawan saya di Rampah lebih seratus orang banyaknya, gelisah jiwanya kalau tidak mempunyai Jum’at sendiri! Saya percaya pemerintah Dai Nipon akan mendamaikan hal ini. Yaitu kemerdekaan beragama! Dalam hal yang lain, kawan-kawan saya di daerah kerajaan akan tetap menjadi rakyat patuh! Tetapi berilah dia kemerdekaan mengerjakan agama menurut keyakinannya! Sedangkan pemeluk agama lain bebas beribadat menurut keyakinan agamanya, mengapa kami orang Islam tidak?”
 Kalimat-kalimat yang menuntut kebebasan beragama dan melaksanakan ibadat menurut keyakinan agama pemeluknya diucapkan oleh Buya Hamka di hadapan pejabat pemerintahan Jepang di Sumatera Utara dan para ulama Kerajaan Deli ketika pelaksanaan shalat Jum’at tersendiri oleh warga Muhammadiyah di Rampah, Sumatera Utara, dihalang-halangi oleh Kerajaan Deli. Menurut pihak ulama Kerajaan, berdasarkan Mazhab Syafi’i yang dianut oleh Kerajaan mendirikan dua mesjid di satu wilayah yang azan di mesjid didengar oleh jamaah mesjid lain tidak diperkenankan. Shalat Jum’at yang dilakukan di mesjid itu tidak sah. Di pihak lain, ulama-ulama Muhammadiyah Sumatera Utara, dengan mendasarkan pada salah satu pendapat di kalangan Mazhab Syafi’i juga, mengatakan kehadiran mesjid baru itu tidak dilarang. Bahkan, menurut mereka, karena dalam pelaksanaan shalat Jum’at di mesjid Sultan di Rampah dilakukan banyak perbuatan-perbuatan yang tidak disetujui oleh pihak Muhammadiyah, justru shalat Jum’at yang mereka lakukan mereka di mesjid Sultan itu yang tidak sah. 
 Untuk memahami lebih jelas kasus yang mendorong Buya Hamka menyatakan pendiriannya dengan tegas dan keras mungkin ada baiknya bila kita menoleh ke belakang ketika wacana tentang pertentangan masalah-masalah keagamaan marak berkembang di kalangan umat Islam waktu itu. Paroh pertama abad ke-20 wacana keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia diwarnai terutama oleh perbedaan dan pertengkaran pendapat yang dipicu oleh pertentangan antara Kaum Muda dan Kaum Tua, antara gerakan salafiyah dengan semboyan “Kembali ke Quran dan Hadits” dan kalangan tradisionalisme mazhabiyah yang mempertahankan faham bahwa umat Islam mesti wajib bertaqlid, mengikuti salah satu dari empat mazhab Sunni, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, dan khusus untuk Indonesia itu berarti mengikuti mazhab Syafi’i. Banyak praktek-praktek keagamaan Kaum Tua dianggap oleh Kaum Muda sebagai bid’ah, yakni praktek-praktek keagamaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Bagi Kaum Muda semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat akan masuk neraka. Oleh karena itu mereka yang menganut faham Kaum Muda berusaha membersihkan praktek-praktek keagamaan mereka dari hal-hal yang berbau bid’ah. 
 Pertentangan Kaum Muda dan Kaum Tua itu juga terjadi di Sumatera Utara. Pertentangan ini menarik karena melibatkan pihak Kerajaan yang mempertahankan faham Kaum Tua. Penyebaran faham Kaum Muda yang dibawa dan dikembangkan oleh Muhammadiyah tak ayal lagi menimbulkan kerenggangan dan ketegangan hubungan antara pembawa faham baru dan pembela faham lama. Salah satu di antaranya adalah kasus pelaksanaan shalat Jum’at di Rampah, di wilayah Kesultanan Deli. Di Rampah Muhammadiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan jumlah anggotanya ratusan orang. Mereka ingin mempunyai mesjid sendiri untuk melaksanakan shalat Jum’at bebas dari hal-hal yang mereka anggap sebagai bid’ah. Mereka mulai dengan melaksanakan shalat Jum’at di sekolah Muhammadiyah. Terjadilah pertengkaran antara Hakim Kesultanan yang didukung oleh para ulama Kaum Tua, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam, dan pihak Muhammadiyah yang dipimpin oleh Buya Hamka yang ketika itu menjabat Konsul Muhammadiyah di Sumatera Utara. Pelaksanaan shalat Jum’at yang diselenggarakan Muhammadiyah Rampah dianggap telah melanggar Mazhab Syafi’i dan karena itu dilarang oleh Kesultanan Deli. Pihak Muhammadiyah tidak mau menerima begitu saja keputusan Hakim Kesultanan. Terjadilah ketegangan antara kedua belah pihak yang bertentangan sehingga Pemerintahan Jepang di Sumatera Utara campur tangan untuk mendamaikan pertengkaran itu.  
 Dalam pertemuan antara ulama Kesultanan Deli dan pimpinan Muhammadiyah yang diprakarsai dan dipandu oleh pejabat Jepang untuk mendamaikan pertengkaran kedua pihak tersebut Buya Hamka dengan penuh semangat mengemukakan pendirian Muhammadiyah seperti dikutib di atas. Kisah nyata ini dapat kita baca dalam otobiografi Buya Hamka, Kenang-kenangan Hidup jilid III halaman 155-156. 
Cerita ini sengaja saya ungkapan kembali untuk menanggapi laporan Wahid Institute yang menggambarkan bahwa masalah kebebasan beragama di negeri kita masih sangat memprihatinkan. Pemerkosaan kebebasan beragama tampak kasat mata sampai saat ini. Puluhan orang masih tinggal di tempat pengungsian di Mataram, Lombok, karena mereka menganut faham yang difatwakan sesat oleh Majlis Ulama dan diamini oleh “aparat Pemerintah” dan berdasarkan fatwa penyesatan itu berbagai kalangan masyarakat mengambil tindakan sendiri, mengusir sekelompok orang yang mereka anggap menganut faham sesat, merusak harta benda mereka, menutup dan membakar rumah ibadah mereka. 
 Betapa penting kebebasan beragama dan kebebasan meyakini dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinan penganutnya, sebab tanpa kebebasan itu, menurut Buya Hamka, akan menggelisahkan jiwa seseorang. Memang pemerkosaan terhadap kebebasan berkeyakinan adalah penderitaan batin sangat menyakitkan bagi para korban. Keyakinan hidup terutama berkaitan dengan agama menyangkut keyakinan tentang kebenaran dan keselamatan hidup, di dunia dan di alam baka yang untuk itu seseorang bersedia menyerahkan nyawanya. Sungguh ironis kalau ada orang, organisasi atau lembaga, yang merasa berwenang mengatur keyakinan hati seseorang yang Tuhan sendiri menganugerahinya kebebasan hati nurani. 
 Sebelum era reformasi kemerdekaan beragama dianggap sebagai hak manusia yang paling asasi dan berasal dari Tuhan sendiri, sama sekali bukan pemberian kelompok atau negara. Ia tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Ia melekat dalam harkat dan martabat kemanusiaan yang dibawa sejak lahir. Tak ada yang berhak merampas kemerdekaan itu. Kalau Tuhan Pencipta alam semesta ini memberikan kebebasan kepada manuasia ciptaan-Nya, tidak peduli apakah mereka beriman atau tidak, muslim atau tidak, untuk hidup di atas bumi-Nya dan memanfaatkan segala apa yang ada di alam ini, lalu apa hak sekelompok manusia untuk mengusir kelompok manusia lain dari bumi Tuhan yang Dia sendiri memuliakan semua turuan Adam? Apa hak Pemerintah Republik Indonesia atau Majlis Ulama Indonesia, misalnya untuk melarang atau meminta melarang seseorang atau sekelompok orang yang sudah turun temurun tinggal di negeri ini, hanya karena menganut keyakinan yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Kalau pemeluk agama lain saja tidak dilarang mengapa sekelompok orang yang mengaku diri mereka muslim walaupun dianggap sesat oleh pihak muslim lain, tidak diberi kebebasan untuk menganut faham dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka? Majlis Ulama Indonesia atau Departemen Agama kalau merasa berhak silahkan saja menganggap sekelompok orang sesat atau bukan muslim tapi mereka tidak berhak melarang mereka untuk mengakui muslim dan merampas kemerdekaan mereka untuk menganut keyakinan agama mereka kalau mereka bersikukuh menyatakan diri mereka muslim. 
 Mungkin ada baiknya pihak berwenang di Republik Indonesia ini menyimak tanggapan Buya Hamka terhadap pihak ulama Kesultanan yang menyatakan: “Seluruh kekuasaan beragama adalah di tangan raja, di tangan sultan! Muhammadiyah boleh berdiri di tanah kerajaan, tetapi jangan mengerjakan agama berbeda dengan amal pihak kerajaan!” Buya Hamka menjawab: “Mendirikan klengteng dan gereja, mengapa dibolehkan di tanah kerajaan?” Pihak kerajaan menukas: ”Kalau sudah terang Muhammadiyah tidak Islam, tentu diizinkan!” Buya Hamka menjawab: “Bukankan menurut keyakinan kerajaan, kami ini adalah golongan sesat? Golongan Wahabi. Mu’tazilah, keluar dari Mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah? Apa salahnya tuan golongkan saja kami ini sebagai pemeluk agama yang lain? Sebab berbeda pendirian dengan tuan-tuan.” 
 Ada baiknya apabila pihak Majlis Ulama Indonesia dan Departemen Agama bahkan organisasi Muhammadiyah sendiri, menyimaki saran Buya Hamka, Ketua Umum pertama Majlis Ulama Indonesia kepada ulama resmi dan penguasa agama dalam menghadapi kelompok yang dianggap sesat dan bukan meniru sikap ulama kesultanan Deli yang mau memberikan kebebasan kepada Muhammadiyah melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka kalau Muhammadiyah menyatakan diri mereka sebagai bukan Islam.  []

Surat untuk Petinggi Negara RI

No. : 0080/Ketum/ICRP/07-05
Hal : Solusi untuk Jamaah Ahmadiyah



Kepada Yth.

