Dimuat pada Prisma 5, Juni 1978
Oleh: Djohan Effendi
Pengantar
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang agama. Gagasan ini muncul, terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian yang memperlihatkan gejala meruncingnya hubungan antar agama. Gejala ini terlihat kentara pada pertengahan akhir tahun enam puluhan. Hal ini terutama berhubungan dengan sangat santernya isyu kristenisasi pada saat itu. Barangkali karena itulah Menteri Agama pada waktu itu, Prof. Mukti Ali, pada tahun 1971 melontarkan gagasan dialog pemuka agama, sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu forum percakapan bebas dan terus terang dimana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Sejak itu kegiatan dialog diprogramkan dan merupakan kegiatan utama dari Proyek Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama.
Pada saat ini, Menteri Agama yang baru, Letjen Haji Alamsyah menegaskan bahwa usaha pembinaan kerukunan hidup umat beragama perlu ditingkatkan. Dialog harus lebih diberi bobot sehingga menjadi musyawarah pemuka-pemuka umat berbagai agama.
Tulisan ini didasarkan pada laporan-laporan penyelenggaraaan dialog dan buku Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, dan dimaksud sekedar memberikan gambaran singkat tentang usaha-usaha yang telah dilakukan dalam usaha pembinaan kerukunan hidup umat berbagai agama di Indonesia.
Kehidupan Agama di Indonesia
Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan berkembang di Indonesia. Mula-mula datang agama Hindu, disusul oleh agama Budha, Islam dan kemudian Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Di samping itu berbarengan dengan kedatangan bangsa Cina yag kebanyakan beragam Kong Hu Cu maka agama tersebut pun ikut memperkaya dunia keagamaan di Indonesia.
Kehadiran agama-agama besar tersebut di atas, terutama tiga yang pertama, Hindu Budha dan Islam, tidak saja bersifat kerohanian melainkan juga secara fisik dan politik dalam wujud berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan Islam. Hal ini tentu saja memberikan bekas yang tidak sedikit dalam perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Kenyataan hidup dan berkembangnya berbagai agama tersebut menambah corak kemajemukan bangsa Indonesia. Satu hal yang menggembirakan adalah, bahwa walaupun kemajemukan itu mengandung potensi pertentangan, namun dalam sejarah Indonesia boleh dikatakan tidak pernah terjadi perang antar penganut agama. Sikap toleran diantara pemeluk berbagai agama benar-benar merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Di beberapa daerah di mana masyarakat memeluk lebih dari satu agama, dapat disaksikan bukan saja kehidupan yang penuh toleransi dalam wujud sikap saling menghormati dan saling tenggang rasa, melainkan juga tolong-menolong dalam kegiatan yang bertalian dengan agama seperti pembangunan mesjid atau gereja. Apalagi dalam bidang-bidang kehidupan lainnya. Bahkan tidak jarang ditemui satu keluarga yang terdiri dari anggota-anggota, mungkin isteri atau suami, mungkin satu atau beberapa anak, yang berbeda agama. Sedang dalam pergaulan sehari-hari orang tidak begitu mempersoalkan keagamaan seseorang. Sudah sejak zaman penjajahan Belanda umat beragama membentuk perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan politik. Dan dalam perkembangan pergerakan-pergerakan tersebut bukan saja dipengaruhi tapi juga ikut mempengaruhi kehidupan politik. Salah stu perkembangan yang penting dewasa ini adalah bahwa masing-masing umat beragama mempunyai semacam puncak organisasi, setidak-tidaknya yang berdiri di atas kelompok umat. Umat Islam mempunyai “Majelis Ulama Indonesia”, umat Kristen mempunyai “Dewan Gereja-gereja Indonesia”, Umat Katolik mempunyai “Majelis Agung Waligereja Indonesia”, umat Hindu mempunyai “Parisada Hindu Dharma”, umat Budha mempunyai “Majelis Agung Agama Budha Indonesia” dan umat Kong Hu Cu mempunyai “Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia”.
Beberapa Masalah Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Agama
Secara umum kehidupan dan pergaulan umat berbagai agama tampak rukun. Akan tetapi hal ini tidak berarti tidak pernah terjadi ketegangan atau persinggungan satu sama lain. ketegangan dan persinggungan itu wajar dalam suatu masyarakat yang beraneka. Sebab bagaimana pun juga, dalam masyarakat majemuk mesti terdapat persaingan, dan justru dalam persaingan itu terdapat dinamika.
