Sunday 23 August 2009

AGAMA,KONFLIK DAN BUDAYA KEKERASAN

Oleh: Djohan Effendi

Pendahuluan

 Perbincangan kita kali ini berkisar di sekitar masalah Agama, Konflik, dan Budaya Kekerasan. Masalah yang menjadi obyek perbincangan kita ini bukanlah sebuah topik yang menyenangkan untuk dibicarakan. Topik pembicaraan ini mengingatkan kita pada berbagai peristiwa yang terjadi di negeri kita, berbagai peristiwa yang membuat kita memalukan dan sekaligus memilukan, sebuah topik yang selama ini membuat kita mengelus-ngelus dada menyaksikan betapa masyarakat kita seolah-olah telah kehilangan akal sehat dan diganti oleh emosi kemarahan dan kebencian satu sama lain. Fenomena kemunculan budaya kekerasan yang makin lama makin menggejala itu justru memunculkan pertanyaan di kepala banyak orang apakah angin reformasi yang berhembus di negeri kita yang membawa harapan akan kedatangan zaman baru ketika kebebasan dinikmati, ketika nilai-nilai demokrasi mulai dihayati dan ketika masyarakat sipil mulai memperoleh kesempatan yang selama beberapa dasa warsa tertekan untuk mengembangkan kehidupan bangsa kita dalam bernegara akan benar-benar memberikan masa depan kita yang lebih baik. Fenomena di atas memperlihatkan betapa agama-agama seolah-olah mengalami kemandulan dalam mencegah munculnya budaya kekerasan yang diliputi brutalisme dan dalam perspektif yang lebih luas hal itu menunjukkan kegagalan memberikan jawaban positif pada harapan banyak orang ketika berbagai ideologi dianggap gagal membentuk tata dunia yang lebih adil dan manusiawi.

Agama:Kontradiksi antara Cita-cita dan Realita

 Dalam konteks kehidupan beragama fenomena di atas lebih memprihatinkan lagi karena ia muncul setelah agama-agama mengalami apa yang disebut sebagai masa kebangkitan kembali. Anggapan selama ini bahwa bangsa kita adalah bangsa yang religius agaknya sudah kehilangan dasar untuk mempertahankannya. Anggapan semacam itu sudah tidak relevan lagi. Bagaimana mungkin agama-agama yang mengajarkan nilai kemanusiaan dan peradaban melahirkan para pemeluknya yang seolah-olah sudah tidak lagi mengenal nilai-nilai kemanusiaan. Tentu saja semua pemuka agama sepakat bahwa budaya kekerasan dan tindakan-tindakan bengis itu tidak sesuai dengan ajaran agama apapun. Harus dibedakan antara ajaran-ajaran agama yang luhur dengan perilaku penganut-penganutnya yang brengsek. Tapi pertanyaan kita muncul mengapa hal-hal itu bisa terjadi justru ketika agama-agama mengalami kebangkitan dan kesemarakan. Pendidikan agama sejak puluhan tahun diberikan di sekolah-sekolah sejak sekolah adsar hingga perguruan tinggi. Radio dan televisi setiap pagi memprogramkan kuliah subuh. Khotbah-khotbah keagamaan diberikan di berbagai kesempatan oleh berbagai kalangan, remaja, pemuda, perempuan dan orang-orang dewasa umumnya. Perayaan hari-hari besar keagamaan dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang menyita biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Rumah-rumah ibadah bermunculan dalam wujud yang tidak jarang mengesankan bukan hanya indah tapi juga mewah. Tapi mengapa muncul tindakan-tindakan kekerasan yang makin membudaya, dan jangan lupa juga tindakan-tindakan korupsi yang agaknya masih menggurita sembari kehidupan beragama makin semarak? Mengapa muncul gagasan untuk menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti, sebuah agagsan yang secara tidak langsung menuduh dan menuding bahwa agama telah gagal membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, insan yang mempunyai al-akhlakul-karimah. 

 Memang tidak bisa dinafikan bahwa ternyata kenyataan sangat jauh dari harapan. Salah satu gejala yang mewarnai masa reformasi ini adalah justru makin merebaknya konflik sosial bernuansa SARA di berbagai tempat. Makin merebak karena memang konflik itu sudah terjadi dalam berbagai kerusuhan sosial di sana-sini di masa Orde Baru masih jaya-jayanya. Karena itu tidak mengherankan apabila pengausa Orde Baru menekan potensi konflik itu seketat mungkin agar tidak meledak dengan menekan isyu-isyu SARA. Ketika di masa reformasi kemampuan menekan itu jauh sangat berkurang maka konflik-konflik horizontal bernuansa SARA-pun sangat mudah meledak dan merebak. Kepulauan Ambon, Maluku Utara, Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah adalah beberapa wilayah dimana konflik sosial yang berskala cukup besar terjadi dan menjadi tontonan masyarakat dunia. Dan masih ada lagi konflik-konflik sosial yang bisa kita sebutkan, yang sifatnya lebih kecil dan sebagian dapat lebih cepat diatasi seperti yang pernah terjadi di Kupang, Batam, beberapa tempat di pesisir utara Jawa seperti Indramayu, Pekalongan, dan Pati. Lalu masih terdapat lagi tawuran antar kampung dan pelajar, yang tidak jarang membawa korban harta benda dan bahkan nyawa manusia, terutama di Jakarta yang agaknya sudah bersifat kronis. Maka kita pun menyaksikan sebuah monumen tawuran dalam wujud ”Pagar Matraman” yang sampai kini masih kokoh tegak berdiri di Jalan Matraman Raya bagaikan ”tembok Berlin” pemisah dua negara Jerman dahulu yang bermusuhan. Pembangunan ”Pagar Matraman” tersebut menggambarkan bahwa kita seolah-olah tidak punya cara yang elegan untuk menghentikan konflik horizontal sesama warga masyarakat. Sebuah realitas yang sangat ironis.