Segenap Petinggi Negara RI
Para Pemuka Masyarakat
Di Jakarta


Kasus penyerangan dan penutupan Kampus Mubarak Parung telah menghadapkan bangsa dan negara kita pada masalah yang sangat mendasar, yakni jaminan terhadap hak asasi manusia yang paling fundamental, jaminan terhadap kebebasan beryakinan yang di masa Orde Baru sebagaimana dicantumkan dalam TAP MPR tentang GBHN dianggap sebagai berasal dari Tuhan sendiri dan sama sekali bukan anugerah dari negara atau suatu kelompok. Pemerintah sedang menghadapi situasi yang sangat dilematik, karena ada tuntutan bahkan pemaksaan kehendak sekelompok orang yang merasa mempunyai otoritas menghabisi eksistensi kelompok lain yang berbeda keyakinan dengan mereka. Sangat dikhawatirkan Pemerintah tidak berdaya menghadapi tuntutan dan pemaksaan kehendak itu. Maka sangat boleh jadi Pemerintah dengan dalih menjaga ketertiban dan mencegah keresahan umum akan mengambil jalan termudah dengan mengorbankan hak hidup kelompok minoritas, misalnya melarang kehadiran mereka di negara kita ini untuk menyenangkan kelompok pemaksa kehendak itu tidak peduli bahwa mereka dikorbankan itu sudah hadir jauh sebelum negara ini berdiri. Nasib inilah yang boleh jadi akan dialami oleh saudara-saudara kita sebangsa, Manusia Indonesia, para warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Surat ini saya tulis berdasarkan asumsi Pemerintah akan mengikuti tuntutan kelompok pemaksa kehendak itu. 

Perlulah disadari oleh pengambil keputusan bahwa masalah yang akan dihadapi tidak begitu saja selesai setelah pelarangan menganut sebuah keyakinan dikenakan kepada para penganut keyakinan yang dilarang itu. Sebab yang dilarang bukan sebuah partai politik atau organisassi kemasyarakatan biasa melainkan sebuah aliran keagamaan yang diyakini oleh penganutnya sebagai jalan untuk memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat nanti. Bisa diduga mereka tidak akan rela melepaskan keyakinan mereka begitu saja. Mereka akan tetap melakukan shalat berjamaah di mesjid-mesjid mereka. Di pihak lain pihak pemaksa kehendak mungkin saja menganggap tindakan itu sebagai pembangkangan terhadap larangan Pemerintah lalu mereka merasa berhak mengober-ober warga Jemaat Ahmadiyah yang masih mempertahankan keyakinan mereka. Melalui surat ini saya mencoba mengemukakan berbagai alternatif untuk menghindari kemungkinan di atas.
 Pertama, menyiapkan kamp-kamp konsentrasi di mana para penganut aliran yang dilarang itu dihimpun di suatu tempat yang aman dari serangan pihak mayoritas yang ingin menghabisi mereka. Kalau tidak demikian maka akan terjadi tindak-tindak kekerasan terhadap para penganut aliran terlarang tersebut sebab tentu ada di antara mereka bahkan mungkin sebagian besar yang memilih jalan kematian daripada dipaksa meninggalkan anutan batin mereka. Atau Pemerintah menyediakan polisi untuk mengawasi penganut aliran terlarang itu untuk tidak melaksanakan ibadat menurut keyakinan mereka, dan kalau terdapat penganut keyakinan tersebut melakukan ibadatnya mereka harus ditangkap sebagai telah melakukan perbuatan melanggar hukum. 
 
Kedua, Pemerintah mendekati berbagai negara lain untuk memberi tempat pengungsian kepada para penganut aliran terlarang tersebut. Di harapkan PBB melalui Badan Urusan Pengungsi bisa membantu menyalurkan para penganut aliran terlarang itu ke negara-negara lain yang memberikan kebebasan berkeyakinan kepada penduduknya. Saya rasa beberapa negara yang selama ini sangat vokal dalam masalah pelanggaran HAM akan bersedia menampung mereka. Tentu saja Pemerintah perlu meyakinkan warga Jemaat Ahmadiyah bahwa kalau mereka bersikeras tidak mau meninggalkan keyakinan mereka agar mereka bersedia dengan suka rela meninggalkan Indonesia dan berimigrasi ke negeri lain di mana mereka bisa bebas menganut keyakinan mereka. Dengan sendirinya Pemerintah juga harus bisa memfasilitasi program pengungsian ini.  




Jakarta, 27 Juli 2005

Indonesian Conference of Religion for Peace,
Ketua Umum,





Djohan Effendi

Surat Terbuka Kepada Pimpinan Majlis Ulama Indonesia

Dari:
Djohan Effendi
Ketua Umum Indonesian Conference of Religion for Peace

Para Pimpinan Majlis Ulama Indonesia yth.

Izinkanlah saya menyampaikan surat terbuka ini berkenaan dengan tindakan kekerasan yang ditimpakan kepada sebagian Manusia ciptaan Tuhan di negeri kita, warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Tindakan kekerasan itu, langsung maupun tidak, terkait dengan fatwa MUI yang menganggap keyakinan yang mereka anut sebagai keyakinan yang sesat. Saya tulis surat ini bukanlah untuk membela faham dan ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia melainkan karena panggilan untuk membela kebebasan berkeyakinan yang dianugerahkan Tuhan kepada Manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. 

Saya tidak ingin mempersoalkan substansi fatwa tersebut sebab fenomena sasat menyesatkan merupakan fenomena biasa dalam dunia dan kehidupan beragama di manapun dan kapanpun. Saya memahami sepenuhnya bahwa fatwa tersebut didasarkan oleh rasa tanggung jawab Pimpinan MUI untuk mengingatkan kepada kaum muslimin yang berada dalam gembalaan mereka agar jangan sampai “tersesatkan” oleh ajaran yang dianggap menyimpang dari ajaran yang benar. 

Melalui surat terbuka ini saya hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan implikasi fatwa tersebut yang menyebabkan timbulnya kekerasan dan perusakan harta benda mereka yang dianggap sesat.

 Apakah mereka yang difatwakan menganut ajaran yang sesat tidak boleh hidup di atas bumi Tuhan? Bukankah mereka lahir ke dunia ini atas kehendak Tuhan? Lalu apakah Negara atau pemerintah mempunyai otoritas untuk mengusir mereka dari bumi ini? Bukankah Tuhan tidak mengajarkan bahwa bumi ini hanya boleh ditinggali oleh orang-orang yang tidak sesat?

 Karena mereka dianggap bukan muslim apakah mereka tidak boleh mengucapkan syahadat, melakukan salat dan puasa, membayar zakat, dan ibadat-ibadat lain sama seperti dilakukan oleh kaum Muslimin lainnya? Dan karena itu mesjid-mesjid tempat mereka salat berjamaah, salat jumat, tahajjud dllnya harus ditutup? 

 Apakah mereka dilarang membaca al-Quran dan kitab-kitab Hadits sebagaimana mereka lakukan selama ini?

 Kalaulah mereka memang sesat bukankah kesesatan itu merupakan tanggung jawab mereka sendiri. Bukankah kewajiban ulama terbatas pada menyampaikan dan bukan memaksakan kebenaran pada umat manusia?

 Dengan menyampaikan surat ini saya mengharapkan Pimpinan MUI untuk tidak membiarkan pihak-pihak yang menganggap fatwa MUI sebagai alasan pembenar untuk melakukan pengejaran terhadap warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menganggap mereka bukan lagi Manusia yang dimuliakan Tuhan. Mereka saat ini sedang dirundung ketakutan, jiwa dan harta benda mereka sedang terancam. Mereka terpaksa beribadat secara sembunyi-sembunyi. Lebih-lebih kalau aparat Pemerintah juga menganggap mereka tidak lagi mempunyai hak konstitusi sebagai warga Negara hanya karena mereka difatwakan menganut faham yang sesat.  

 Saya yakin kita semua masih punyai hati nurani.

 Jakarta, 30 Juli 2005


  



 
   
 
 

Surat Terbuka kepada Presiden RI

Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yth.

 Izinkanlah saya menyampaikan surat terbuka ini untuk meminta perhatian Bapak Presiden yang sungguh-sungguh berkenaan dengan pelanggaran atas ideologi Negara dan konstitusi yang dilakukan secara terang-terangan, yakni penodaan terhadap kebebasan berkeyakinan di negeri kita terhadap kelompok minoritas yang sudah berkali-kali terjadi. Hati saya tergerak untuk menulis surat ini pada saat mendengar pidato Bapak Presiden ketika membuka the ASEM Interfaith Dialogue pagi tadi, 21 Juli 2005 di Denpasar, Bali. Sungguh enak mendengar ucapan-ucapan Bapak Presiden yang antara lain mengatakan:

“Moderasi berarti kita harus mencegah pemaksaan pendapat seseorang terhadap orang lain dan menghindarkan penggunaan kekerasan. Moderasi mengharuskan kita menghormati hak-hak orang lain, dan menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri kita sendiri. Moderasi menuntut kita menghargai dialog dan perbedaan. Dan moderasi menghendaki pendekatan inklusif dan komitmen total terhadap perdamaian dan toleransi.”

Pernyataan Bapak Presiden di atas sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi saat ini berkenaan dengan penyerangan dan penutupan Kampus Mubarak, milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Parung baru-baru ini. 