Walaupun ketegangan dan persinggungan tersebut bisa dianggap wajar, namun suatu ketika bisa terjadi peruncingan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, masalah penyebaran agama, warisan penjajahan serta masalah kompleks mayoritas dan minoritas.
Penyebaran agama adalah hal yang wajar dan semestinya. Agama Islam dan Kristen misalnya sangat mementingkan hal ini. Para pemeluknya menanggung kewajiban agama untuk itu. Selain itu keberagamaan atau penganutan sesuatu agama berarti penerimaan dan penghayatan sesuatu yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang menyangkut keselamatan di dunia dan terutama diakhirat. Oleh karena itu adalah sangat kondrati apabila untuk menyelamatkan orang lain lewat ajakan memeluk agama yang diyakini sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Ini berarti bahwa pada dasarnya penyebaran agama adalah berdasarkan motivasi yang sangat luhur, yakni mengajak orang keselamatan. Dus penyebaran agama adalah konsekwensi dan bagian dari keberagamaan itu sendiri.
Ketegangan dalam penyebaran agama timbul apabila cara-cara yang dipergunakan dirasakan sebagai kurang ajar. Adanya penyebar agama yang mendatangi rumah demi rumah penganut agama lain, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan yang bersifat kecaman terhadap ajaran agama lain dan cara-cara lain yang dianggap kurang wajar menimbulkan problem hubungan antar agama. Walaupun dalam kenyataan yang melakukan cara-cara tersebut hanyalah satu dua kelompok kecil, akan tetapi masyarakat awam cenderung untuk memukul rata. Ini jelas tidak benar, tapi bisa dimengerti.
Kedatangan penjajah Barat ke kepulauan Nusantara berbarengan dengan penyebaran agama Kristen. Kenyataan di atas melahirkan kesimpulan, seakan-akan penjajah identik dengan agama Kristen. Apalagi dulu, konon, ada semacam semboyan Gospel, Glory and Gold yang seakan-akan menyenapaskan penyebaran agama, penindasan politik dan penguasaan ekonomi terhadap negeri dan rakyat jajahan. Hal itu sering pula dikaitkan dengan politik keagamaan pemerintah jajahan yang cenderung mengistimewakan agama Kristen dan bersikap negatif terhadap agama Islam.
Dalam usaha membebaskan diri dari belenggu penjajahan gairah atau kecemburuan agama merupakan faktor yang amat peka dan menjadi sumber semangat yang sangat heroik. Dan hal ini benar-benar terwujud dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dan pergerakan kemerdekaan didorong, selain oleh semangat kebangsaan juga oleh semangat agama. Suatu hal yang mengurangi keruncingan hubungan antar agama adalah karena diantara pejuang-pejuang kemerdekaan terdapat tidak sedikit perjuang-pejuang nasional yang beragama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha disamping penjuang-pejuang yang beragama Islam.
Hubungan antara umat berbagai agama di Indonesia tidak bisa lepas dari problem mayoritas dan minoritas. Di kalangan mayoritas timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan peranannya. Sedang di kalangan minoritas timbul ketakutan karena terancam eksistensi dan hak-hak asasinya.
Problem di atas, yakni perasaan terdesak di satu pihak dan perasaan terancam dipihak lain, membawa implikasi dalam hubungan antar umat berbagai agama dan pergaulan masyarakat, dan bisa menggejala dalam berbagai bentuk ketegangan.
Hal-hal di atas berjalin berkelindan satu sama lain dan menimbulkan problem-problem lain. ditambah lagi oleh kurang adanya pergaulan yang erat antara para pemuka berbagai agama, maka ancaman terhadap kehidupan yang rukun cukup besar.
Ketegangan hubungan antar umat berbagai agama, khususnya Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik), seperti disinggung di depan, amat terasa pada pertengahan akhir tahun enam puluhan. Hal ini terutama berkisar pada isyu pengkristenan (kristenisasi) yang tumbuh di kalangan umat Islam. Untuk mengatasi situasi yang rada tegang dan menekankan itu, pada tanggal 30 Nopember 1967 pemerinah menyelenggarakan Musyawarah Antar Agama dengan target, pertama kesepakatan untuk tidak menjadikan umat agama lain sebagai sasaran penyiaran sesuatu agama, dan keduanya adanya kesepakatan untuk membentuk semacam Badan Konsultasi Antar Agama. Musyawarah Antar Agama tersebut tidak mencapai target seperti diharapkan terutama yang menyangkut target utama.
