Sunday 23 August 2009

Dimensi Moral dan Etis dalam Perjumpaan Islam - Kristen (Tinjauan dari Sisi Islam)

Makalah ini, sesuai dengan permintaan penyelenggara seminar Agama-agama VII tahun 1987 ini mencoba mengangkat dimensi moral dan etis dalam perjumpaan Islam-Kristen. Dan lebih khusus lagi, topik ini dilihat dari sisi Islam.

Pertama-tama saya ingin mengemukakan, ganjalan pertama yang segera saya rasakan adalah kesulitan untuk mendefinisikan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan ungkapan: perjumpaan Islam-Kristen, saya khawatir pengertian penyelenggaraan tentang ungkapan perjumpaan Islam-Kristen itu berbeda dengan pengertian saya. Boleh jadi juga berbeda dengan pembawa makalah lain tentang topik yang sama, yang meninjau dari sisi Kristen.

Perjumpaan Islam-Kristen, mungkin dalam penangkapan saya, bila dilihat dari berbagai dimensi. Secara garis besar saya pikir, ia mempunyai dimensi theologis dan dimensi historis. Tekanan makalah ini adalah dari dimensi yang kedua, dimensi historis.•

Untuk menangkap apa kira-kira yang bisa digambarkan sebagai perjumpaan Islam-Kristen, saya ingin mulai dengan mengemukakan beberapa cerita di antara cerita-cerita yang termaktub dalam kepustakaan Islam. Paling tidak cerita-cerita itu menggambarkan bahwa perjumpaan Islam dan Kristen sudah berlangsung awal mula sejarah Islam.

Keprihatinan Rahib Bahira atas Keselamatan Muhammad

Pertama-tama cerita bahwa ketika Muhammad masih berusia kanak-kanak ia pernah berjumpa dengan seorang Rahib yang tinggal di biara dekat Boastra di kaki gunung Draz, Bahira namanya. Ketika itu Muhammad ikut serta dengan pamannya Abu Thalib dalam kafilah dagang ke Syria. Perjumpaan itu terjadi ketika kafilah itu sedang dalam perjalanan pulang ke Mekah. Diceritakan, tidak seperti biasanya, Bahira melihat ada sesuatu yang menarik dengan kafilah itu. Karena itu seluruh anggota kafilah itu tanpa terkecuali ia undang makan di biaranya. Mereka penuhi undangan makan itu, akan tertapi Muhammad tidak diajak serta dan ia disuruh tinggal menjaga unta dan muatannya. Akan tetapi Bahira mendesak agar Muhammad yang masih kanak-kanak itu jug adatang ke biaranya. Rupanya ia mempunyai firasat ada sesuatu yang penting pada diri Muhammad yang menandai bahwa kelak ia akan menjadi seorang nabi yang besar. Karena itu ketika anggota kafilah itu minta diri sang Rahib berpesan kepada Abu Thalib. Ia berkata:

“Kembalilah dengan kemenakanmu dan jaga dia baik-baik! Bila saja orang-orang Yahudi melihat dan mengerti apa yang saya ketahui tentang anak itu, pasti mereka akan menbencanainya. Sebab kelak ia akan menjadi orang besar”.

Dukungan Moral Waraqah pada Risalah Muhammad

Cerita kedua adalah kejadian pada awal Muhammad menerima wahyu kenabian. Ketika pulang dari Gua Hira Muhammad masih dicekam oleh peristiwa yang dialaminya pada saat malaikat Jibril datang kepadanya. Ia minta diselimuti pada istrinya, Siti Khadijah sambil menyelimuti, sang istri menenangkannya dengan kata-kata:

“O Putera pamanku, bergembiralah, dan tabahlah hatimu! Demi dia yang menggenggam hidup Khadijah di tangan-Nya aku berharap kiranya engkau akan menjadi nabi umat ini. Tuhan sama sekali takkan mencemoohkanmu sebab engkaulah orang yang mempererat tali persaudaraan; jujur dalam kata-kata, engkaulah yang memikul beban orang lain, menghormati tamu dan menolong mereka yang berada dalam kesulitan atas jalan yang benar”.