 Bapak Presiden;
 Sesat-menyesatkan adalah fenomena biasa dalam dunia keagamaan sepanjang sejarah. Akan tetapi merampas kebebasan berkeyakinan adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang sangat menyakitkan. Tidak ada penderitaan batin yang lebih memerihkan dibanding pelarangan terhadap seorang beriman untuk menganut keyakinan batinnya yang ia yakini merupakan jalan keselamatannya di dunia dan di akhirat nanti. Sebenarnyalah kebebasan berkeyakinan adalah berasal dari Sang Pencipta sendiri, dan sama sekali bukan pemberian Negara atau golongan mayoritas. 

 Adalah sangat disesalkan kalau aparat Negara yang seharusnya melaksanakan amanat konstitusi untuk menjamin hak-hak Warga Negara membiarkan apalagi kalau malah terlibat dalam tindakan melanggar hukum. Sungguh sangat ironis kalau sampai Pemerintah tunduk terhadap intimidasi dan pemaksaan kehendak sekelompok orang yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan melawan hukum. Percayalah Bapak Presiden, kalau Pemerintah tidak bertindak tegas atau bahkan menyerah terhadap intimidasi dan pemaksaan kehendak yang dilakukan dengan kekerasan, apa yang mereka lakukan sekarang bukan yang terakhir. Tindakan-tindakan serupa akan terus terjadi. Jaminan konstitusi terhadap kebebasan berkeyakinan akan menjadi rumusan yang tidak berarti dan masyarakat beradab akan menertawakan kita.

 Tegakah Bapak Presiden jika dalam Negara yang Bapak pimpin seorang atau beberapa orang warga Negara dihukum hanya karena dia atau mereka mengamalkan keyakinan agama atau kepercayaannya yang dianggap menyimpang oleh golongan mayoritas. Apabila suatu agama atau faham keagamaan dilarang di negeri kita apakah yang akan dipakai untuk mengawasi hati orang? Dan kalau mereka didapati beribadah menurut keyakinan dan di tempat mereka sendiri lalu mestikah mereka dianggap telah melakukan tindak kriminal? Kalau mereka masih juga bersiteguh dengan keyakinan mereka apakah mereka harus dipaksa keluar dari negeri ini padahal mereka sejak turun temurun merupakan penduduk asli dan bukan keturunan asing. Karena itu Bapak Presiden, setiap pejabat negara yang berpikiran untuk melarang suatu agama atau faham keagamaan hendaklah memikirkan masak-masak konsekuensi pelarangan tersebut, dan mencoba membayangkan bagaimana kalau pelarangan tersebut dikenakan kepada mereka sendiri. Kalau Tuhan Sang Pencipta saja memberikan mereka kebebasan hidup di atas bumi-Nya apa pula hak negara atau pejabat negara untuk merampas kebebasan seseorang untuk berkeyakinan sesuai dengan pilihannya?  

 Melalui surat ini saya ingin mengetuk hati nurani Bapak Presiden dan semua pejabat negara di negeri kita sebab wibawa Pemerintah untuk menjamin terlaksananya amanat konstitusi sedang dipertaruhkan.

 


Denpasar, 21 Juli 2005



 

Djohan Effendi
 Ketua Umum Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP)

Pluralisme Pemahaman dalam Perspektif Teologi Islam

oleh: Djohan Effendi

Pada tahun 1953 di Pakistan terjadi kerusuhan hebat yang menelan banyak korban, baik harta maupun nyawa manusia. Kerusuhan itu berpangkal pada tuntutan dari kalangan ulama di Pakistan agar Menteri Luar Negeri Pakistan saat itu, Muhammad Zafrullah Khan, dikeluarkan dari kabinet. Alasannya adalah bahwa ia seorang Qadiyani yang harus diperlakukan sebagai minoritas non-muslim. Karena itu, menurut kalangan ulama itu, ia tidak diperkenankan untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Pakistan sebagai sebuah negara Islam. Tuntutan itu terbatas pada pemecatan saja, sebab Zafrullah Khan yang memang lahir dari keluarga Qadiyani hanya dianggap sebagai kafir dzimmi. Kalau tidak, jika saja ia seorang Qadiyani baru dan sebelumnya seorang muslim biasa, ia dapat dihukum mati karena melakukan riddah, murtad dari agama Islam, sebagaimana dialami oleh Mahmud Thaha di Sudan, yang pada zaman Numeyri memberlakukan syariat Islam terpaksa mengakhiri hidupnya di tiang gantungan karena pendapatnya diangggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Perdana Menteri Pakistan saat itu, Khwaja Nazimuddin, tidak bersedia begitu saja tunduk pada tuntutan para ulama tersebut. Ia tetap berpegang teguh pada semangat yang diwariskan oleh Ali Jinnah, pendiri Pakistan, tentang kewarganegaraan Pakistan yang tidak mengenal diskrminasi, baik etnis maupun agama. Itulah sebabnya mengapa kerusuhan itu terjadi, dan begitu memuncak sehingga pemerintah Pakistan memberlakukan hukum darurat militer dan mengambil tindakan tegas. Peristiwa berdarah itu dimajukan ke muka sebuah mahkamah yang mengadakan penyelidikan secara menyeluruh dan mendalam.

Pemeriksaan di depan mahkamah penyelidikan itu kemudian dibukukan dalam sebuah laporan yang dikenal sebagai Munir Report. Dalam pemeriksaan itu mahkamah meminta keterangan beberapa tokoh ulama yang mengajukan tuntutan tersebut. Kepada mereka antara lain diajukan pertanyaan tentang definisi seorang muslim.

Secara bergantian dan sendiri-sendiri tokoh-tokoh ulama itu memberikan jawaban mereka masing-masing. Yang menarik adalah, ternyata jawaban mereka berbeda-beda satu sama lain. Terhadap kenyataan ini hakim mahkamah penyelidikan itu memberikan komentar sebagai berikut: ”Memperhatikan berbagai definisi yang diberikan para ulama itu kita tidak merasa perlu memberikan komentar kecuali bahwa tidak ada dua orang ulama yang sepakat dalam masalah yang fundamental ini. Bila kita membuat definisi kita sendiri sebagaimana masing-masing ulama itu melakukannya, dan definisi itu berbeda dengan definisi-definisi yang diberikan oleh para ulama itu, tak ayal lagi kita telah keluar dari lingkungan Islam. Dan bila kita menerima definisi yang diberikan salah seorang ulama itu, kita akan tetap dianggap muslim menurut ulama tersebut namun kafir menurut definisi lainnya.” (Report of the Court of Inquiry contituted under Punjab Act II of 1954 to enquire into Punjab Disturbance of 1953, hal. 218)

Komentar hakim mahkamah di atas mungkin agak mendramatisasikan kenyataan tentang pluralisme pemahaman di kalangan ulama-ulama Islam sendiri tentang masalah yang cukup mendasar, definisi tentang siapakah muslim itu. Namun hal itu membuat kita tidak usah heran terhadap fenomena takfir, yakni gejala saling mengkafirkan di antara sesama umat seagama. Kaum Khawarij yang muncul di masa permulaan Islam dapat dianggap sebagai kelompok pemula dalam mengurangi jumlah umat Islam.

Cerita dan kutipan di atas mungkin dapat dijadikan sekedar penguat bahwa pembicaraan tentang apa yang disebut sebagai Teologi Minimalis, atau apapun namanya, bukanlah tanpa alasan. Terutama dalam kaitan dengan adanya pluralisme pemikiran dan pemahaman dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Memang, dalam perkembangan sejarah umat Islam sejak dahulu hingga sekarang timbul dan berkembang berbagai pemahaman tentang agama, baik yang melembaga menjadi sebuah agama maupun yang berserakan dalam pemahaman individual. Pertanyaan yang ingin diajukan di sini adalah bagaimana fenomena pluralisme itu dilihat dari perspektif teologis? Apakah Islam menerima adanya pluralisme pemahaman di kalangan umatnya ataukah menolaknya? Hal ini dengan sendirinya berkaitan dengan pertanyaan bagaimanakah sikap Islam terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berkeyakinan?

Berpikir dan berkeyakinan adalah fenomena manusiawi. Ia melekat dalam keberadaan manusia. Ia bersifat ingeren dan otonom. Tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memaksa seseorang untuk berhenti berpikir atau melepaskan keyakinan hatinya kecuali dirinya sendiri. Lalu bagaimana kalau pikiran atau keyakinan itu, baik dianut secara individual maupun secara kolektif, dianggap sebagai bid’ah atau heterodoks? Persoalannya pertama-tama tentu bid’ah atau heterodoks menurut siapa? Kembali lagi takfir, dan dalam kaitan ini saling membid’ahkan dan saling mengheterodokskan.

Bahwa seseorang meyakini keyakinannya sendiri sebagai benar adalah haknya dan sewajarnya, akan tetapi bila ia memaksakan keyakinannya itu agar juga diyakini oleh orang lain, ia telah melanggar hak orang lain, memperkosa kebebasan orang lain. Bagaimana hal ini dilihat dari konteks kehidupan beragama? Pertama-tama tentu kita harus menegakkan prinsip kebebasan beragama (la ikraha fid-din) secara utuh dan konsekuen. Ia harus diterima sebagai prinsip yang bersifat mutlak walaupun dalam kenyataannya ia tidak lepas dari kendala kerelatifan manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.

Pluralisme dalam agama dan keberagamaan mestilah dipahami dan diterima, tidak saja dalam arti kemajemukan agama-agama yang hidup dan berkembang dalam kehidupan umat manusia akan tetapi juga dalam arti kemajemukan pemahaman dalam lingkungan umat dari satu agama. Problem yang sangat peka justru terdapat dalam konteks yang kedua itu, masalah kemajemukan dalam pemahaman.