Dialog Antar Pemuka Agama
Salah satu gagasan yang dilemparkan oleh Prof. Mukti Ali pada saat-saat awal jabatannya sebagai Menteri Agama adalah tentang dialog antar pemuka berbagai agama. Gagasan tersebut memang kemudian diprogramkan dengan membentuk Proyek Kerukunan Hidup Beragama yang menyelenggarakan dialog-dialog tersebut.
Semenjak tahun 1972 sampai dengan tahun 1977 Proyek tersebut telah menyelenggarakan 23 kali dialog di 21 kota. Dari awal mula memang dialog telah dibatasi untuk tidak mendiskusikan perbedaan-perbedaan dalam bidang teologi. Yang dibahas adalah masalah-masalah kemasyarakatan yang menjadi kepentingan bersama. Dari buku-buku laporan tentang penyelenggaraan dialog-dialog tersebut tercatat topik-topik yang didiskusikan adalah: kerukunan dan toleransi umat beragama, wadah kerjasama antar umat beragama, nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat modern, peranan tokoh-tokoh agama dalam membangun masyarakat, agama dan ketahanan nasional, perawatan anak-anak terlantar, pembinaan remaja, pembinaaan kehidupan agama di perguruan tinggi, pembinaan agama pada kehidupan suku-suku terasing, pembinaan agama pada kehidupan masyarakat transmigrasi, agama, program keluarga berencana dan pendidikan kependudukan, motivasi agama untuk pembinaan koperasi, dan pembinaan perpustakaan agama.
Dari buku-buku laporan tersebut terlihat pula bahwa para peserta dialog itu terdiri pemuka-pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan bahkan kepercayaan dan kaharingan, tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat-pejabat pemerintah.
Dilihat dari topik-topik yang dibahas dan para peserta dialog, maka mestinya dialog itu akan bisa menimbulkan efek ganda, tidak saja menumbuhkan saling pengertian diantara pemuka-pemuka berbagai agama melainkan juga diantara pemuka-pemuka berbagai agama di satu pihak dengan para pejabat pemerintah di lain pihak.
Sukar untuk menilai berhasil tidaknya program dialog tersebut. Akan tetapi kalau dilihat dari segi sikap terhadap program dialog itu sendiri dan topik-topik yang dibahas, program dialog itu bisa dianggap mengalami kemajuan. Program dialog yang mula-mula diterima dengan sikap penuh tanda tanya ternyata mendapatkan penerimaan yang positif, bahkan hampir semua buku-buku laporan dialog mencamtumkan saran agar program dialog diteruskan dan bahkan ditingkatkan, dari dialog kata ke arah dialog karya. Sedangkan topik-topik permasalahan yang didiskusikan beralih dari masalah-masalah hubungan antar umat berbagai agama kepada masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Di samping itu, terdapat juga hasil nyata, walaupun tidak kentara, yakni terbinanya saling mengenal di antara pemuka berbagai agama yang merupakan kunci untuk saling menghormati, saling mengerti dan akhirnya diharapkan saling mempercayai satu sama lain.
Kerjasama Para Ahli
Sebagai peningkatan lanjutan dari program dialog sejak tahun 1976, telah dilaksanakan program studi kasus yang merupakan kegiatan bersama para ahli dari berbagai agama. Kegiatan ini telah dilakukan 8 kali di 7 daerah. Masalah-masalah uang dipelajari diserahkan pada masing-masing team yang terdiri 7 orang. Dari buku-buku laporan studi kasus tercatat masalah-masalah yang telah dipelajari antara lain adalah kaitan antara agama sebagai pembawa nilai dan amal dengan kenyataan kehidupan masyarakat di empat desa, yakni desa NU, Muhammadiyah, Protestan, dan Katolik, di daerah Jawa Timur, peranan pemuka-pemuka agama dalam berbagai kegiatan masyarakat di 2 desa, yakni desa Islam dan Kristen di dalam kota Medan: pola hubungan antar umat berbagai agama di Toraja peranan dan bentuk-bentuk kegiatan rumah-rumah ibadah (Mesjid dan Gereja) dalam pembinaan jemaahnya di kota Bandung dan masalah perkawinan kontrak yang menyangkut pula masalah perbedaan agama di Kalimantan Timur.