 Konflik-konflik sosial itu terasa lebih memprihatinkan lagi karena sekaligus ia menandai munculnya budaya kekerasan. Bahkan bukan hanya sekedar kekerasan tapi juga sadisme, kekejaman dan kebengisan, yang tak pantas dilakukan terhadap hewan sekalipun. Memacung kepala orang yang tak berdaya dan menenteng-nentengnya dengan tertwa bangga, membakar orang hidup-hidup hanya karena pencurian kecil bisa dimenferti kalau hal itu terjadi dalam dunia yang masih belum mengenal peradaban. Masyarakat kita juga seakan-akan sudah tidak percaya lagi pada hukum sebagai salah satu pilar masyarakat modern dan beradab, dan merekapun dengan mudah menjadi hakim sendiri yang biasanya disertai oleh kekerasan dan kekejaman. Tapi hal itu sungguh-sungguh terjadi di negeri kita di zaman modern ini, sebuah negeri yang konon berketuhanan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah negeri yang penduduknya dikenal religius. Sebuah tantangan serius bagi para pemuka agama agar khotbah-khotbah mereka selama ini tentang keindahan ajaran-ajaran agama yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran agama yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran agama untuk mengobati penyakit-penyakit masyarakat kita tidak dianggap sebagai retorika kosong. 

Agama di Tengah Konflik Sosial

 Kalau kita mau jujur kita harus mengakui bahwa tidak satu pun agama-agama besar yang sebagian penganutnya, walaupun jumlahnya kecil, yang tidak terlibat dalam konflik kekerasan dan berdarah. Apa yang terjadi di Irlandia, Timur Tengah dan di Anak Benua India dan Srilangka, dan tanpa kecuali negeri kita sendiri, merupakan bukti-bukti kasat mata yang tak bisa kita bantah betapa agama-agama besar seperti Nasrani, baik Katholik maupun Kristen Protestan, Islam, baik Sunni maupun Syiah, Hindu, Buddha dan Yahudi seakan-akan sudah kehilangan kemampuannya untuk mencegah penganutnya agar tidak melakukan pertumpahan darah dan saling membunuh, bukan hanya antara satu umat agama dengan umat agama lain tetapi bahkan di antara sesama umat satu agama. 

 Menanggapi konflik-konflik sosial itu yang dalam perkembangannya menjadi isyu konflik agama para pemuka agama pada umumnya cenderung menolak anggapan bahwa konflik-konflik tersebut sebagai konflik agama. Mereka, seperti juga banyak kalangan lebih melihat faktor sosial ekonomi sebagai akar penyebabnya. Hal ini tentu saja tidak sama sekali salah sebab terbukti di antara konflik-konflik sosial itu justru terjadi di antara penganut satu agama. Namun juga tidak bisa dibantah bahwa nuansa agama untuk sebagian konflik kemudian muncul dan secara sadar dikonfirmasi, dilegitimasi dan dihembus-hembuskan oleh berapa pemuka agama yang menggambarkab bahwa konflik-konflik sosial itu adalah benar-benar konflik agama. Sesungguhnya masalahnya akan terlihat lebih kompleks apabila kita mencoba mendalaminya. Ada berbagai aspek yang melatarbelakanginya, sosial, kultural, politik, ekonomi dan agama yang harus dilihat tiak hanya dalam konteks kesesaatan tapi juga dalam konteks kesejarahan yang panjang. 

 Kesenjangan Sosial, Ekonomi dan Budaya

 Kalau kita melihat kasus di Maluku dan Kalimantan, Barat maupun Tengah, pertama-tama dapat dicatat bahwa konflik-konflik di daerah-daerah tersebut tidak dapat dipisahkan dari persoalan penting dan penduduk asal. Hal ini agaknya merupakan masalah yang laten yang kurang mendapat perhatian. Pengusiran pendatang Bugis, Buton dan Makassar di Maluku dan pendatang Madura di Kalimantan merupakan contoh yang sangat jelas tentang kesenjangan tersebut. Kesenjangan antara kaum pendatang dan penduduk asli itu memang lebih terasa dalam kehidupan ekonomi. Hal ini tidak mengherankan karena etos kerja kaum pendatang biasanya lebih tinggi dibanding etos kerja penduduk asli. Kaum pendatang umumnya adalah pekerja-pekerja keras sebab tekad mereka meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau ke daerah lain memang hanya satu: mengubah nasib, meningkatkan taraf kehidupan mereka. Kasus konflik Dayak versus Madura di Kalimantan Tengah dan Dayak dan Melayu versus Madura di Kalimantan Barat contoh yang paling jelas tentang hal ini.

 Namun untuk kasus Kalimantan ini, selain faktor etos kerja yang menimbulkan kesenjangan ekonomi masalah perbedaam temperamen kepribadian dan budaya etnis antara orang-orang Madura dan Dayak dan juga Melayu juga ikut berperan. Apalagi setelah masuknya pengusaha-pengusaha hutan yang secara massif membabat hutan-hutan yang dengan sendirinya mematikan sumber-sumber mata pencaharian tradisional penduduk asli yang biasanya hidup dari hasil-hasil hutan yang dengan mudah mereka peroleh. Kalau mereka ingin memanfaatkan hasil hutan yang dikuasai oleh para pengusaha besar bisa-bisa mereka diperlakukan sebagai penjahat kriminal yang akan ditindak secara sadis oleh para satpam yang kebanyakan direkrut dari kaum pendatang yang konon tidak segan-segan bertindak keras. Ketika penduduk asli itu turun ke kota untuk mengadu nasib merekapun menemui medan pergulatan mencari nafkah yang keras dan lagi-lagi mereka umumnya kalah bersaing dengan para pendatang. Hal ini sangat memperparah gesekan antara kaum pendatang yang beretos kerja tinggi dan tidak jarang juga agresif dengan kaum penduduk asli yang merasa terancam eksistensinya dan makin terpinggirkan peranan sosial, politik, dan ekonominya. Penduduk asli itu seolah-olah menjadi pendatang haram di daerahnya sendiri. Situasi tidak sehat yang lama terpendam inilah agaknya yang kemudian meledak dalam wujudkan konflik massal berdarah yang sangat mengerikan.