Dalam konteks umat Islam memang terdapat rujukan utama untuk mengembalikan perbedaan dan pertentangan pendapat, yaitu Allah dan Rasul. (Fa in tanaza’tum fi syay-in farudduhu ila-llahi wa Rasul). Dalam wujud konkret Allah dan Rasul itu terepresentasikan dalam Alquran dan As-Sunnah. Namun perlu dicatat bahwa kembali kepada Alquran dan As-Sunnah itu tidak dengan sendirinya mengakhiri perbedaan dan pertentangan pendapat. Bahkan di situ terbuka kemungkinan perbedaan dan pertentangan baru karena perbedaan pemahaman terhadap Alquran dan As-Sunnah itu sendiri. Dari perspektif yang lain pengembalian kepada Allah dan Rasul itu juga dapat dipahami agar mereka yang berbeda pemahamannya satu sama lain tidaklah saling mendesakkan pendapatnya sendiri. Masing-masing hendaknyalah membiarkan sesamanya untuk mempertanggungjawabkan pemahamannya sendiri kepada Tuhan dan Rasul.

Menghadapi pluralisme pemahaman itu perlu dikembangkan toleransi sosial dan komitmen terhadap kebebasan berkeyakinan. Ungkapa dalam Alquran: wala taqul li man alqa ilaykumu s-salama lasta mu’minan. Dan janganlah menyatakan kepada orang yang menyampaikan salam kepadamu itu ”Engkau tidak beriman”, agaknya sangat relevan untuk melandasi sikap toleransi sosial di kalangan sesama umat. Ungkapan di atas juga mengisyaratkan kepada kita untuk tidak mudah menghakimi dan menilai iman seseorang. Kemusliman dan ketidakmusliman seseorang seyogyanya dibiarkan menjadi tanggung jawab masing-masing pribadi. Kita cukup mempercayai pengakuannya.

Komitmen terhadap kebebasan berkeyakinan terutama di wujudkan dalam sikap membela hak orang lain untuk meyakini keyakinannya sendiri walaupun kita tidak setuju dengan pendapat atau keyakinannya itu. Prinsip: unshur akhaka zhaliman aw mazhluman, tolonglah saudaramu, pada saat melakukan kezdaliman atau diperlakukan secara zdalim, bisa diterapkan di sini. Kita harus mencegah pemerkosaan hak misalnya, walau itu dilakukan oleh saudara kita sendiri, dan kita wajib membela mereka yang terperkosa hak-haknya, walaupun mereka tidak sepaham dengan kita.

Dalam konteks ini terasa ada kaitan yang erat dengan pengembangan iklim demokrasi dalam kehidupan masyarakat kita. Dan pengembangan iklim demokrasi itu tentu saja merupakan bagian dari pembangunan bangsa kita dalam bidang sosial-politik.[]

AGAMA,KONFLIK DAN BUDAYA KEKERASAN

Oleh: Djohan Effendi

Pendahuluan

 Perbincangan kita kali ini berkisar di sekitar masalah Agama, Konflik, dan Budaya Kekerasan. Masalah yang menjadi obyek perbincangan kita ini bukanlah sebuah topik yang menyenangkan untuk dibicarakan. Topik pembicaraan ini mengingatkan kita pada berbagai peristiwa yang terjadi di negeri kita, berbagai peristiwa yang membuat kita memalukan dan sekaligus memilukan, sebuah topik yang selama ini membuat kita mengelus-ngelus dada menyaksikan betapa masyarakat kita seolah-olah telah kehilangan akal sehat dan diganti oleh emosi kemarahan dan kebencian satu sama lain. Fenomena kemunculan budaya kekerasan yang makin lama makin menggejala itu justru memunculkan pertanyaan di kepala banyak orang apakah angin reformasi yang berhembus di negeri kita yang membawa harapan akan kedatangan zaman baru ketika kebebasan dinikmati, ketika nilai-nilai demokrasi mulai dihayati dan ketika masyarakat sipil mulai memperoleh kesempatan yang selama beberapa dasa warsa tertekan untuk mengembangkan kehidupan bangsa kita dalam bernegara akan benar-benar memberikan masa depan kita yang lebih baik. Fenomena di atas memperlihatkan betapa agama-agama seolah-olah mengalami kemandulan dalam mencegah munculnya budaya kekerasan yang diliputi brutalisme dan dalam perspektif yang lebih luas hal itu menunjukkan kegagalan memberikan jawaban positif pada harapan banyak orang ketika berbagai ideologi dianggap gagal membentuk tata dunia yang lebih adil dan manusiawi.

Agama:Kontradiksi antara Cita-cita dan Realita

 Dalam konteks kehidupan beragama fenomena di atas lebih memprihatinkan lagi karena ia muncul setelah agama-agama mengalami apa yang disebut sebagai masa kebangkitan kembali. Anggapan selama ini bahwa bangsa kita adalah bangsa yang religius agaknya sudah kehilangan dasar untuk mempertahankannya. Anggapan semacam itu sudah tidak relevan lagi. Bagaimana mungkin agama-agama yang mengajarkan nilai kemanusiaan dan peradaban melahirkan para pemeluknya yang seolah-olah sudah tidak lagi mengenal nilai-nilai kemanusiaan. Tentu saja semua pemuka agama sepakat bahwa budaya kekerasan dan tindakan-tindakan bengis itu tidak sesuai dengan ajaran agama apapun. Harus dibedakan antara ajaran-ajaran agama yang luhur dengan perilaku penganut-penganutnya yang brengsek. Tapi pertanyaan kita muncul mengapa hal-hal itu bisa terjadi justru ketika agama-agama mengalami kebangkitan dan kesemarakan. Pendidikan agama sejak puluhan tahun diberikan di sekolah-sekolah sejak sekolah adsar hingga perguruan tinggi. Radio dan televisi setiap pagi memprogramkan kuliah subuh. Khotbah-khotbah keagamaan diberikan di berbagai kesempatan oleh berbagai kalangan, remaja, pemuda, perempuan dan orang-orang dewasa umumnya. Perayaan hari-hari besar keagamaan dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang menyita biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Rumah-rumah ibadah bermunculan dalam wujud yang tidak jarang mengesankan bukan hanya indah tapi juga mewah. Tapi mengapa muncul tindakan-tindakan kekerasan yang makin membudaya, dan jangan lupa juga tindakan-tindakan korupsi yang agaknya masih menggurita sembari kehidupan beragama makin semarak? Mengapa muncul gagasan untuk menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti, sebuah agagsan yang secara tidak langsung menuduh dan menuding bahwa agama telah gagal membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, insan yang mempunyai al-akhlakul-karimah. 

 Memang tidak bisa dinafikan bahwa ternyata kenyataan sangat jauh dari harapan. Salah satu gejala yang mewarnai masa reformasi ini adalah justru makin merebaknya konflik sosial bernuansa SARA di berbagai tempat. Makin merebak karena memang konflik itu sudah terjadi dalam berbagai kerusuhan sosial di sana-sini di masa Orde Baru masih jaya-jayanya. Karena itu tidak mengherankan apabila pengausa Orde Baru menekan potensi konflik itu seketat mungkin agar tidak meledak dengan menekan isyu-isyu SARA. Ketika di masa reformasi kemampuan menekan itu jauh sangat berkurang maka konflik-konflik horizontal bernuansa SARA-pun sangat mudah meledak dan merebak. Kepulauan Ambon, Maluku Utara, Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah adalah beberapa wilayah dimana konflik sosial yang berskala cukup besar terjadi dan menjadi tontonan masyarakat dunia. Dan masih ada lagi konflik-konflik sosial yang bisa kita sebutkan, yang sifatnya lebih kecil dan sebagian dapat lebih cepat diatasi seperti yang pernah terjadi di Kupang, Batam, beberapa tempat di pesisir utara Jawa seperti Indramayu, Pekalongan, dan Pati. Lalu masih terdapat lagi tawuran antar kampung dan pelajar, yang tidak jarang membawa korban harta benda dan bahkan nyawa manusia, terutama di Jakarta yang agaknya sudah bersifat kronis. Maka kita pun menyaksikan sebuah monumen tawuran dalam wujud ”Pagar Matraman” yang sampai kini masih kokoh tegak berdiri di Jalan Matraman Raya bagaikan ”tembok Berlin” pemisah dua negara Jerman dahulu yang bermusuhan. Pembangunan ”Pagar Matraman” tersebut menggambarkan bahwa kita seolah-olah tidak punya cara yang elegan untuk menghentikan konflik horizontal sesama warga masyarakat. Sebuah realitas yang sangat ironis.

 Konflik-konflik sosial itu terasa lebih memprihatinkan lagi karena sekaligus ia menandai munculnya budaya kekerasan. Bahkan bukan hanya sekedar kekerasan tapi juga sadisme, kekejaman dan kebengisan, yang tak pantas dilakukan terhadap hewan sekalipun. Memacung kepala orang yang tak berdaya dan menenteng-nentengnya dengan tertwa bangga, membakar orang hidup-hidup hanya karena pencurian kecil bisa dimenferti kalau hal itu terjadi dalam dunia yang masih belum mengenal peradaban. Masyarakat kita juga seakan-akan sudah tidak percaya lagi pada hukum sebagai salah satu pilar masyarakat modern dan beradab, dan merekapun dengan mudah menjadi hakim sendiri yang biasanya disertai oleh kekerasan dan kekejaman. Tapi hal itu sungguh-sungguh terjadi di negeri kita di zaman modern ini, sebuah negeri yang konon berketuhanan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah negeri yang penduduknya dikenal religius. Sebuah tantangan serius bagi para pemuka agama agar khotbah-khotbah mereka selama ini tentang keindahan ajaran-ajaran agama yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran agama yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran agama untuk mengobati penyakit-penyakit masyarakat kita tidak dianggap sebagai retorika kosong. 