Dari kegiatan-kegiatan studi kasus tersebut hubungan yang intim dari unsur-unsur yang berbeda agama dapat dibina dan satu sama lain bisa saling mengenal dan belajar.
Bentuk lain dari kerjasama adalah Program Kerjasama Sosial Kemasyarakatan. Kegiatan itu baru diadakan pada tahun 1977 dan diselenggarakan di Jakarta dan Medan. Program ini diwujudkan dalam bentuk training dan Darmabakti Kemasyarakatan yang diikuti oleh generasi muda.
Untuk Jakarta, sebanyak 10 orang mahasiswa IAIN, 10 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi dan 10 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat diajar mengadakan camping bersama di Ciawi selama satu minggu. Dalam dan selama camping itu mereka menyelenggarakan diskusi panel dengan mengundang beberapa penulis, pengadakan diskusi di antara mereka sendiri dan pada hari terakhir mereka mengadakan darmabakti kemasyarakatan bersama.
Di Medan beberapa anggota HMI, GMKI dan PII juga mengadakan camping bersama dengan acara yang hampir bersamaan dengan Jakarta. Acara ini berlanjut dengan mengadakan darmawisata ke Sibolga.
Melihat penyelenggaraan dan kegiatan para peserta selama dan kemudian setelah camping bersama itu, tampak hal-hal yang menggembirakan. Keintiman dan keakraban pergaulan membuat perbedaan keyakinan agama tidak menjadi penghalang. Para peserta Kerjasama Sosial Kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa IAIN, ST Teologi dan STF Drijarkara, misalnya, telah melahirkan apa yang mereka namakan Kelompok Ciawi, dan mereka yang merupakan calon-calon ulama, pendeta dan pastor itu mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi secara bergiliran atas keinginan dan prakarsa mereka sendiri. Dengan menumbuhkan suasana ini dikalangan pemuda, terutama mahasiswa yang kelak diharapkan akan menjadi pemuka-pemuka masyarakat, sesungguhnya tidak perlu ada kecemasan bahwa agama akan menjadi faktor yang tidak positif untuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendekatan Yang Lebih Manusiawi
Walaupun keadaan sekarang dan kecenderunagn kehidupan agama di Indonesia, baik masing-masing maupun dalam hubungan satu sama lain tidak mengkhawatirkan, namun perlu dikembangkan pendekatan yang lebih mengena terhadap masalah agama dan keberagamaan, pendekatan yang lebih manusiawi. Bahkan kedua masalah ini merupakan hal yang sangat asasi untuk menumbuhkan kerukunan di antara umat berbagai agama.
Pertama masalah agama. Apa yang dimaksud dengan agama, tidak akan ada kesepakatan. Pengertian tentang agama berbeda-beda tergantung pada masing-masing orang.
Agama, terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah, dan karena itu apa uang diyakini sebagai agama mempunyai nilai mutlak. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dalam perkara agama orang mudah memutlakkan pendirian dan keyakinnya sebagai satu-satunya kebenaran. Padahal yang mengatakan sesuatu itu sebagai agama, bersifat ilahiyah dan mutlak adalah manusia sendiri.
Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seseorang penganut agama mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya adalah agamanya sendiri, bukan itu saja aliran yang dianutnya sendiri, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena itu pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan apriori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.
Kedua masalah keberagamaan. keberagamaan, pada hakikatnya seperti dikatakan di atas; adalah penerimaan dan penganutan sesuatu ajaran yang diyakini sebagai satu-satunya agama yang benar dan menyelamatkan. Dengan demikian dalam penerimaan dan penganutan sesuatu agama tertentu tersirat pula penolakan terhadap agama-agama lain yang dianggap sebagai tidak benar dan tidak akan menyelematkan.