 Apa yang kita maksudkan dengan kaum pendatang terutama pendatang baru. Sebab di antara kaum pendatang itu terdapat mereka yang sudah bergenerasi-generasi menetap di sana bahkan mungkin sudah banyak yang tidak mampu mempergunakan bahasa ibu mereka dengan baik. Mereka sudah membaur, melakukan kawin-mawin dengan penduduk asli dan karena itu mereka sudah merasa bukan lagi pendatang melainkan merasa sudah menjadi penduduk setempat. Adalah sangat menyedihkan dalam konflik baru-baru ini banyak di antara mereka juga menjadi korban dan terpaksa mengungsi atau kembali ke tanah leluhur mereka yang untuk sebagian sudah tidak mempunyai keluarga dekat lagi. 

 Untuk kasus Maluku ada nuansa lain. Memang masalah gesekan antara kaum pendatang dan penduduk asli sangat kental. Kaum pendatang yang umumnya beragama Islam menguasai pasar sedangkan penduduk asli terutama yang beragama Nasrani lebih terkonsentrasi di lingkungan birokrasi. Hal ini terkait dengan politik penjajahan yang di masa kolonial lebih mempermudah saudara-saudara Nasrani untuk memperoleh pendidikan. Namun kemerdekaan membawa perubahan yang besar. Terbukanya kesempatan pendidikan bagi semua warga negara sangat meningkatkan jumlah terdidik generasi kemudian kaum pendatang yang umum penganut agama Islam dan mereka juga memasuki dunia birokrasi. Kecenderungan kian menguatnya pengaruh Islam dalam dunia birokrasi lebih terasa lagi di tahun-tahun terakhir Orde Baru ketika terjadi pergeseran politik penguasa yang tidak lagi dianggap menggencet kalangan Islam. Fenomena Islamisasi birokrasi di tingkat nasional dengan sendirinya juga sangat mempengaruhi penempatan kepemimpinan di lingkungan birokrasi pemerintahan di tingkat daerah yang sedikit atau banyak menyebabkan kekecewaan di kalangan minoritas non Muslim. 

 Khusus dalam kaitan hubungan Islam-Kristen tidak boleh dilupakan bahwa hubungan tersebut sangat akrab di amsa demokrasi parlementer. Terutama antara partai politik Islam terbedai kala itu, Masyumi, dengan kedua partai politik Kristen, Parkindo dan Partai Khatolik. Bersama PSI, Partai Sosialis Indonesia, ketiga partai politik itu merupakan satu front dalam memperjuangkan sistem demokrasi parlementer sampai pembubaran Masyumi dan PSI sebagai akibat dari peristiwa PRRI. Tertutupnya kehidupan politik bagi bekas tokoh Masjumi mendorong mereka aktif dalam kegiatan dakwah. Dalam lapangan dakwah ini mereka berhadapan dengan kegiatan sosial keagamaan terutama dalam bidang dakwah di pedalaman, pendidikan, dan kesehatan. Lebih-lebih setelah terjadi peristiwa G30S. Anggapan yang diterima secara umum bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan tudingan bahwa PKI adalah partai yang anti agama, menimbulkan ketakutan orang untuk dicap anti agama. Situasi pasca G30S seperti itu mengundang kalangan agama untuk melakukan dakwah keagamaan. Tidak kurang dari organisasi keagamaan dari luar, antara lain gereja-gereja kecil dari Amerika. Terjadilah persaingan dalam kegiatan dakwah yang menimbulkan kecemburuan terutama dari umat Islam yang organisasi dan dana lebih lemah. Keadaan ini bertambah lagi ketika di masa awal Orde Baru itu golongan Islam masih dicurigai sebagai kekuatan ekstrem kanan. Penguasa dipersepsi sebagai lebih percaya dengan golongan minoritas daripada golongan Islam yang dianggap sebagai ancaman. Situasi seperti ini mendorong ketegangan hubungan antara golongan Islam sebagai mayoritas dengan golongan minoritas terutama kalangan Kristen.

 Hal-hal di atas adalah beberapa kondisi yang membuat hubungan antar umat beragama, khususnya antara Islam dan Kristen, mengalami ketegangan. Keadaan ini berlangsung cukup lama dan melahirkan berbagai kerusuhan bernuansa ”konflik agama” di sana-sini. Terjadilah peristiwa perusakan rumah-rumah ibadah yang kadang-kadang disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan hubungan antar umat beragama. Berbagai konflik sosial di beberapa daerah tidak lepas dari perspektif ini.

 Terseretnya agama ke dalam konflik sosial membuat konflik itu lebih parah dan jauh lebih sulit untuk diakhiri. Sebab konflik yang bernuansa agama itu akan mengundang pihak luar wilayah konflik yang meras aterpanggil untuk membantu saudara-saudara seagama mereka. Lebih-lebih lagi kalau aparat yang seharusnya menangani dan menyelesaikan konflik itu tidak mampu menguasai sentimen subyektifitas kekelompokan dan melibatkan diri dalam konflik itu sehingga mereka tidak lagi bersikap netral dan obyektif. Pengalaman di Ambon dan Poso merupakan bukti yang jelas akan hal tersebut. Konflik di kedua daerah tersebut berlangsung lama dan memakan korban yang lebih banyak.