Agama di Tengah Konflik Sosial

 Kalau kita mau jujur kita harus mengakui bahwa tidak satu pun agama-agama besar yang sebagian penganutnya, walaupun jumlahnya kecil, yang tidak terlibat dalam konflik kekerasan dan berdarah. Apa yang terjadi di Irlandia, Timur Tengah dan di Anak Benua India dan Srilangka, dan tanpa kecuali negeri kita sendiri, merupakan bukti-bukti kasat mata yang tak bisa kita bantah betapa agama-agama besar seperti Nasrani, baik Katholik maupun Kristen Protestan, Islam, baik Sunni maupun Syiah, Hindu, Buddha dan Yahudi seakan-akan sudah kehilangan kemampuannya untuk mencegah penganutnya agar tidak melakukan pertumpahan darah dan saling membunuh, bukan hanya antara satu umat agama dengan umat agama lain tetapi bahkan di antara sesama umat satu agama. 

 Menanggapi konflik-konflik sosial itu yang dalam perkembangannya menjadi isyu konflik agama para pemuka agama pada umumnya cenderung menolak anggapan bahwa konflik-konflik tersebut sebagai konflik agama. Mereka, seperti juga banyak kalangan lebih melihat faktor sosial ekonomi sebagai akar penyebabnya. Hal ini tentu saja tidak sama sekali salah sebab terbukti di antara konflik-konflik sosial itu justru terjadi di antara penganut satu agama. Namun juga tidak bisa dibantah bahwa nuansa agama untuk sebagian konflik kemudian muncul dan secara sadar dikonfirmasi, dilegitimasi dan dihembus-hembuskan oleh berapa pemuka agama yang menggambarkab bahwa konflik-konflik sosial itu adalah benar-benar konflik agama. Sesungguhnya masalahnya akan terlihat lebih kompleks apabila kita mencoba mendalaminya. Ada berbagai aspek yang melatarbelakanginya, sosial, kultural, politik, ekonomi dan agama yang harus dilihat tiak hanya dalam konteks kesesaatan tapi juga dalam konteks kesejarahan yang panjang. 

 Kesenjangan Sosial, Ekonomi dan Budaya

 Kalau kita melihat kasus di Maluku dan Kalimantan, Barat maupun Tengah, pertama-tama dapat dicatat bahwa konflik-konflik di daerah-daerah tersebut tidak dapat dipisahkan dari persoalan penting dan penduduk asal. Hal ini agaknya merupakan masalah yang laten yang kurang mendapat perhatian. Pengusiran pendatang Bugis, Buton dan Makassar di Maluku dan pendatang Madura di Kalimantan merupakan contoh yang sangat jelas tentang kesenjangan tersebut. Kesenjangan antara kaum pendatang dan penduduk asli itu memang lebih terasa dalam kehidupan ekonomi. Hal ini tidak mengherankan karena etos kerja kaum pendatang biasanya lebih tinggi dibanding etos kerja penduduk asli. Kaum pendatang umumnya adalah pekerja-pekerja keras sebab tekad mereka meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau ke daerah lain memang hanya satu: mengubah nasib, meningkatkan taraf kehidupan mereka. Kasus konflik Dayak versus Madura di Kalimantan Tengah dan Dayak dan Melayu versus Madura di Kalimantan Barat contoh yang paling jelas tentang hal ini.

 Namun untuk kasus Kalimantan ini, selain faktor etos kerja yang menimbulkan kesenjangan ekonomi masalah perbedaam temperamen kepribadian dan budaya etnis antara orang-orang Madura dan Dayak dan juga Melayu juga ikut berperan. Apalagi setelah masuknya pengusaha-pengusaha hutan yang secara massif membabat hutan-hutan yang dengan sendirinya mematikan sumber-sumber mata pencaharian tradisional penduduk asli yang biasanya hidup dari hasil-hasil hutan yang dengan mudah mereka peroleh. Kalau mereka ingin memanfaatkan hasil hutan yang dikuasai oleh para pengusaha besar bisa-bisa mereka diperlakukan sebagai penjahat kriminal yang akan ditindak secara sadis oleh para satpam yang kebanyakan direkrut dari kaum pendatang yang konon tidak segan-segan bertindak keras. Ketika penduduk asli itu turun ke kota untuk mengadu nasib merekapun menemui medan pergulatan mencari nafkah yang keras dan lagi-lagi mereka umumnya kalah bersaing dengan para pendatang. Hal ini sangat memperparah gesekan antara kaum pendatang yang beretos kerja tinggi dan tidak jarang juga agresif dengan kaum penduduk asli yang merasa terancam eksistensinya dan makin terpinggirkan peranan sosial, politik, dan ekonominya. Penduduk asli itu seolah-olah menjadi pendatang haram di daerahnya sendiri. Situasi tidak sehat yang lama terpendam inilah agaknya yang kemudian meledak dalam wujudkan konflik massal berdarah yang sangat mengerikan.

 Apa yang kita maksudkan dengan kaum pendatang terutama pendatang baru. Sebab di antara kaum pendatang itu terdapat mereka yang sudah bergenerasi-generasi menetap di sana bahkan mungkin sudah banyak yang tidak mampu mempergunakan bahasa ibu mereka dengan baik. Mereka sudah membaur, melakukan kawin-mawin dengan penduduk asli dan karena itu mereka sudah merasa bukan lagi pendatang melainkan merasa sudah menjadi penduduk setempat. Adalah sangat menyedihkan dalam konflik baru-baru ini banyak di antara mereka juga menjadi korban dan terpaksa mengungsi atau kembali ke tanah leluhur mereka yang untuk sebagian sudah tidak mempunyai keluarga dekat lagi. 

 Untuk kasus Maluku ada nuansa lain. Memang masalah gesekan antara kaum pendatang dan penduduk asli sangat kental. Kaum pendatang yang umumnya beragama Islam menguasai pasar sedangkan penduduk asli terutama yang beragama Nasrani lebih terkonsentrasi di lingkungan birokrasi. Hal ini terkait dengan politik penjajahan yang di masa kolonial lebih mempermudah saudara-saudara Nasrani untuk memperoleh pendidikan. Namun kemerdekaan membawa perubahan yang besar. Terbukanya kesempatan pendidikan bagi semua warga negara sangat meningkatkan jumlah terdidik generasi kemudian kaum pendatang yang umum penganut agama Islam dan mereka juga memasuki dunia birokrasi. Kecenderungan kian menguatnya pengaruh Islam dalam dunia birokrasi lebih terasa lagi di tahun-tahun terakhir Orde Baru ketika terjadi pergeseran politik penguasa yang tidak lagi dianggap menggencet kalangan Islam. Fenomena Islamisasi birokrasi di tingkat nasional dengan sendirinya juga sangat mempengaruhi penempatan kepemimpinan di lingkungan birokrasi pemerintahan di tingkat daerah yang sedikit atau banyak menyebabkan kekecewaan di kalangan minoritas non Muslim. 

 Khusus dalam kaitan hubungan Islam-Kristen tidak boleh dilupakan bahwa hubungan tersebut sangat akrab di amsa demokrasi parlementer. Terutama antara partai politik Islam terbedai kala itu, Masyumi, dengan kedua partai politik Kristen, Parkindo dan Partai Khatolik. Bersama PSI, Partai Sosialis Indonesia, ketiga partai politik itu merupakan satu front dalam memperjuangkan sistem demokrasi parlementer sampai pembubaran Masyumi dan PSI sebagai akibat dari peristiwa PRRI. Tertutupnya kehidupan politik bagi bekas tokoh Masjumi mendorong mereka aktif dalam kegiatan dakwah. Dalam lapangan dakwah ini mereka berhadapan dengan kegiatan sosial keagamaan terutama dalam bidang dakwah di pedalaman, pendidikan, dan kesehatan. Lebih-lebih setelah terjadi peristiwa G30S. Anggapan yang diterima secara umum bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan tudingan bahwa PKI adalah partai yang anti agama, menimbulkan ketakutan orang untuk dicap anti agama. Situasi pasca G30S seperti itu mengundang kalangan agama untuk melakukan dakwah keagamaan. Tidak kurang dari organisasi keagamaan dari luar, antara lain gereja-gereja kecil dari Amerika. Terjadilah persaingan dalam kegiatan dakwah yang menimbulkan kecemburuan terutama dari umat Islam yang organisasi dan dana lebih lemah. Keadaan ini bertambah lagi ketika di masa awal Orde Baru itu golongan Islam masih dicurigai sebagai kekuatan ekstrem kanan. Penguasa dipersepsi sebagai lebih percaya dengan golongan minoritas daripada golongan Islam yang dianggap sebagai ancaman. Situasi seperti ini mendorong ketegangan hubungan antara golongan Islam sebagai mayoritas dengan golongan minoritas terutama kalangan Kristen.

 Hal-hal di atas adalah beberapa kondisi yang membuat hubungan antar umat beragama, khususnya antara Islam dan Kristen, mengalami ketegangan. Keadaan ini berlangsung cukup lama dan melahirkan berbagai kerusuhan bernuansa ”konflik agama” di sana-sini. Terjadilah peristiwa perusakan rumah-rumah ibadah yang kadang-kadang disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan hubungan antar umat beragama. Berbagai konflik sosial di beberapa daerah tidak lepas dari perspektif ini.

 Terseretnya agama ke dalam konflik sosial membuat konflik itu lebih parah dan jauh lebih sulit untuk diakhiri. Sebab konflik yang bernuansa agama itu akan mengundang pihak luar wilayah konflik yang meras aterpanggil untuk membantu saudara-saudara seagama mereka. Lebih-lebih lagi kalau aparat yang seharusnya menangani dan menyelesaikan konflik itu tidak mampu menguasai sentimen subyektifitas kekelompokan dan melibatkan diri dalam konflik itu sehingga mereka tidak lagi bersikap netral dan obyektif. Pengalaman di Ambon dan Poso merupakan bukti yang jelas akan hal tersebut. Konflik di kedua daerah tersebut berlangsung lama dan memakan korban yang lebih banyak.

