Sunday 23 August 2009

Pluralisme Pemahaman dalam Perspektif Teologi Islam

oleh: Djohan Effendi

Pada tahun 1953 di Pakistan terjadi kerusuhan hebat yang menelan banyak korban, baik harta maupun nyawa manusia. Kerusuhan itu berpangkal pada tuntutan dari kalangan ulama di Pakistan agar Menteri Luar Negeri Pakistan saat itu, Muhammad Zafrullah Khan, dikeluarkan dari kabinet. Alasannya adalah bahwa ia seorang Qadiyani yang harus diperlakukan sebagai minoritas non-muslim. Karena itu, menurut kalangan ulama itu, ia tidak diperkenankan untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Pakistan sebagai sebuah negara Islam. Tuntutan itu terbatas pada pemecatan saja, sebab Zafrullah Khan yang memang lahir dari keluarga Qadiyani hanya dianggap sebagai kafir dzimmi. Kalau tidak, jika saja ia seorang Qadiyani baru dan sebelumnya seorang muslim biasa, ia dapat dihukum mati karena melakukan riddah, murtad dari agama Islam, sebagaimana dialami oleh Mahmud Thaha di Sudan, yang pada zaman Numeyri memberlakukan syariat Islam terpaksa mengakhiri hidupnya di tiang gantungan karena pendapatnya diangggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Perdana Menteri Pakistan saat itu, Khwaja Nazimuddin, tidak bersedia begitu saja tunduk pada tuntutan para ulama tersebut. Ia tetap berpegang teguh pada semangat yang diwariskan oleh Ali Jinnah, pendiri Pakistan, tentang kewarganegaraan Pakistan yang tidak mengenal diskrminasi, baik etnis maupun agama. Itulah sebabnya mengapa kerusuhan itu terjadi, dan begitu memuncak sehingga pemerintah Pakistan memberlakukan hukum darurat militer dan mengambil tindakan tegas. Peristiwa berdarah itu dimajukan ke muka sebuah mahkamah yang mengadakan penyelidikan secara menyeluruh dan mendalam.

Pemeriksaan di depan mahkamah penyelidikan itu kemudian dibukukan dalam sebuah laporan yang dikenal sebagai Munir Report. Dalam pemeriksaan itu mahkamah meminta keterangan beberapa tokoh ulama yang mengajukan tuntutan tersebut. Kepada mereka antara lain diajukan pertanyaan tentang definisi seorang muslim.

Secara bergantian dan sendiri-sendiri tokoh-tokoh ulama itu memberikan jawaban mereka masing-masing. Yang menarik adalah, ternyata jawaban mereka berbeda-beda satu sama lain. Terhadap kenyataan ini hakim mahkamah penyelidikan itu memberikan komentar sebagai berikut: ”Memperhatikan berbagai definisi yang diberikan para ulama itu kita tidak merasa perlu memberikan komentar kecuali bahwa tidak ada dua orang ulama yang sepakat dalam masalah yang fundamental ini. Bila kita membuat definisi kita sendiri sebagaimana masing-masing ulama itu melakukannya, dan definisi itu berbeda dengan definisi-definisi yang diberikan oleh para ulama itu, tak ayal lagi kita telah keluar dari lingkungan Islam. Dan bila kita menerima definisi yang diberikan salah seorang ulama itu, kita akan tetap dianggap muslim menurut ulama tersebut namun kafir menurut definisi lainnya.” (Report of the Court of Inquiry contituted under Punjab Act II of 1954 to enquire into Punjab Disturbance of 1953, hal. 218)

Komentar hakim mahkamah di atas mungkin agak mendramatisasikan kenyataan tentang pluralisme pemahaman di kalangan ulama-ulama Islam sendiri tentang masalah yang cukup mendasar, definisi tentang siapakah muslim itu. Namun hal itu membuat kita tidak usah heran terhadap fenomena takfir, yakni gejala saling mengkafirkan di antara sesama umat seagama. Kaum Khawarij yang muncul di masa permulaan Islam dapat dianggap sebagai kelompok pemula dalam mengurangi jumlah umat Islam.

Cerita dan kutipan di atas mungkin dapat dijadikan sekedar penguat bahwa pembicaraan tentang apa yang disebut sebagai Teologi Minimalis, atau apapun namanya, bukanlah tanpa alasan. Terutama dalam kaitan dengan adanya pluralisme pemikiran dan pemahaman dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Memang, dalam perkembangan sejarah umat Islam sejak dahulu hingga sekarang timbul dan berkembang berbagai pemahaman tentang agama, baik yang melembaga menjadi sebuah agama maupun yang berserakan dalam pemahaman individual. Pertanyaan yang ingin diajukan di sini adalah bagaimana fenomena pluralisme itu dilihat dari perspektif teologis? Apakah Islam menerima adanya pluralisme pemahaman di kalangan umatnya ataukah menolaknya? Hal ini dengan sendirinya berkaitan dengan pertanyaan bagaimanakah sikap Islam terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berkeyakinan?