 Agama dan Kekerasan
 
Meningkatnya potensi konflik itu juga bisa dilihat sebagai makin melapuknya tali-tali pengikat kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kita. Kalau kita telusuri lebih jauh agaknya hal tersebut merupakan dampak negatif proses modernisasi yang menjadi tujuan pembangunan bangsa kita yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan rasionalitas dan efensiensi tentu saja lebih didahulukan dibanding pertimbangan sosio-kultural yang dianggap lebih merupakan biaya daripada modal, yang pada gilirannya mengakibatkan makin melemahnya perhatian terhadap asset-asset kultural, baik kearifan lokal maupun kepemimpinan informal setempat. Kecenderungan etatisme juga memperlemah fungsi kepemimpinan lokal yang berbasis agama dan adat istiadat. Bias militerisme dalam pemerintahan Orde Baru tentu saja tidak kecil pengaruhnya dalam proses pembangunan terutama dalam peenrapan sistem komando yang sentralistik dan seringkali juga agak otoriter. Sentralisasi kebijakan pembangunan memperlemah potensi budaya lokal dan mengeliminasi kearifan lokal dan pranata-pranata kultural yang bisa dilihat dari kepentingan jangka pendek cenderung tidak ekonomis. Gejala sentralisme ditambah dengan uniformisasi dalam pelaksanaan pemerintahan telah ”berjasa” dalam menghancurkan pranata-pranata lokal dan kultural di berbagai daerah nusantara kita. Padahal pranata-pranata tersebut seharusnya dimanfaatkan sebagai asset budaya untuk pembangunan bangsa kita yang tidak hanya mempunyai dimensi ekonomi akan tetapi juga dimensi komunal. Sebuah catatan khusus juga harus diketengahkan di sini yang sedikit banyak mengandung potensi mempertajam kecemburuan sekterian di antara kelompok Islam dengan kelompok Kristen.
 
Pengamanan proses pembangunan ekonomi menuntut pendekatan keamanan untuk meredam potensi-potensi konflik dan membiarkannya terpendam di bawah permukaan. Perbedaan pendapat dan kritik seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap pelaksanaan pembangunan yang dijalankan pemerintah dan karena itu harus dihadapi sebagai ”bahaya”. Kehidupan sebuah masyarakat yang demokratik memang menuntut kesabaran dalam mengikuti proses dan prosedur, kesediaan untuk memberi dan menerima, kesetiaan dalam mengikuti hukum dan aturan permainan, kejujuran dalam bersikap, suatu prasyarat yang tidak familier dengan sistem yang berbau otoriter. Peredaman perbedaan pendapat dan tersumbatnya saluran untuk mengeluarkan kritik dan uneg-uneg membuat masyarakat kita untuk sekian lama merasa tertekan, makan hati dan menahan perasaan. Kondisi batiniah masyarakat yang seperti ini adalah ibarat bom waktu yang menunggu saat peledakannya. Ketika saat ledakan itu tidak bisa ditahan-tahan lagi, masyarakat mencari sasaran pelampiasan rasa tertekan selama ini dan golongan-golongan minoritas yang lemahlah menjadi sasaran. Mereka itu bisa saja ras tertentu, minoritas agama atau orang-orang kaya.

 Formalisme, Simbolisme dan Ritualisme
 
Situasi kontradiktif tersebut seakan-akan merupakan pemenuhan ramalan Nabi Muhammad s.a.w. dalam sabda beliau:

 Aku khawatir akan datang suatu masa kepada kalian ketika
 Islam tinggal nama, al-Quran tinggal tulisan, mesjid-mesjid 
 mereka penuh sesak tapi kosong dari hidayah. Ulama-ulama
 mereka adalah sejahat-jahat manusia di bawah kolong langit,
 da’i mereka keluar fitnah dan kepada mereka fitnah itu kembali

 Saya tidak tahu apakah situasi seperti itu juga dialami oleh umat agama-agama lain. Mudah-mudahan tidak. Akan tetapi ”wisdom” yang bisa kita ambil dari ramalan tersebut adalah bahwa bahaya akan mengancam umat beragama apabila mereka terjebak dalam formalisme dan simbolisme. Sebuah cerita imajinatif di kalangan sufi mengajarkan tentang kehampaan formalisme dan simbolisme itu. Sebuah cerita imajinatif di kalangan sufi mengajarkan tentang kehampaan formalisme dan simbolisme itu.

 Konon ada seseorang yang berniat menjalankan ibadah haji sejak lama. Bertahun-tahun ia menabung sedikit demi sedikit hingga tercapai jumlah uang yang mencukupi untuk menunaikan ibadah haji. Ketik ia akan berangkat datang seseorang yang memohon bantuannya karena ada saudaranya yang sakit. Ia memerlukan biaya yang cukup besar untuk pengobatan saudaranya itu. Timbullah dilema di hati orang yang akan berangkat menjalankan ibadah haji itu. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk membantu orang yang sakit itu dan akibatnya ia membatalkan rencananya untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah masa haji selesai orang-orang sekampungnya yang melaksanakan ibadah haji berdatangan kembali. Seorang Sufi diberi tahu muridnya bahwa jamaah haji sudah mulai kembali ke kampungnya. Jawaban sang Sufi itu sangat mencengangkan. ”Tahun ini di kampung kita ini hanya satu orang yang melaksanakan ibadah haji” katanya. ”Tidak ya syaikh. Bukankah syaikh tahu berapa banyak saudara-saudara kita yang melaksanakannya dan sekarang mereka mulai kembali” kata sang murid. ”Tidak, Cuma seorang” kata syaikh itu. ”Kalau begitu siapa orang itu” tanya sang murid. ”Si Anu” kata sang Sufi itu. Sang murid lebih heran lagi karena setahunya orang itu justru membatalkan kepergiannya. 