 Agama dan Kekerasan
 
Meningkatnya potensi konflik itu juga bisa dilihat sebagai makin melapuknya tali-tali pengikat kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kita. Kalau kita telusuri lebih jauh agaknya hal tersebut merupakan dampak negatif proses modernisasi yang menjadi tujuan pembangunan bangsa kita yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan rasionalitas dan efensiensi tentu saja lebih didahulukan dibanding pertimbangan sosio-kultural yang dianggap lebih merupakan biaya daripada modal, yang pada gilirannya mengakibatkan makin melemahnya perhatian terhadap asset-asset kultural, baik kearifan lokal maupun kepemimpinan informal setempat. Kecenderungan etatisme juga memperlemah fungsi kepemimpinan lokal yang berbasis agama dan adat istiadat. Bias militerisme dalam pemerintahan Orde Baru tentu saja tidak kecil pengaruhnya dalam proses pembangunan terutama dalam peenrapan sistem komando yang sentralistik dan seringkali juga agak otoriter. Sentralisasi kebijakan pembangunan memperlemah potensi budaya lokal dan mengeliminasi kearifan lokal dan pranata-pranata kultural yang bisa dilihat dari kepentingan jangka pendek cenderung tidak ekonomis. Gejala sentralisme ditambah dengan uniformisasi dalam pelaksanaan pemerintahan telah ”berjasa” dalam menghancurkan pranata-pranata lokal dan kultural di berbagai daerah nusantara kita. Padahal pranata-pranata tersebut seharusnya dimanfaatkan sebagai asset budaya untuk pembangunan bangsa kita yang tidak hanya mempunyai dimensi ekonomi akan tetapi juga dimensi komunal. Sebuah catatan khusus juga harus diketengahkan di sini yang sedikit banyak mengandung potensi mempertajam kecemburuan sekterian di antara kelompok Islam dengan kelompok Kristen.
 
Pengamanan proses pembangunan ekonomi menuntut pendekatan keamanan untuk meredam potensi-potensi konflik dan membiarkannya terpendam di bawah permukaan. Perbedaan pendapat dan kritik seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap pelaksanaan pembangunan yang dijalankan pemerintah dan karena itu harus dihadapi sebagai ”bahaya”. Kehidupan sebuah masyarakat yang demokratik memang menuntut kesabaran dalam mengikuti proses dan prosedur, kesediaan untuk memberi dan menerima, kesetiaan dalam mengikuti hukum dan aturan permainan, kejujuran dalam bersikap, suatu prasyarat yang tidak familier dengan sistem yang berbau otoriter. Peredaman perbedaan pendapat dan tersumbatnya saluran untuk mengeluarkan kritik dan uneg-uneg membuat masyarakat kita untuk sekian lama merasa tertekan, makan hati dan menahan perasaan. Kondisi batiniah masyarakat yang seperti ini adalah ibarat bom waktu yang menunggu saat peledakannya. Ketika saat ledakan itu tidak bisa ditahan-tahan lagi, masyarakat mencari sasaran pelampiasan rasa tertekan selama ini dan golongan-golongan minoritas yang lemahlah menjadi sasaran. Mereka itu bisa saja ras tertentu, minoritas agama atau orang-orang kaya.

 Formalisme, Simbolisme dan Ritualisme
 
Situasi kontradiktif tersebut seakan-akan merupakan pemenuhan ramalan Nabi Muhammad s.a.w. dalam sabda beliau:

 Aku khawatir akan datang suatu masa kepada kalian ketika
 Islam tinggal nama, al-Quran tinggal tulisan, mesjid-mesjid 
 mereka penuh sesak tapi kosong dari hidayah. Ulama-ulama
 mereka adalah sejahat-jahat manusia di bawah kolong langit,
 da’i mereka keluar fitnah dan kepada mereka fitnah itu kembali

 Saya tidak tahu apakah situasi seperti itu juga dialami oleh umat agama-agama lain. Mudah-mudahan tidak. Akan tetapi ”wisdom” yang bisa kita ambil dari ramalan tersebut adalah bahwa bahaya akan mengancam umat beragama apabila mereka terjebak dalam formalisme dan simbolisme. Sebuah cerita imajinatif di kalangan sufi mengajarkan tentang kehampaan formalisme dan simbolisme itu. Sebuah cerita imajinatif di kalangan sufi mengajarkan tentang kehampaan formalisme dan simbolisme itu.

 Konon ada seseorang yang berniat menjalankan ibadah haji sejak lama. Bertahun-tahun ia menabung sedikit demi sedikit hingga tercapai jumlah uang yang mencukupi untuk menunaikan ibadah haji. Ketik ia akan berangkat datang seseorang yang memohon bantuannya karena ada saudaranya yang sakit. Ia memerlukan biaya yang cukup besar untuk pengobatan saudaranya itu. Timbullah dilema di hati orang yang akan berangkat menjalankan ibadah haji itu. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk membantu orang yang sakit itu dan akibatnya ia membatalkan rencananya untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah masa haji selesai orang-orang sekampungnya yang melaksanakan ibadah haji berdatangan kembali. Seorang Sufi diberi tahu muridnya bahwa jamaah haji sudah mulai kembali ke kampungnya. Jawaban sang Sufi itu sangat mencengangkan. ”Tahun ini di kampung kita ini hanya satu orang yang melaksanakan ibadah haji” katanya. ”Tidak ya syaikh. Bukankah syaikh tahu berapa banyak saudara-saudara kita yang melaksanakannya dan sekarang mereka mulai kembali” kata sang murid. ”Tidak, Cuma seorang” kata syaikh itu. ”Kalau begitu siapa orang itu” tanya sang murid. ”Si Anu” kata sang Sufi itu. Sang murid lebih heran lagi karena setahunya orang itu justru membatalkan kepergiannya. 

 Cerita imajinatif tersebut hanya ingin mengatakan bahwa dilihat dari segi substansi keberagamaan yang hakiki perbuatan membantu mereka yang memerlukan bantuan mendesak lebih bermakna dibanding ritual ibadah kepada Tuhan. Cerita imajinatif ini seakan-akan menjelaskan sebuah hadis qudsi di kalangan kaum muslimin. Nabi Muhammad bersabda bahwa di hari pembalasan Tuhan berkata:

 ”Hai anak-cucu Adam, Aku lapar tapi mengapa kalian tidak memberi-Ku makanan? Aku haus tapi mengapa kalian tidak memberi-Ku minuman? Aku sakit tapi mengapa kalian tidak menengok-Ku?” Lalu anak-cucu Adam itu menjawab: ”Mana mungkin Engkau lapar, haus dan sakit Tuhan. Bukankah Engkau Tuhan pencipta alam semesta?” Tuhan menjawab:”Dulu ada saudara-saudara kalian yang menderita kelaparan, kehausan dan sakit. Kalaulah saja kalian datang kepada mereka memberi makanan, minuman atau menengok sakit mereka, kalian akan menemukan Aku di samping mereka”.

 Kutipan-kutipan di atas paling tidak mendorong kita untuk mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dan ukuran-ukuran kita tentang keberagamaan. Ia merupakan sindiran terhadap para penganut agama yang terjebak dalam formalisme sehingga lebih mementingkan ritualisme lahiriah daripada penghayatan nilai-nilai maknawi, yang tidak hanya berkaitan dengan relasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya melainkan juga relasi horizontal antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Kecenderungan formalisme itu bisa menggejala dalam berbagai sikap yang lebih berorientasi pada aspek-aspek yang bersifat kwantitatif, lahiriah dan simbolik. Maka kadar keberagamaan seseorang dilihat dari pelaksanaan ritualisme srimonial dan penampilan busana. Dalam konteks komunal kadar keberagamaan masyarakat akan dilihat dari penamabhan jumlah penganut agama dan pembangunan rumah-rumah ibadah. Kuitipan-kutipan di atas mengingatkan kita agar keberagamaan kita tidak terjebak dalam sikap lebih mementingkan dimensi kesemarakan daripada dimensi kedalaman dan lebih mementingkan dimensi kesalehan individual daripada kesalehan sosial.  

 Penekanan keberagamaan pada aspek-aspek yang bersifat lahiriah dan kwantitaif mau tidak mau akan menimbulkan gesekan-gesekan yang cebderung berakhir dengan persaingan yang tidak sehat. Aspek-aspek tersebut secara potensial mengandung bibit-bibit konflik horizontal. Sebab persaingan itu akan diterjemahkan dalam kegiatan penyebaran agama yang lebih berorientasi pada penambahan jumlah penganut, dalam kegiatan pembangunan rumah-rumah ibadah yang lebih menekankan pada penampilan fisiknya daripada fungsi pencerahan spiritualitas umat. Akibat lebih jauh adalah munculnya persaingan yang tidak sehat untuk saling mengungguli. Maka yang tanmpak adalah bahwa para penyebar agama bagaikan kondektur bus yang berebut penumpang.
 
Fundamentalisme, Radikalisme dan Anti Pluralisme 
 
Keberagamaan adalah penerimaan terhadap seperingkat nilai dan norma yang berasal dari Sang Pencipta sebagai jalan yang diyakini akan membawa kepadaNya. Ia menyangkut dimensi yang sangat pribadi dalam kehidupan manusia berkenaan dengan ”ultimate issues”, kehidupan dan kematian, kebenaran dan keselamatan. Kaerena itu keberagamaan lebih bersifat pribadi dan unik. Namun keberadaan kita tidaklah dalam kehidupan vakum budaya. Kita berada dalam relasi vertikal dan horizontal. Manusia ada tidak dalam kesendirian tapi selalu dalam kebersamaan. Kehadiran kita tidak lepas dari kehadiran orang lain, selalu bersama dengan orang lain, dan memberi pengaruh pada orang lain. Manusia tidak lepas dari ”nature” dan ”culture”, alam dan budaya. Dari perspektif lain umat manusia adalah satu tapi sekaligus majemuk, sama tapi seklaigus unik. Walaupun umat manusia sangat majemuk dalam etnisitas, ras, dan kultural namun umat manusia satu sebagai keluarga Ilahi. Umat manusia sama dalam martabat dan harkat kemanusiaannya tapi masing-masing memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain. Dalam pada itu keberadaan manusia juga tidak lepas dari fenomena keberagamaan. 
 