Setelah Muhammad kelihatan tenang Khadijah pergi menemui saudara sepupunya, Waraqah bin Nawfal, seorang yang dikenal sebagai penganut Agama Kristen dan bahkan diceritakan dia menerjemahkan beberapa bagian dai Bibel kedalam Bahasa Arab. Ia ceritakan apa yang dialami Muhammad ke Waraqah. Setelah terdiam sejenak Waraqah berkata kepada Khadijah:

“Maha Suci Dia! Demi dia yang menggenggam hidup Waraqah di tangan-Nya, percayalah Khadijah, Muhammad telah menerima Namus Akbar seperti yang telah diterima oleh Musa. Sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya agar tetap tabah”.

Setelah mendengar kata-kata Waraqah, Khadijah segera pulang dan menyampaikan apa yang dikatakan Waraqah kepada Muhammad. Tak lama kemudian Muhammad sendiri berjumpa dengan Waraqah. Muhammad pun menceritakan apa yang dialaminya, dan kemudian Waraqah berkata:

“Demi dia yang menggenggam hidup Waraqah di tangan-Nya, engkau adalah nabi umat ini. Engkai telah menerima Namus Akbar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kelak engkau akan didustakan orang, disiksa, diusir dan diperangi. Kalau saja pada waktu itu aku masih hidup pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula”.

Setelah selesai menyampaikan tanggapannya Waraqah, yang waktu itu sudah berusia lanjut, mencium ubun-ubun Nabi Muhammad. Tak ayal lagi, kata-kata Waraqah yang mengharukan dan penuh simpati itu sangat menyentuh hati Nabi Muhammad. Ia merupakan dukungan moral bagi Nabi dan bahkan lebih menyadarkan akan risalah beliau.

Perlindungan Raja Abesenia Terhadap Pengungsi Muslim

Ketiga tentang pengungsian orang-orang Islam ke Abesenia. Pada saat pengikut-pengikut Nabi Muhammad mengalami penderitaan yang makin berat sebagai akibat perlawanan orang-orang Quraisy kepada perkembangan Islam yang makin bertambah pemeluknya, Nabi Muhammad menganjurkan agar mereka mengungsi ke negeri lain. sambil menunjuk ke arah timur beliau berkata:
“Di sana terletak negeri Abesenia. Negeri itu diperintah oleh seorang raja yang dalam kerajaannya tak seorangpun diperlakukan secara tidak adil. Negeri itu adalah negeri orang-orang saleh. Pergilah kalian ke sana dan tinggallah di situ sampai Allah menganugerahi kita keadaan yang lebih baik untuk kalian kembali”.

Menurut catatan pengungsian orang-orang Islam ke Abesenia terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama di bawah pimpinan Usman bin Affan jumlah pengungsi 11 orang laki-laki dan 4 orang perempuan termasuk Ruqayah puteri Nabi Muhammad sendiri, istri Usman. Gelombang kedua di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thablib dengan jumlah yang jauh lebih banyak, 83 orang laki-laki dan 80 orang perempuan.

Orang-orang Quraisy Mekah tidak membiarkan pengungsian tersebut. Mereka mengirim delegasi ke Abesenia, yaitu Abdullah bin Abu Rabi. Dan Amr bin Ash. Keduanya menghadap Raja Abesenia, Negus (Najasi), meminta agar para pengungsi tidak diberi izin tinggal di Abesenia. Dengan alasan para pengungsi itu terdiri dari pengikut Muhammad yang membawa agama baru yang berlawanan dengan agama nenek moyang mereka, dan untuk menghasut raja. Mereka juga katakan berbeda dengan agama sang raja. Dalam usaha membujuk hati raja mereka juga memberikan berbagai hadiah kepada raja dan para pembesar istana. Akan tetapi raja Abesenia tidak mau begitu saja memenuhi permintaan delegasi orang-orang Quraisy tersebut. Raja memanggil pimpinan para pengungsi itu untuk dikonfrontasikan dengan delegasi tersebut. Pimpinan para pengungsi itu, Ja’far bin Abi Thalib, ketika ditanya Raja tentang kepercayaan yang baru, berkata:

“Wahai Raja! Kami telah lama terbenam dalam kebodohan. Kami menyembah berhala, dan kami hidup dalam kebiadaban. Kami memakan bangkai, kami bercakap-cakap dengan perkataan yang keji kami tidak mengindahkan perasaan atau nilai kemanusiaan. Kami tidak memperdulikan tamu dan tetangga! Kami tidak mengenal undang-undang, siapa kuat siapa di atas, siapa yang lemah tertindas. Tiba-tiba Tuhan membangunkan di tengah-tengah kami seorang laki-laki dari keluarga mulia, perkataannya benar, ramah tamah. Dari waktu itulah kami sadar. Diajaknya kami kepada Tuhan Yang Maha Esa, diajarkannya kami supaya jangan memperserikatkan suatu Tuhan. Dilarangnya kami menyembah berhala. Dianjurkannya kami supaya berkata benar, jangan memungkiri janji, bersifat kasih sayang, dan menghargai hak tetangga. Dilarangnya kami merendahkan perempuan, dan dicegahnya kami memakan harta anak yatim. Diperingatkannya kami supaya lari dari cela dan kebusukan, meninggalkan segala pekerjaan jahat. Diperintahkannya kami supaya mengerjakan sembahyang, memberikan darma dan sedekah, dan melakukan puasa. Kami percaya kepadanya, kami terima pelajaran dan anjurannya untuk berbakti kepada Tuhan, dan tidak kami persekatkan suatu apapun dengan Tuhan itu. Karena kami berbuat yang demikian, orang senegeri kami memusuhi kami. Mereka melakukan aniaya kepada kami, supaya kami mengghentikan kebaktian kami kepada Tuhan dan kembali menyembah berhala yang terbuat dari kayu dan batu, kembali kepada perbuatan kekejian yang lama. Mereka menyakiti kami, mereka menyiksa sehingga kami tidak mempunyai keamanan lagi hidup dengan mereka. Karena itulah kami datang ke kerajaan tuanku dengan harapan supaya tuanku melindungi kami dari kezaliman mereka”.

Setelah Ja’far selesai menyampaikan penjelasannya terjadi sedikit dialog dengan Raja, bahkan dengan kedua delegasi dari Kaum Quraisy Mekah tersebut. Ja’far sempat membacakan sebagian surat Maryam yang menceritakan tentang Yahya (Pembaptis) dan Isa Al-Masih. Akhirnya Raja mengambil keputusan:

“Aku tak mungkin mengembalikan para pengungsi ini. Mereka boleh tinggal di sini, mereka bebas menjalankan agama sesuai dengan keinginan mereka”.

Masjid Nabi untuk Kebaktian Delegasi Kristen Najran

Akhirnya, keempat, cerita tentang pertemuan Nabi Muhammad dengan delegasi Kristen dari Najran. Pertemuan ini terjadi pada tahun ke-9 Hijriah, tahun yang dikenal sebagai tahun kedatangan berbagai delagasi. Di antaranya delegasi dari Najran tersebut. Jumlah delegasi itu sekitar 70 orang dibawah pimpinan Abd Al-Masih dan Abd Al-Harits. Mereka ditempatkan di Masjid Nabi dan di rumah-rumah para sahabat Nabi disekitarnya.

Diceritakan delegasi itu tinggal di Medinah beberapa hari dan terjadi dialog theologis yang mendasar. Di sela-sela dialog itu, pimpinan delegasi itu minta izin kepada Nabi Muhammad untuk meninggalkan Masjid Nabi bersama rombongannya. Ketika ditanya oleh Nabi kenapa mereka akan meninggalkan Masjid, mereka menjawab karena mereka ingin melakukan kebaktian. Nabi berkata bahwa mereka tak perlu keluar. Beliau mempersilahkan mereka mempergunakan Masjid Nabi sebagai tempat melakukan kebaktian.

Keterikatan Moral dan Etis

Keempat cerita di atas, bagi saya, sangat menarik. Sebab, seperti disinggung di atas tadi, cerita-cerita tersebut menggambarkan bahwa perjumpaan Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak awal mula sejarah Islam. Bahkan dalam kasus pertemuan Muhammad dengan Rahib Bahira, hal itu terjadi jauh sebelum masa kenabian. Ada beberapa hal yang ingin saya catat dari cerita-cerita di atas, yakni:

1) Kisah pertemuan Muhammad dengan Bahira dan Waraqah tidak saja memperkuat keyakinan umat Islam tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi yang kedatangannya telah diberitakan lebih dahulu oleh Kitab-kitab suci sebelumnya, akan tetapi juga, dari sisi lain, memperlihatkan simpati kalangan Kristen terhadap Islam.
2) Pengalaman yang lebih nyata tentang sikap simpati pihak Kristen dirasakan oleh kaum muslimin yang mengungsikan ke Abesenia ketika orang-orang Quraisy menuntut pengembalian mereka ke Mekah. Sikap simpati ini sangat mengesankan pada Nabi Muhammad sendiri. Diceritakan betapa Nabi Muhammad sangat sedih ketika mendengar berita bahwa Raja Abesenia itu wafat, bahkan beliau pun mendoakannya.
3) Nabi Muhammad memberikan contoh nyata bagaimana sikap respek terhadap para penganut agama Islam itu harus diwujudkan. Tindakan beliau mempersilahkan orang-orang Kristen dari Najran untuk mempergunakan Masjid Nabi sebagai tempat mereka melakukan kebaktian adalah contoh dari sikap respek itu.

Cerita-cerita di atas, saya rasa, mengandung dimensi moral dan etis yang berkaitan dengan hubungan dan pergaulan yang seharusnya dikembangkan diantara umat Islam dan Kristen, bahkan diantara umat yang berbeda-beda agama pada umumnya. Yakni adanya keterikatan moral dan etis untuk saling menghormati dan saling membela hak hidup satu sama lain.

Pertanyaan yang mungkin bisa dikemukakan adalah bagaimana relevansi dan implikasi dari keterikatan moral dan etis itu dalam konteks kehidupan kita sekarang? Pertanyaan ini menyangkut persoalan yang tidak sederhana. Agaknya diperlukan keberanian moral untuk menggumuli persoalan ini. Mengapa?

Mulai dari Introspeksi dan Otokritik

Perjumpaan Islam-Kristen bukanlah peristiwa sesaat. Ia telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Dalam perjumpaan itu telah terjadi berbagai peristiwa di berbagai tempat dalam berbagai konteks. Dan secara jujur harus diakui, kisah perjumpaan itu tidak hanya meninggalkan kisah yang indah tapi juga tidak kurang-kurang bagaikan mimpi yang buruk. Kita bisa menyebut, misalnya masuk dan terusirnya orang-orang Islam di Spayol, perang Salib, Kolonialisme Barat dengan segala perwujudan dan implikasinya. Dan sebenarnya tidak usah jauh-jauh, kita pun di Indonesia merasakan hal itu.

Adalah tanggung jawab moral dan etis kita semua untuk memberi bentuk dan isi pada perjumpaan Islam-Kristen yang sudah menyerah itu dalam perspektif dan prospek yang baru, yang lebih positif. Mungkin pertanyaannya adalah, dari mana kita harus mulai?

Untuk mengukir fenomena perjumpaan Islam-Kristen di masa mendatang, saya rasa, kita harus mulai dengan kesediaan melakukan instrospeksi dan otokritik secara jujur. Kita harus melihat diri kita dan mencari kesalahan dan kelemahan kita sendiri. Artinya, kecenderungan untuk selalu mencari kesalahan pada orang lain dan sebaliknya mencari dalih pembenaran untuk diri sendiri harus dihindari.

Langkah berikut adalah, masing-masing harus mencoba dan berusaha memahami satu sama lain sebaik-baiknya, kepercayaannya, keprihatinannya, persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan latar belakang sejarahnya. Dengan pemahaman yang lebih utuh satu sama lain itu, saya rasa, saling pengertian akan lebih mudah diwujudkan sebagai landasan kehidupan dan pergaulan bersama.

Dua Ganjalan

Ada baiknya, dan bahkan sudah seharusnya, bila kita bicarakan jalan yang dirasakan masing-masing, yang mengganggu terwujudnya perjumpaan yang mulus di antara Islam dan Kristen. Dari sisi Islam, lepas dari persoalan apakah hal itu dirasakan oleh segolongan besar atau segolongan kecil, ada perasaan terancam. Terancam oleh apa yang disebut sebagai “Kristenisasi”.

Lepas dari persoalan apakah “Kristenisasi” itu ada atau tidak, dibesar-besarkan atau tidak, persepsi tentang adanya ancaman “Kristenisasi” itu ada di kalangan Islam. Kita bisa mendengar hal itu dari khotbah-khotbah, kita bisa membaca hal itu dari tulisan-tulisan di berbagai media masa. Saya rasa perasaan terancam itu merupakan sebuah ganjalan besar. Ia membawa implikasi yang sangat luas, dan kadang-kadang tak terperhitungkan. Pertanyaan yang perlu kita gumuli bersama adalah, bagaimana menghilangkan perasaan terancaman itu? Tidak mudah! Ia memerlukan kearifan semua pihak. Ia memerlukan saling pengertian, kepercayaan, dan tentu saja memerlukan waktu.