 Cerita imajinatif tersebut hanya ingin mengatakan bahwa dilihat dari segi substansi keberagamaan yang hakiki perbuatan membantu mereka yang memerlukan bantuan mendesak lebih bermakna dibanding ritual ibadah kepada Tuhan. Cerita imajinatif ini seakan-akan menjelaskan sebuah hadis qudsi di kalangan kaum muslimin. Nabi Muhammad bersabda bahwa di hari pembalasan Tuhan berkata:

 ”Hai anak-cucu Adam, Aku lapar tapi mengapa kalian tidak memberi-Ku makanan? Aku haus tapi mengapa kalian tidak memberi-Ku minuman? Aku sakit tapi mengapa kalian tidak menengok-Ku?” Lalu anak-cucu Adam itu menjawab: ”Mana mungkin Engkau lapar, haus dan sakit Tuhan. Bukankah Engkau Tuhan pencipta alam semesta?” Tuhan menjawab:”Dulu ada saudara-saudara kalian yang menderita kelaparan, kehausan dan sakit. Kalaulah saja kalian datang kepada mereka memberi makanan, minuman atau menengok sakit mereka, kalian akan menemukan Aku di samping mereka”.

 Kutipan-kutipan di atas paling tidak mendorong kita untuk mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dan ukuran-ukuran kita tentang keberagamaan. Ia merupakan sindiran terhadap para penganut agama yang terjebak dalam formalisme sehingga lebih mementingkan ritualisme lahiriah daripada penghayatan nilai-nilai maknawi, yang tidak hanya berkaitan dengan relasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya melainkan juga relasi horizontal antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Kecenderungan formalisme itu bisa menggejala dalam berbagai sikap yang lebih berorientasi pada aspek-aspek yang bersifat kwantitatif, lahiriah dan simbolik. Maka kadar keberagamaan seseorang dilihat dari pelaksanaan ritualisme srimonial dan penampilan busana. Dalam konteks komunal kadar keberagamaan masyarakat akan dilihat dari penamabhan jumlah penganut agama dan pembangunan rumah-rumah ibadah. Kuitipan-kutipan di atas mengingatkan kita agar keberagamaan kita tidak terjebak dalam sikap lebih mementingkan dimensi kesemarakan daripada dimensi kedalaman dan lebih mementingkan dimensi kesalehan individual daripada kesalehan sosial.  

 Penekanan keberagamaan pada aspek-aspek yang bersifat lahiriah dan kwantitaif mau tidak mau akan menimbulkan gesekan-gesekan yang cebderung berakhir dengan persaingan yang tidak sehat. Aspek-aspek tersebut secara potensial mengandung bibit-bibit konflik horizontal. Sebab persaingan itu akan diterjemahkan dalam kegiatan penyebaran agama yang lebih berorientasi pada penambahan jumlah penganut, dalam kegiatan pembangunan rumah-rumah ibadah yang lebih menekankan pada penampilan fisiknya daripada fungsi pencerahan spiritualitas umat. Akibat lebih jauh adalah munculnya persaingan yang tidak sehat untuk saling mengungguli. Maka yang tanmpak adalah bahwa para penyebar agama bagaikan kondektur bus yang berebut penumpang.
 
Fundamentalisme, Radikalisme dan Anti Pluralisme 
 
Keberagamaan adalah penerimaan terhadap seperingkat nilai dan norma yang berasal dari Sang Pencipta sebagai jalan yang diyakini akan membawa kepadaNya. Ia menyangkut dimensi yang sangat pribadi dalam kehidupan manusia berkenaan dengan ”ultimate issues”, kehidupan dan kematian, kebenaran dan keselamatan. Kaerena itu keberagamaan lebih bersifat pribadi dan unik. Namun keberadaan kita tidaklah dalam kehidupan vakum budaya. Kita berada dalam relasi vertikal dan horizontal. Manusia ada tidak dalam kesendirian tapi selalu dalam kebersamaan. Kehadiran kita tidak lepas dari kehadiran orang lain, selalu bersama dengan orang lain, dan memberi pengaruh pada orang lain. Manusia tidak lepas dari ”nature” dan ”culture”, alam dan budaya. Dari perspektif lain umat manusia adalah satu tapi sekaligus majemuk, sama tapi seklaigus unik. Walaupun umat manusia sangat majemuk dalam etnisitas, ras, dan kultural namun umat manusia satu sebagai keluarga Ilahi. Umat manusia sama dalam martabat dan harkat kemanusiaannya tapi masing-masing memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain. Dalam pada itu keberadaan manusia juga tidak lepas dari fenomena keberagamaan. 
 
Adalah benar bahwa agama-agama itu berbeda, karena itu kita bisa menyebutnya dengan kata plural, agama-agama. Tapi agama-agama itu juga mempunyai kesamaan satu sama lain sehingga kita juga memasukkannya dalam satu kategori, agama. Agama-agama itu serupa tapi tidak sama. Bahkan dalam satu agamapun interpretasi para penganutnya juga berbeda-beda bahkan tidak jarang bertentangan. Menanggapi perbedaan agama-agama itu saya teringat pertengkaran cucu saya dengan temannya ketika mereka melihat gambar burung. Ketika mereka menemukan gambar burung cucu saya menyebutnya ”bird” sedangkan temannya itu menyebutnya ”burung”. Lalu mereka bertengkar: ”bird” kata cucu saya,”burung” kata temannya,--bird-burung, bird-burung—demikian mereka masing-masing bersikeras. Karena tak ada yang mau mengalah akhirnya mereka merobek-robek gambar burung itu. Lucu, yang mereka pertengkarkan adalah gambar burung bukan burung itu sendiri, hanya karena perbedaan sebutan akibat bahasa yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa hakikat burung itu satu tapi memiliki sebutan yang berbeda-beda sebanyak jumlah bahasa manusia.
 
Problem yang lebih rumit lagi adalah bahwa perbedaan itu lebih dari sekedar perbedaan bahasa akan tetapi pernedaan persepsi dan interpretasi. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan latar belakang, pendidiakn maupun pengalaman, perbedaan perspektif dan interest. Untuk sekedar ilustrasi tentang perbedaan interpretasi dan persepsi saya ingin mengambil contoh yang sangat kentara. Tanyakanlah kepada masing-masing kita yang berasal dari daerah yang berbeda bagaimana bunyi ayam jantan berkokok di pagi hari. Di daerah saya, Kalimantan Selatan suara ayam jantan itu adalah ”kongkook”, di telinga teman-temna Jawa terdengar bunyi ”kokoruyuk”, teman-teman Manado mendengarnya ”kokorako” mirip pendengaran orang perancis ”cocorico”.
 