Adalah benar bahwa agama-agama itu berbeda, karena itu kita bisa menyebutnya dengan kata plural, agama-agama. Tapi agama-agama itu juga mempunyai kesamaan satu sama lain sehingga kita juga memasukkannya dalam satu kategori, agama. Agama-agama itu serupa tapi tidak sama. Bahkan dalam satu agamapun interpretasi para penganutnya juga berbeda-beda bahkan tidak jarang bertentangan. Menanggapi perbedaan agama-agama itu saya teringat pertengkaran cucu saya dengan temannya ketika mereka melihat gambar burung. Ketika mereka menemukan gambar burung cucu saya menyebutnya ”bird” sedangkan temannya itu menyebutnya ”burung”. Lalu mereka bertengkar: ”bird” kata cucu saya,”burung” kata temannya,--bird-burung, bird-burung—demikian mereka masing-masing bersikeras. Karena tak ada yang mau mengalah akhirnya mereka merobek-robek gambar burung itu. Lucu, yang mereka pertengkarkan adalah gambar burung bukan burung itu sendiri, hanya karena perbedaan sebutan akibat bahasa yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa hakikat burung itu satu tapi memiliki sebutan yang berbeda-beda sebanyak jumlah bahasa manusia.
 
Problem yang lebih rumit lagi adalah bahwa perbedaan itu lebih dari sekedar perbedaan bahasa akan tetapi pernedaan persepsi dan interpretasi. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan latar belakang, pendidiakn maupun pengalaman, perbedaan perspektif dan interest. Untuk sekedar ilustrasi tentang perbedaan interpretasi dan persepsi saya ingin mengambil contoh yang sangat kentara. Tanyakanlah kepada masing-masing kita yang berasal dari daerah yang berbeda bagaimana bunyi ayam jantan berkokok di pagi hari. Di daerah saya, Kalimantan Selatan suara ayam jantan itu adalah ”kongkook”, di telinga teman-temna Jawa terdengar bunyi ”kokoruyuk”, teman-teman Manado mendengarnya ”kokorako” mirip pendengaran orang perancis ”cocorico”.
 
Dengan mengatakan hal di atas saya ingin menekankan bahwa perbedaan di antara umat manusia adalah sesuatu tidak mungkin ditiadakan. Ia bagian dari keberadaan mereka sebagai makhluk yang unik seklaigus majemuk. Oleh karena itu kita tidak boleh terbawa arus prasangka apalagi prasangka agama yang bisa-bisa mendorong kita untuk saling menghakimi iman kita masing-masing. Ada cerita imajinatif yang lagi-lagi mashyur di kalangan sufi.


Konon ada seorang rohaniwan tinggal berseberangan rumah dengan seorang pekerja seks. Setiap membuka jendela sang rohaniwan itu melihat si perempuan itu dan terlintas dalam benaknya bahwa si perempuan itu sedang melakukan maksiat yang terlaknat. Terbayang dalam angan-angannya bahwa perempuan itu sedang bergelut dalam permainan cinta dengan seorang lelaki hidung belang. Sebaliknya, si perempuan pekerja seks itu, setiap kali dia menatap rumah sang rohaniwan itu, muncul rasa penyesalan dalam dirinya dan muncul keinginannya untuk kembali ke jalan yang benar, menghindari perbautan maksiat dan taat melaksanakan ibadat sebagaimana dilakukan sang rohaniwan tersebut. Syahdan, ketika keduanya berada di seberang makam sama terjadilah peristiwa yang mencengangkan yang tidak bisa dimengerti oleh sang rohaniwan tersebut. Dia dijebloskan ke dalam neraka sedangkan si pekerja seks itu justru dimasukkan ke dalam surga. Dengan nada protes ia bertanya kepada malaikat, mengapa dijebloskan ia ke dalam neraka tempat orang-orang jahat seperti si perempuan pekerja seks itu dan sebaliknya si pelacur yang berlumuran dengan kemaksiatan itu malah dimasukkan ke dalam surga, tempat orang-orang baik yang taat melaksanakan ibadat kepada Tuhan dan menjauhi perbuatan maksiat seperti dia jalani sepanjang hidupnya. ”Mesti ada kekeliruan” ujarnya, ”mengapa aku yang setia mengikuti perintah Tuhan masuk neraka sedangkan dia yang setiap hari berbuat melanggar larangan-Nya justru masuk surga. Coba lihat-lihat lagi catatan perilaku kami berdua.” Setelah sang malaikat membuka catatan kedua orang itu dia memberi tahu sang rohaniawan. ”Memang benar kau adalah seorang yang sangat taat beribadat tapi rupanya ibadatmu itu kalah dengan dosamu. Hatimu penuh prasangka buruk terhadap tetangga di seberang rumahmu. Sebaliknya tetanggamu itu, setiap kali melihat rumahmu dia menyesali perbuatan maksiatnya dan muncul keinginannya untuk bertobat dan berhenti dari melakukan perbuatan maksiat itu. Rasa penyesalannya itu telah menghapuskan dosanya.”

Cerita imajinatif seorang Sufi itu sungguh mengandung ”wisdom” yang patut kita renungkan bersama lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat kita saat ini ketika potensi konflik horizontal makin mudah tersulut dan muncul ke permukaan dan merobek-robek kebersamaan kita. Kita menyaksikan dan memprihatinkan bersama merebaknya budaya kekerasan bahkan kebengisan yang membuat kita seolah-olah hidup dalam ”neraka”. Api kebencian telah membakar tali-tali pengikat kebersamaan kita. Keadaan ini agaknya bermula dari prasangka buruk yang dibiarkan makin merebak dan akhirnya mengalahkan daya nalar kita untuk tidak asal percaya terhadap berita dan cerita yang tidak jelas asal-usulnya. Masing-masing kita merasa terancam oleh mereka yang bukan ”orang kita”. Perasaan saling terancam itu sangat memperparah hubungan sosial warga masyarakat kita. Kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan obyektif. Desas-desus lebih berperan dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat kita daripada fakta sejatinya. Konsep tentang ”orang kita” dan ”orang mereka” makin mengental dan mempengaruhi sikap kita dalam pergaulan masyarakat. Terbentuklah dalam pikiran bahkan pergaulan masyarakat kita garis demarkasi antara ”kita” dan ”mereka”. Karena itu siapa yang berbaik-baik dengan ”mereka” adalah ”musuh” kita. Lebih parah lagi, kadar keberagamaan kitapun diukur sepadan dengan kadar kebencian kita terhadap orang lain.

Situasi kebatinan seperti ini mednorong munculnya sikap anti-pluralisme. Sikap anti pluralisme ini dengan baik dilukiskan oleh seorang Sufi dalam kisah imajinatif yang lain. 
Suatu ketika di malam hari, katanya Nabi Musa berjalan-jalan. Tiba-tiba ia mendengar suara lamat-lamat dari sebuah rumah. Ia pasang telinganya dan terdengarlah suara munajat dari penghuni rumah itu. ”Tuhan, aku sangat merindukan-Mu. Berilah aku, Tuhan, kesempatan untuk melayani-Mu. Aku ingin mencuci terompah-Mu yang kotor, menjahit baju-Mu yang robek dan menyisir rambut-Mu yang kusai. Tentu saja Nabi Musa kaget mendengar doa seperti itu dan serta merta diapun masuk ke dalam rumah menemui orang itu. Dengan nada marah dia menghardik orang itu. ”Mengapa kau berdoa seperti itu. Kau sangat merendahkan Tuhan yang Maha Agung.” Mendengar teguran Nabi Musa orang itu menjadi ketakutan. Dia berlari sambil merobek-robek bajunya menyesali dirinya. Tiba-tiba muncul suara. ”Hai Musa mengapa kau marahi hamba-Ku yang bermunajat kepada-Ku?” Musa menjawab: ”Bukankah dia telah menghina-Mu?” Muncul lagi suara itu: ”Kau tidak boleh berbuat seperti itu, memaksakan pendapatmu. Biarkanlah hamba-Ku itu bermunajat kepadaku dengan caranya sesuai dengan tingkat daya nalarnya.” 

Seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya. Dia tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda apalagi bertentangan dengannya. Kalau seorang anti-pluralis memegang kekuasaan dia akan memaksakan pikiran dan pendirian yang tidak sama dengan pikiran, dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah pikiran dan pendiriannya. Yang lain tidak. Maka dengan bersikap memonopoli kebenaran seorang yang anti-pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan dengan gampang menghakimi iman orang lain. Sebagai seorang penganut suatu agama tertentu dengan seorang anti pluralis sukar dibayangkan untuk bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, dan sebagai seorang yang bertuhan dia tidak mungkin siap berkawan akrab dengan seorang atheis.

Pluralisme: Kenyataan dan Keniscayaan

Padahal pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup yang tak mungkin kita nafikan. Ia, bahkan, merupakan salah satu tanda kemahabesaran Tuhan. Kita harus menerimanya dengan sikap positif. Kita harus menysukuri pluralitas itu dengan mengembangkan pluralisme sebagai pola pikir dan jalan hidup kita. Mau tidak mau kita harus berusaha secara aktif dan positif membangun kehidupan bersama yang memberi tempat bagi kita semua yang berbeda-beda satu sama lain. Dalam perspektif inilah mengapa kita mengangan-angankan tumbuhnya sikap saling menerima eksistensi orang lain dengan segala keunikannya, saling menghormati keyakinan masing-masing dan saling membela hak hidup bersama. Cita-cita inilah yang melatarbelakangi kehadiran berbagai organisasi ”interfaith” di mana-mana di berbagai negeri sejak satu-dua dasawarsa yang lalu. Juga di negeri kita di mana kita yang berkumpul di sini merupakan orang-orang yang mendukung cita-cita itu dan terlibat dalam usaha mewujudkannya. 