Dalam kesepakatan ini, saya ingin menunjuk suatu keprihatinan yang dalam di kalangan Islam, yang merupakan bagian dari perasaan terancam itu, adalah tentang pendidikan agama bagi anak-anak Islam di sekolah-sekolah Kristen, tentu saja juga termasuk Katolik. Kekhawatiran bahwa anak-anak Islam yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen akan dikristenkan, banyak atau sedikit, menghantui kalangan Islam. Bagaiman hal ini harus dihadapi? Dari pihak saudara-saudara Kristen tentu bisa memberikan jawaban yang gampang, salahnya sendiri mengapa menyekolahkan anak kesekolah-sekolah Kristen. Tapi saya tanggung jawab moral dan etis kita tidak akan menganggap masalah itu sesederhana itu. Dalam angan-angan saya muncul pertanyaan, mungkinkah anak-anak Islam yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen itu diperlukan sebagaimana para pengungsi muslim ke Abesenia? Yakni, dalam arti mereka peroleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan agama sebagaimana agama orang tua mereka minimal secara fakulatif.

Dari sisi Kristen, menurut penangkapan saya, ada ganjalan yang mungkin masih traumatik, yakni ancaman dari gagasan atau keinginan di kalangan Islam untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai negara Islam. Dilihat dari kesejarahan bangsa dan negara kita, kekhawatiran ini tentu mempunyai alasan yang kuat. Fakta historis membuktikan hal itu, karena memang ada yang berusaha, baik yang melalui jalan legal konstitusional maupun yang melalui jalan ilegal pemberontak, berusaha mendirikan apa yang dinamakan negara Islam.

Walaupun isyu tentang negara Islam itu mungkin tidak lagi merupakan isyu yang penting, sebab, gagasan itu beroleh tantangan kuat dari kalangan Islam sendiri, namun hal itu tidak berarti tidak ada ganjalan yang dirasakan oleh kalangan Kristen. Saya ingin menyebut masalah pendirian rumah ibadah, pendirian gereja. Saya rasa tidak adil kalau saya mengetengahkan hal ini. Ia akan mengganjal hati saya.

Saya dapat merasakan perihnya perasaannya saudara-saudara umat Kristen menghadapi kenyataan betapa kesulitan untuk mendirikan gereja di wilayah-wilayah yang orang-orang Kristen berada dalam posisi sebagai pendatang baru. Sebuah persoalan yang sangat peka. Dan hal ini pun tidak bisa dilepaskan dari perasaan terancam yang menghinggapi kalangan Islam. Dus problemnya sangat konpleks. Tanggung jawab moral dan etis kita tentu tidak bolah membiarkan keadaan ini tetap mengganjal begitu saja. Mungkinkah, misalnya, kalangan Islam bersikap sebagaimana Nabi ketika beliau dengan segala senang hati membersilahkan mereka melakukan kebaktian di Masjid Nabi? Tentu bukan dalam bentuk mempersilahkan saudara-saudara Kristen mempergunakan Masjid untuk tempat pembaktian, akan tetapi dengan bersikap toleran terhadap pendirian gereja dan rumah-rumah ibadah agama lain.

Dalam menghadapi ganjalan-ganjalan di atas, saya rasa, sikap yang diperlukan adalah tenggang rasa. Ada baiknya masing-masing pihak mencoba menempatkan diri dalam posisi pihak lain, dan mencoba menghayati perasaan dan keprihatinan mereka. Boleh jadi hal ini akan membuat kita lebih arif dan lebih dewasa.

Kerjasama : Sebuah Tantangan Bersama 

Dalam konteks kita perjumpaan Islam-Kristen, apapun bentuknya, adalah sebuah kenyataan sosio-historis. Dengan segala pengalaman kita di masa lalu dan sekarang, manis maupun pahit, di pundak kita terletak tanggung jawab moral dan etis untuk mewujudkan kerjasama secara lebih nyata. Hal ini, saya rasa merupakan tantangan historis kita bersama. Bayangan suram di masa lalu harus kita buang dari angan-angan kita. Kita harus merubah posisi kita yang saling berlawanan menjadi bersandingan dan menghadapi ke arah yang sama, masa depan kita penuh tantangan.