Dengan mengatakan hal di atas saya ingin menekankan bahwa perbedaan di antara umat manusia adalah sesuatu tidak mungkin ditiadakan. Ia bagian dari keberadaan mereka sebagai makhluk yang unik seklaigus majemuk. Oleh karena itu kita tidak boleh terbawa arus prasangka apalagi prasangka agama yang bisa-bisa mendorong kita untuk saling menghakimi iman kita masing-masing. Ada cerita imajinatif yang lagi-lagi mashyur di kalangan sufi.


Konon ada seorang rohaniwan tinggal berseberangan rumah dengan seorang pekerja seks. Setiap membuka jendela sang rohaniwan itu melihat si perempuan itu dan terlintas dalam benaknya bahwa si perempuan itu sedang melakukan maksiat yang terlaknat. Terbayang dalam angan-angannya bahwa perempuan itu sedang bergelut dalam permainan cinta dengan seorang lelaki hidung belang. Sebaliknya, si perempuan pekerja seks itu, setiap kali dia menatap rumah sang rohaniwan itu, muncul rasa penyesalan dalam dirinya dan muncul keinginannya untuk kembali ke jalan yang benar, menghindari perbautan maksiat dan taat melaksanakan ibadat sebagaimana dilakukan sang rohaniwan tersebut. Syahdan, ketika keduanya berada di seberang makam sama terjadilah peristiwa yang mencengangkan yang tidak bisa dimengerti oleh sang rohaniwan tersebut. Dia dijebloskan ke dalam neraka sedangkan si pekerja seks itu justru dimasukkan ke dalam surga. Dengan nada protes ia bertanya kepada malaikat, mengapa dijebloskan ia ke dalam neraka tempat orang-orang jahat seperti si perempuan pekerja seks itu dan sebaliknya si pelacur yang berlumuran dengan kemaksiatan itu malah dimasukkan ke dalam surga, tempat orang-orang baik yang taat melaksanakan ibadat kepada Tuhan dan menjauhi perbuatan maksiat seperti dia jalani sepanjang hidupnya. ”Mesti ada kekeliruan” ujarnya, ”mengapa aku yang setia mengikuti perintah Tuhan masuk neraka sedangkan dia yang setiap hari berbuat melanggar larangan-Nya justru masuk surga. Coba lihat-lihat lagi catatan perilaku kami berdua.” Setelah sang malaikat membuka catatan kedua orang itu dia memberi tahu sang rohaniawan. ”Memang benar kau adalah seorang yang sangat taat beribadat tapi rupanya ibadatmu itu kalah dengan dosamu. Hatimu penuh prasangka buruk terhadap tetangga di seberang rumahmu. Sebaliknya tetanggamu itu, setiap kali melihat rumahmu dia menyesali perbuatan maksiatnya dan muncul keinginannya untuk bertobat dan berhenti dari melakukan perbuatan maksiat itu. Rasa penyesalannya itu telah menghapuskan dosanya.”

Cerita imajinatif seorang Sufi itu sungguh mengandung ”wisdom” yang patut kita renungkan bersama lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat kita saat ini ketika potensi konflik horizontal makin mudah tersulut dan muncul ke permukaan dan merobek-robek kebersamaan kita. Kita menyaksikan dan memprihatinkan bersama merebaknya budaya kekerasan bahkan kebengisan yang membuat kita seolah-olah hidup dalam ”neraka”. Api kebencian telah membakar tali-tali pengikat kebersamaan kita. Keadaan ini agaknya bermula dari prasangka buruk yang dibiarkan makin merebak dan akhirnya mengalahkan daya nalar kita untuk tidak asal percaya terhadap berita dan cerita yang tidak jelas asal-usulnya. Masing-masing kita merasa terancam oleh mereka yang bukan ”orang kita”. Perasaan saling terancam itu sangat memperparah hubungan sosial warga masyarakat kita. Kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan obyektif. Desas-desus lebih berperan dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat kita daripada fakta sejatinya. Konsep tentang ”orang kita” dan ”orang mereka” makin mengental dan mempengaruhi sikap kita dalam pergaulan masyarakat. Terbentuklah dalam pikiran bahkan pergaulan masyarakat kita garis demarkasi antara ”kita” dan ”mereka”. Karena itu siapa yang berbaik-baik dengan ”mereka” adalah ”musuh” kita. Lebih parah lagi, kadar keberagamaan kitapun diukur sepadan dengan kadar kebencian kita terhadap orang lain.

Situasi kebatinan seperti ini mednorong munculnya sikap anti-pluralisme. Sikap anti pluralisme ini dengan baik dilukiskan oleh seorang Sufi dalam kisah imajinatif yang lain. 
Suatu ketika di malam hari, katanya Nabi Musa berjalan-jalan. Tiba-tiba ia mendengar suara lamat-lamat dari sebuah rumah. Ia pasang telinganya dan terdengarlah suara munajat dari penghuni rumah itu. ”Tuhan, aku sangat merindukan-Mu. Berilah aku, Tuhan, kesempatan untuk melayani-Mu. Aku ingin mencuci terompah-Mu yang kotor, menjahit baju-Mu yang robek dan menyisir rambut-Mu yang kusai. Tentu saja Nabi Musa kaget mendengar doa seperti itu dan serta merta diapun masuk ke dalam rumah menemui orang itu. Dengan nada marah dia menghardik orang itu. ”Mengapa kau berdoa seperti itu. Kau sangat merendahkan Tuhan yang Maha Agung.” Mendengar teguran Nabi Musa orang itu menjadi ketakutan. Dia berlari sambil merobek-robek bajunya menyesali dirinya. Tiba-tiba muncul suara. ”Hai Musa mengapa kau marahi hamba-Ku yang bermunajat kepada-Ku?” Musa menjawab: ”Bukankah dia telah menghina-Mu?” Muncul lagi suara itu: ”Kau tidak boleh berbuat seperti itu, memaksakan pendapatmu. Biarkanlah hamba-Ku itu bermunajat kepadaku dengan caranya sesuai dengan tingkat daya nalarnya.” 

Seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya. Dia tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda apalagi bertentangan dengannya. Kalau seorang anti-pluralis memegang kekuasaan dia akan memaksakan pikiran dan pendirian yang tidak sama dengan pikiran, dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah pikiran dan pendiriannya. Yang lain tidak. Maka dengan bersikap memonopoli kebenaran seorang yang anti-pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan dengan gampang menghakimi iman orang lain. Sebagai seorang penganut suatu agama tertentu dengan seorang anti pluralis sukar dibayangkan untuk bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, dan sebagai seorang yang bertuhan dia tidak mungkin siap berkawan akrab dengan seorang atheis.

Pluralisme: Kenyataan dan Keniscayaan

Padahal pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup yang tak mungkin kita nafikan. Ia, bahkan, merupakan salah satu tanda kemahabesaran Tuhan. Kita harus menerimanya dengan sikap positif. Kita harus menysukuri pluralitas itu dengan mengembangkan pluralisme sebagai pola pikir dan jalan hidup kita. Mau tidak mau kita harus berusaha secara aktif dan positif membangun kehidupan bersama yang memberi tempat bagi kita semua yang berbeda-beda satu sama lain. Dalam perspektif inilah mengapa kita mengangan-angankan tumbuhnya sikap saling menerima eksistensi orang lain dengan segala keunikannya, saling menghormati keyakinan masing-masing dan saling membela hak hidup bersama. Cita-cita inilah yang melatarbelakangi kehadiran berbagai organisasi ”interfaith” di mana-mana di berbagai negeri sejak satu-dua dasawarsa yang lalu. Juga di negeri kita di mana kita yang berkumpul di sini merupakan orang-orang yang mendukung cita-cita itu dan terlibat dalam usaha mewujudkannya. 

Pengembangan pola pikir dan jalan hidup yang menerima pluralisme secara tulus, saya rasa, mestinya bertolak dari kesadaran bahwa keberadaan kita di bumi ini pada adasrnya bukan pilihan kita. Kita ini adalah anak zaman dan lingkungan kita. Kita tidak pernah memilih siapa orang tua kita yang melalui mereka kita lahir ke dunia dan dalam lingkungan masyarakat yang bagaimana kita dibesarkan. Semua itu secara alami dan kultural sangat mempengaruhi agama apa yang kita anut. Oleh karena itu keberagamaan kita pada umumnya berdasarkan kelahiran dan bukan pilihan. Karena saya lahir dari kedua orang tua saya yang beragama Islam dan mereka membesarkan dan mendidik saya dalam lingkungan masyarakat Muslim, maka jadilah saya seorang muslim. Andaikan saya lahir dari orang tua yang beragama Buddha atau Hindu atau katolik atau Kristen atau Kong Hucu atau bahkan atheis, kemungkinan besar saya mengikuti agama atau keyakinan orang tua saya tersebut sebagaimana saya sekarang. 

Dengan mengatakan hal di atas bukanlah maksud saya untuk mengajak kita menjadi seorang relativis atau agnostik akan tetapi hanya ingin mengatakan bahwa kita perlu bersikap positif terhadap perbedaan di antara kita, bahwa kita secara tulus harus menerima dan sekaligus menghormati keberadaan kita masing-masing dengan segala keunikannya. Dunia kita sekarang ini tidak memungkinkan kita mengisolasi diri dalam kotak-kotak yang eksklusifistik. Kita tidak bisa lepas dari relasi-relasi sosial dengan segala bentuknya dalam kehidupan kemasyarakatan kita. Apa yang perlu kita kembangkan bersama adalah bagaimana membangun kebersamaan dimana relasi-relasi sosial tidak dicederai oleh prasangka dan kecemburuan antara”kita” dn ”mereka” melainkan hubungan antar sesama sebagai makhluk Tuhan Yang Esa yang menghuni bumi yang satu di bawah kolong langit yang sama. Inilah, saya rasa, yang kita usahakan bersama melalui berbagai organisasi ”antar iman”.

Dari Dialog ke Kerja-Bersama

Usaha membangun kebersamaan pertama-tama tentu saja harus bermula dari sikap tenggang rasa di antara sesama kita. Boleh dikatakan semua agama sangat menekankan nilai tenggang rasa ini. Dengan berbagai ungkapan yang mengajarkan agar kita tidak memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang kita sendiri tidak mau diperlakukan seperti. Tentu saja sikap tenggang rasa ini tidak hanya berlaku dalam relasi personal antar individu dengan individu melainkan juga dalam relasi antar kelompok atau umat. Berangkat dari sikap tenggang rasa itu kita bisa mengembangkan dialog yang tulus sebagai media klarifikasi berbagai masalah yang mengganggu hubungan antara umat beragama. Dialog seperti ini dapat kita namakan sebagai dialog yang membebaskan, dialog yang membebaskan pergaulan kita dari berbagai prasangka negatif, dari kecurigaan dan kecemburuan satu sama lain, dari keinginan untuk mendominasi dan menguasai pihak lain. Kebebasan dari prasangka, kecurigaan dan kecemburuan tersebut penting untuk menumbuhkan sikap saling percaya sesama kita yang merupakan prasyarat mutlak untuk membangun kebersamaan. Melalui dialog itu juga kita akan saling belajar melalui proses ”take and give”, mengambil dan memberi.