Berpikir dan berkeyakinan adalah fenomena manusiawi. Ia melekat dalam keberadaan manusia. Ia bersifat ingeren dan otonom. Tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memaksa seseorang untuk berhenti berpikir atau melepaskan keyakinan hatinya kecuali dirinya sendiri. Lalu bagaimana kalau pikiran atau keyakinan itu, baik dianut secara individual maupun secara kolektif, dianggap sebagai bid’ah atau heterodoks? Persoalannya pertama-tama tentu bid’ah atau heterodoks menurut siapa? Kembali lagi takfir, dan dalam kaitan ini saling membid’ahkan dan saling mengheterodokskan.

Bahwa seseorang meyakini keyakinannya sendiri sebagai benar adalah haknya dan sewajarnya, akan tetapi bila ia memaksakan keyakinannya itu agar juga diyakini oleh orang lain, ia telah melanggar hak orang lain, memperkosa kebebasan orang lain. Bagaimana hal ini dilihat dari konteks kehidupan beragama? Pertama-tama tentu kita harus menegakkan prinsip kebebasan beragama (la ikraha fid-din) secara utuh dan konsekuen. Ia harus diterima sebagai prinsip yang bersifat mutlak walaupun dalam kenyataannya ia tidak lepas dari kendala kerelatifan manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.

Pluralisme dalam agama dan keberagamaan mestilah dipahami dan diterima, tidak saja dalam arti kemajemukan agama-agama yang hidup dan berkembang dalam kehidupan umat manusia akan tetapi juga dalam arti kemajemukan pemahaman dalam lingkungan umat dari satu agama. Problem yang sangat peka justru terdapat dalam konteks yang kedua itu, masalah kemajemukan dalam pemahaman.

Dalam konteks umat Islam memang terdapat rujukan utama untuk mengembalikan perbedaan dan pertentangan pendapat, yaitu Allah dan Rasul. (Fa in tanaza’tum fi syay-in farudduhu ila-llahi wa Rasul). Dalam wujud konkret Allah dan Rasul itu terepresentasikan dalam Alquran dan As-Sunnah. Namun perlu dicatat bahwa kembali kepada Alquran dan As-Sunnah itu tidak dengan sendirinya mengakhiri perbedaan dan pertentangan pendapat. Bahkan di situ terbuka kemungkinan perbedaan dan pertentangan baru karena perbedaan pemahaman terhadap Alquran dan As-Sunnah itu sendiri. Dari perspektif yang lain pengembalian kepada Allah dan Rasul itu juga dapat dipahami agar mereka yang berbeda pemahamannya satu sama lain tidaklah saling mendesakkan pendapatnya sendiri. Masing-masing hendaknyalah membiarkan sesamanya untuk mempertanggungjawabkan pemahamannya sendiri kepada Tuhan dan Rasul.

Menghadapi pluralisme pemahaman itu perlu dikembangkan toleransi sosial dan komitmen terhadap kebebasan berkeyakinan. Ungkapa dalam Alquran: wala taqul li man alqa ilaykumu s-salama lasta mu’minan. Dan janganlah menyatakan kepada orang yang menyampaikan salam kepadamu itu ”Engkau tidak beriman”, agaknya sangat relevan untuk melandasi sikap toleransi sosial di kalangan sesama umat. Ungkapan di atas juga mengisyaratkan kepada kita untuk tidak mudah menghakimi dan menilai iman seseorang. Kemusliman dan ketidakmusliman seseorang seyogyanya dibiarkan menjadi tanggung jawab masing-masing pribadi. Kita cukup mempercayai pengakuannya.

Komitmen terhadap kebebasan berkeyakinan terutama di wujudkan dalam sikap membela hak orang lain untuk meyakini keyakinannya sendiri walaupun kita tidak setuju dengan pendapat atau keyakinannya itu. Prinsip: unshur akhaka zhaliman aw mazhluman, tolonglah saudaramu, pada saat melakukan kezdaliman atau diperlakukan secara zdalim, bisa diterapkan di sini. Kita harus mencegah pemerkosaan hak misalnya, walau itu dilakukan oleh saudara kita sendiri, dan kita wajib membela mereka yang terperkosa hak-haknya, walaupun mereka tidak sepaham dengan kita.

Dalam konteks ini terasa ada kaitan yang erat dengan pengembangan iklim demokrasi dalam kehidupan masyarakat kita. Dan pengembangan iklim demokrasi itu tentu saja merupakan bagian dari pembangunan bangsa kita dalam bidang sosial-politik.[]

No comments:

Post a Comment