Salah satu tantangan besar yang masih menghantui kita tentulah masalah kemiskinan, sebagian besar masyarakat kita, apapun agama mereka. Kalau kita ingin berbicara tentang mayoritas dan minoritas, saya rasa konteks yang paling relevan adalah perbandingan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang miskin masih merupakan mayoritas bangsa kita.

Dalam menghadapi tantangan bersama ini, kemiskinan bangsa kita itu, Islam dan Kristen mempunyai landasan agamawi yang sama. Perkenankanlah saya mengutip beberapa ayat dalam injil Matius:

Dan ia akan berkata juga kepada mereka yang disebelah kiri-Nya:
“Enyahlah dari hadapan-Ku, hak kamu orang-orang yang terkutuk, enyahlah kedalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika aku lapar, kamu tidak memberi aku makan; ketika aku haus, kamu tidak memberi aku minum; ketika aku sedang asing, kamu tidak memberi aku tumpangan; ketika aku telanjang, kamu tidak memberi aku pakaian; ketika aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat aku”.
 
Lalu mereka pun akan menjawab Dia, katanya:
“Tuhan, bilamanakah kami melihat engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani engkau?”

Maka ia akan menjawab mereka: 
“aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk aku”. 

Kutipan di atas mengingatkan saya kepada sebuah hadits qudsi yang menceritakan kelak di hari Kiamat Tuhan akan bersabda kepada hamba-hambanya:

“Hai anak cucu Adam, aku lapar mengapa kalian tidak memberi aku makan?”.
Manusia menjawab:
“Mana mungkin Engkau lapar ya Tuhan, bukankah Engkau Tuhan sarwa sekalian alam?”
Tuhan menjawab:
“Bukankah engkau tahu salah seorang hamba-Ku yang kelaparan, mengapa kalian tidak memberi dia makan?
Kalau saja kalian memberi dia makan tentu kalian akan bertemu dengan aku di sana.
Tuhan bersabda lagi:
“Hai anak cucu Adam, aku haus mengapa kalian tidak memberi aku minuman?”
Manusia menjawab:
“Mana mungkin Engkau haus ya Tuhan, bukankah Engkau Tuhan sarwa sekalian alam?”
Tuhan menjawab:
“Bukankah engkau tahu salah seorang hamba-Ku kehausan, mengapa engkau tidak memberi dia minuman?
Kalau saja engkau memberi dia minuman engkau akan bertemu dengan aku di sana.
Kemudian Tuhan bersabda:
“Hai anak cucu Adam, aku sakit, mengapa kalian tidak menjenguk-ku?”
Manusia menjawab:
“Mana mungkin Engkau sakit ya Tuhan, bukankah Engkau Tuhan sarwa sekalian alam?”
Tuhan menjawab:
“Bukankah kalian tahu salah seorang hamba-ku menderita sakit, mengapa kalian tidak menjenguk dia?
Kalau saja kalian menjenguk dia kalian akan bertemu aku di sana”.

Kutipan di atas rasanya tidak memerlukan penjelasan lebih jauh. Pesan yang terkandung di dalamnya sangat jelas. Ia menyadarkan kita semua yang mengaku bertuhan kepada siapa seharusnya kita berpihak. Pembelaan terhadap mereka yang lemah dan menderita mestilah menjadi agen bersama dari semua umat beragama.

Semua kita ini ibarat musafir yang merindukan pulang kembali ke induk kita bersama. Dialah kiblat perjalanan kembali kita. Kutipan di atas memberitahukan kepada kita dimana dia berada. Dia berada di tengah-tengah orang-orang yang lemah dan menderita, yang kelaparan dan teraniaya, yang tersingkir dan dilupakan, bahkan dia mengidentifikasikan diri-Nya sebagai bagian dari mereka. Maka itu tidaklah kiprah memberantas kemiskinan dan kebodohan merupakan forum kerja sama dimana Tuhan hadir di sana? Saya rasa di situlah terletak perjumpaan yang memberi bobot pada keberagaman kita di sini dan kini.[]

No comments:

Post a Comment