Usaha mewujudkan semangat kekitaan tentu saja memerlukan langkah-langkah operasional yang nyata. Dalam kesempatan ini saya ingin mencoba mengemukakan beberapa gagasan aplikatif untuk mengembangkan sikap pluralis dalam kehidupan masyarakat kita, terutama untuk generasi kita di masa depan. 

Sebelum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut saya ingin menceritakan pengalaman ketika saya dipercaya memimpin Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama sekitar tahun 1972-1978 ketika Departemen Agama dipimpin oleh Prof. Mukti Ali. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan oleh proyek ini, yakni dialog tokoh-tokoh berbagai agama, penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai agama, dan kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan agama dan organisasi mahasiswa berlatar belakang agama. 

Pada tiga tahun pertama proyek ini menyelenggarakan dialog-dialog antar pemuka berbagai agama di hampir semua propinsi di Tanah Air kita. Bukan hanya diikuti oleh tokoh-tokoh dari apa yang selama ini dipersepsi secara sevagai agama-agama resmi tapi juga diikuti oleh tokoh agama lokal seperti agama Kaharingan di Kalimantan Tengah bahkan tokoh aliran kepercayaan di Jawa Tengah. Kegiatan dialog itu sedapat mungkin diselenggarakan di luar kota sehingga para tokoh dari agama-agama yang berbeda itu beroleh kesempatan hidup bersama beberapa hari. Atau kalau diselenggarakan dalam kota selain kegiatan dialog juga dilaksanakan darmawisata bersama untuk meninjau sarana-sarana kegiatan keagamaan masing-masing sehingga berbagai tokoh agama-agama itu beroleh kesempatan untuk bercengkerama secara santai dan informal selama perjalanan darmawisata tersebut. Yang dipentingkan dalam dialog ini bukanlah kesepakatan pendapat yang dituangkan dalam kesimpulan tertulis tapi kesempatan untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab satu sama lain dari paar tokoh berbagai agama itu yang justru tercipta di luar kegiatan dialog yang terstruktur. Terciptanya hubungan interpersonal itu jauh lebih penting dari kesepakatan formal dan tertulis antar institusi.

Sejak tahun ketiga diselenggarakan kegiatan penelitian tentang peranan agama, baik nilai-nilai agama maupun lembaga keagamaan, dalam kehidupan riil masyarakat. Untuk ini berbagai desa atau komunitas di mana suatu agama dominan dijadikan sasaran penelitian yang dilaksanakan oleh para peneliti dari berbagai agama. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan tentang hubungan dan interaksi antara agama dan masyarakat, persamaan dan perbedaannya. 

Terakhir, sejak tahun keempat difasilitasi kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa perguruan-perguruan agama dan anggota-anggota organisasi mahasiswa yang berlatar belakang agama. Kegiatan ini bertujuan untuk memebri ruang di mana berbagai calon pemuka agama dan tokoh umat beragama di masa depan dapat berkenalan, bercakap-cakap dan membangun hubungan interpersonal satu sama lain. Melalui percakapan yang terbuka dan terus terang diharapkan mereka akan sampai pada komitmen bersama untuk membangun masa depan bangsa.

Sayang sekali pimpinan Departemen Agama sesudah Mukti Ali tidak meneruskan kegiatan ini. Persepsi dan pemahaman tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralitas agama berbeda sehingga pandangan dan sikap dalam penanganannya pun berbeda pula. Pengaturan, dan bukan dialog, yang dianggap lebih efektif untuk mengembangkan kerukunan hidup umat beragagama. Kesepakatan formal institusional dianggap lebih penting daripada hubungan interpersonal antar pemuka agama dalam masyarakat. Padahal seringkali kesepakatan formal dan institusional itu lebih banyak bersifat artifisial serta dipaksakan dan jarang menyentuh hal-hal yang justru lebih diterima secara sukarela dan berakar dari kesadaran dan pengalaman masyarakat sendiri. 

Bagaimanapun, sesungguhnya kerukunan hidup umat beragama tidaka akn tercipta oleh pengaturan dari atas melainkan ia harus dikembangkan dari bawah. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir ini saya rasa, sedikit banyak, disebabkan oleh karena kita lebih mementingkan pendekatan tuntunan dari atas dan kurang mengembangkan kemampuan masyarakat kita sendiri untuk memelihara kerukunan hidup mereka. Akhirnya bangsa kita yang dahulu dianggap sebagai bangsa yang dapat dijadikan teladan dalam memelihara kerukunan masyarakat yang sangat majemuk saat ini dikenal sebagai bangsa yang dilanda budaya kekerasan bahkan kebengisan yang justru tidak diajarkan oleh agama apapun. 

Sebenarnya sekarang ini dirasakan saat yang sangat mendesak untuk mempergiat usaha-usha yang lebih terarah dan terencana untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan warga bangsa kita dengan belajar dari pengalaman pahit yang kita alami selama ini. Apa yang perlu ditekankan, saya rasa, adalah konseptualisasi bersama tentang pluralisme dan usaha bersama untuk mensosialisasikannya. Dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan beberapa gagasan untuk mewujudkan gagasan di atas.

Pertama, melakukan dialog-dialog yang teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal agar tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal di antara mereka. Melalui kegiatan ini mereka akan mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan cara-cara memecahkannya melalui ”local wisdom”.

Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain.

Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga dilakukan kuliah umum tentang agama-agama dari masing-masing ahlinya sehingga para mahasiswa mengetahui perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama, seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahsiswa masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari berbagai umat. 

Tentu masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa dikembangkan namun paling tidak melalui kegiatan-kegiatan di aats apa yang kita maksudkan sebagai pendidikan pluralisme dapat dilaksanakan pada tingkat yang lebih praktikal. Yang lebih penting lagi diharapkan sikap anti pluralis dapat dibendung yang mau tidak mau pasti akan menimbulkan konflik.

Penutup  

No comments:

Post a Comment