Pengembangan pola pikir dan jalan hidup yang menerima pluralisme secara tulus, saya rasa, mestinya bertolak dari kesadaran bahwa keberadaan kita di bumi ini pada adasrnya bukan pilihan kita. Kita ini adalah anak zaman dan lingkungan kita. Kita tidak pernah memilih siapa orang tua kita yang melalui mereka kita lahir ke dunia dan dalam lingkungan masyarakat yang bagaimana kita dibesarkan. Semua itu secara alami dan kultural sangat mempengaruhi agama apa yang kita anut. Oleh karena itu keberagamaan kita pada umumnya berdasarkan kelahiran dan bukan pilihan. Karena saya lahir dari kedua orang tua saya yang beragama Islam dan mereka membesarkan dan mendidik saya dalam lingkungan masyarakat Muslim, maka jadilah saya seorang muslim. Andaikan saya lahir dari orang tua yang beragama Buddha atau Hindu atau katolik atau Kristen atau Kong Hucu atau bahkan atheis, kemungkinan besar saya mengikuti agama atau keyakinan orang tua saya tersebut sebagaimana saya sekarang. 

Dengan mengatakan hal di atas bukanlah maksud saya untuk mengajak kita menjadi seorang relativis atau agnostik akan tetapi hanya ingin mengatakan bahwa kita perlu bersikap positif terhadap perbedaan di antara kita, bahwa kita secara tulus harus menerima dan sekaligus menghormati keberadaan kita masing-masing dengan segala keunikannya. Dunia kita sekarang ini tidak memungkinkan kita mengisolasi diri dalam kotak-kotak yang eksklusifistik. Kita tidak bisa lepas dari relasi-relasi sosial dengan segala bentuknya dalam kehidupan kemasyarakatan kita. Apa yang perlu kita kembangkan bersama adalah bagaimana membangun kebersamaan dimana relasi-relasi sosial tidak dicederai oleh prasangka dan kecemburuan antara”kita” dn ”mereka” melainkan hubungan antar sesama sebagai makhluk Tuhan Yang Esa yang menghuni bumi yang satu di bawah kolong langit yang sama. Inilah, saya rasa, yang kita usahakan bersama melalui berbagai organisasi ”antar iman”.

Dari Dialog ke Kerja-Bersama

Usaha membangun kebersamaan pertama-tama tentu saja harus bermula dari sikap tenggang rasa di antara sesama kita. Boleh dikatakan semua agama sangat menekankan nilai tenggang rasa ini. Dengan berbagai ungkapan yang mengajarkan agar kita tidak memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang kita sendiri tidak mau diperlakukan seperti. Tentu saja sikap tenggang rasa ini tidak hanya berlaku dalam relasi personal antar individu dengan individu melainkan juga dalam relasi antar kelompok atau umat. Berangkat dari sikap tenggang rasa itu kita bisa mengembangkan dialog yang tulus sebagai media klarifikasi berbagai masalah yang mengganggu hubungan antara umat beragama. Dialog seperti ini dapat kita namakan sebagai dialog yang membebaskan, dialog yang membebaskan pergaulan kita dari berbagai prasangka negatif, dari kecurigaan dan kecemburuan satu sama lain, dari keinginan untuk mendominasi dan menguasai pihak lain. Kebebasan dari prasangka, kecurigaan dan kecemburuan tersebut penting untuk menumbuhkan sikap saling percaya sesama kita yang merupakan prasyarat mutlak untuk membangun kebersamaan. Melalui dialog itu juga kita akan saling belajar melalui proses ”take and give”, mengambil dan memberi.

Usaha mewujudkan semangat kekitaan tentu saja memerlukan langkah-langkah operasional yang nyata. Dalam kesempatan ini saya ingin mencoba mengemukakan beberapa gagasan aplikatif untuk mengembangkan sikap pluralis dalam kehidupan masyarakat kita, terutama untuk generasi kita di masa depan. 

Sebelum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut saya ingin menceritakan pengalaman ketika saya dipercaya memimpin Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama sekitar tahun 1972-1978 ketika Departemen Agama dipimpin oleh Prof. Mukti Ali. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan oleh proyek ini, yakni dialog tokoh-tokoh berbagai agama, penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai agama, dan kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan agama dan organisasi mahasiswa berlatar belakang agama. 

Pada tiga tahun pertama proyek ini menyelenggarakan dialog-dialog antar pemuka berbagai agama di hampir semua propinsi di Tanah Air kita. Bukan hanya diikuti oleh tokoh-tokoh dari apa yang selama ini dipersepsi secara sevagai agama-agama resmi tapi juga diikuti oleh tokoh agama lokal seperti agama Kaharingan di Kalimantan Tengah bahkan tokoh aliran kepercayaan di Jawa Tengah. Kegiatan dialog itu sedapat mungkin diselenggarakan di luar kota sehingga para tokoh dari agama-agama yang berbeda itu beroleh kesempatan hidup bersama beberapa hari. Atau kalau diselenggarakan dalam kota selain kegiatan dialog juga dilaksanakan darmawisata bersama untuk meninjau sarana-sarana kegiatan keagamaan masing-masing sehingga berbagai tokoh agama-agama itu beroleh kesempatan untuk bercengkerama secara santai dan informal selama perjalanan darmawisata tersebut. Yang dipentingkan dalam dialog ini bukanlah kesepakatan pendapat yang dituangkan dalam kesimpulan tertulis tapi kesempatan untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab satu sama lain dari paar tokoh berbagai agama itu yang justru tercipta di luar kegiatan dialog yang terstruktur. Terciptanya hubungan interpersonal itu jauh lebih penting dari kesepakatan formal dan tertulis antar institusi.

Sejak tahun ketiga diselenggarakan kegiatan penelitian tentang peranan agama, baik nilai-nilai agama maupun lembaga keagamaan, dalam kehidupan riil masyarakat. Untuk ini berbagai desa atau komunitas di mana suatu agama dominan dijadikan sasaran penelitian yang dilaksanakan oleh para peneliti dari berbagai agama. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan tentang hubungan dan interaksi antara agama dan masyarakat, persamaan dan perbedaannya. 

Terakhir, sejak tahun keempat difasilitasi kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa perguruan-perguruan agama dan anggota-anggota organisasi mahasiswa yang berlatar belakang agama. Kegiatan ini bertujuan untuk memebri ruang di mana berbagai calon pemuka agama dan tokoh umat beragama di masa depan dapat berkenalan, bercakap-cakap dan membangun hubungan interpersonal satu sama lain. Melalui percakapan yang terbuka dan terus terang diharapkan mereka akan sampai pada komitmen bersama untuk membangun masa depan bangsa.

Sayang sekali pimpinan Departemen Agama sesudah Mukti Ali tidak meneruskan kegiatan ini. Persepsi dan pemahaman tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralitas agama berbeda sehingga pandangan dan sikap dalam penanganannya pun berbeda pula. Pengaturan, dan bukan dialog, yang dianggap lebih efektif untuk mengembangkan kerukunan hidup umat beragagama. Kesepakatan formal institusional dianggap lebih penting daripada hubungan interpersonal antar pemuka agama dalam masyarakat. Padahal seringkali kesepakatan formal dan institusional itu lebih banyak bersifat artifisial serta dipaksakan dan jarang menyentuh hal-hal yang justru lebih diterima secara sukarela dan berakar dari kesadaran dan pengalaman masyarakat sendiri. 

Bagaimanapun, sesungguhnya kerukunan hidup umat beragama tidaka akn tercipta oleh pengaturan dari atas melainkan ia harus dikembangkan dari bawah. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir ini saya rasa, sedikit banyak, disebabkan oleh karena kita lebih mementingkan pendekatan tuntunan dari atas dan kurang mengembangkan kemampuan masyarakat kita sendiri untuk memelihara kerukunan hidup mereka. Akhirnya bangsa kita yang dahulu dianggap sebagai bangsa yang dapat dijadikan teladan dalam memelihara kerukunan masyarakat yang sangat majemuk saat ini dikenal sebagai bangsa yang dilanda budaya kekerasan bahkan kebengisan yang justru tidak diajarkan oleh agama apapun. 

Sebenarnya sekarang ini dirasakan saat yang sangat mendesak untuk mempergiat usaha-usha yang lebih terarah dan terencana untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan warga bangsa kita dengan belajar dari pengalaman pahit yang kita alami selama ini. Apa yang perlu ditekankan, saya rasa, adalah konseptualisasi bersama tentang pluralisme dan usaha bersama untuk mensosialisasikannya. Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan beberapa gagasan untuk mewujudkan gagasan di atas.

Pertama, melakukan dialog-dialog yang teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal agar tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal di antara mereka. Melalui kegiatan ini mereka akan mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan cara-cara memecahkannya melalui ”local wisdom”.

Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain.

Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga dilakukan kuliah umum tentang agama-agama dari masing-masing ahlinya sehingga para mahasiswa mengetahui perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama, seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahsiswa masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari berbagai umat. 

Tentu masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa dikembangkan namun paling tidak melalui kegiatan-kegiatan di aats apa yang kita maksudkan sebagai pendidikan pluralisme dapat dilaksanakan pada tingkat yang lebih praktikal. Yang lebih penting lagi diharapkan sikap anti pluralis dapat dibendung yang mau tidak mau pasti akan menimbulkan konflik.

Penutup