Keyakinan terhadap sesuatu agama sebagai satu-satunya agama yang benar dan menyelamatkan mau tidak mau mendorong penganutnya untuk mengajak orang lain agar juga menerima dan menganut agamanya tersebut. Oleh karena itu kegiatan para pemeluknya sesuatu agama untuk menyebarkan dan menyiarkan agama yang mereka anut, bukan saja didorong oleh perintah agama terutama agama-agama yang secara tegas-tegas memerintahkan para penganutnya untuk menyebarkan dan menyiarkan agama seperti agama Islam dan Kristen. Melainkan juga didorong oleh niat luhur, ingin membuat orang lain menerima kebenaran dan keselamatan yang membahagiakan, terutama dalam kehidupan nanti setelah kematian. Dan atas dasar itu pulalah mengapa para penganut sesuatu agama berusaha agar orang yang seagama dengan mereka tidak pindah atau beralih ke agama lain yang dianggap sebagai perbuatan dosa yang tak terampuni. Dengan demikian masalah keberagamaan tidak bisa dilepaskan dengan, masalah penyebaran agama dan masalah pemeliharaan penganut agama. Kedua hal inilah yang seringkali menimbulkan ketegangan hubungan antar penganut berbagai agama.
Satu hal yang dilupakan dalam mendekati masalah keberagamaan adalah proses keberagamaan itu sendiri. Sebagian besar orang menganut sesuatu agama tidak atas dasar pilihan bebas dan pertimbangan rasional. Keberagaman seseorang lebih banyak merupakan produk lingkungan. Kalau seseorang dilahirkan dalam keluarga Islam di lingkungan masyarakat Islam, sudah hampir bisa dipastikan ia menjadi muslim. Akan tetapi bila ia dilahirkan dari keluarga Kristen, Katolik, Hindu atau Budha misalnya, dan kemudian dia hidup dalam lingkungan agama-agama tersebut, maka tentulah dia menjadi seorang Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Dalam hubungan ini, kalau penganut agama masing-masing menyadari bahwa keberagamannya, pada hakekatnya, adalah bukan karena pilihan bebasnya sendiri melainkan karena pengaruh lingkungan,
Pengembangan pengertian terhadap agama dan keberagaman yang seperti ini diharapkan akan bisa menumbuhkan sikap liberal dan moderat dalam pola berfikir dan sikap umat beragama.
Teologi Kerukunan
Dengan pendekatan menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan, katakanlah semacam Teologi Kerukunan. Istilah ini pasti mengandung dan mengundang kritik, namun apa yang dimaksudkan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat monopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keberagaman seseorang, pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh, lingkungan.
Pertanyaan yang segera timbul barangkali adalah apakah pandangan keagamaan seperti itu tidak akan mengurangi makna keberagaman itu sendiri? Memang kalau keberagaman diartikan seperti dikatakan di atas, yakni penerimaan dan penganutan suatu agama sebagai satu-satunya keyakinan yang benar dan menyelamatkan, pandangan keagamaan seperti di atas terasa tidak serasi. Sebab keberagaman seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis. Oleh karena itu pandangan keagamaan di atas, mau tidak mau akan melahirkan pengertian dan penghayatan keberagaman yang lain.
Kalau seorang muslim membaca ayat al-Fatihah ihdinash shirathal mustaqim 17 kali paling kurang setiap hari dalam sembahyangnya, mengapa ia harus menganggap keyakinannya sebagai satu-satunya kebenaran? Kalau agama bisa dianggap sebagai jalan keselamatan tidakkah keberagaman itu pada hakikatnya suatu proses pencaharian yang terus menerus? Dan kalau begitu maka dialog merupakan hal yang esensial untuk merangsang keberagaman kita agar tidak mandeg dan statis. Dan dialog itu dengan sendirinya bisa dilakukan dalam bentuk dialog dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain.
Tapi soalnya sekarang adalah dialog yang bagaimana yang memungkinkan lahirnya semacam Teologi Kerukunan itu? Tentu saja tidak asal dialog. Untuk itu diperlukan kedewasaan dan keterbukaan. Nampaknya dialog-dialog yang dilakukan selama ini masih jauh dari itu. Kita belum berani mendiskusikan soal-soal teologi. Hal itu masih tabu bagi kita. Dan memang bukan itu tujuan dialog selama ini.
Lepas dari persoalan di atas, perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita menghendaki pandangan keagamaan yang moderat dan liberal. Tanpa pandangan keagamaan semacam itu sukar bagi agama untuk merangkum dan meragikan berbagai kemajemukan masyarakat kita. Dalam hal ini, mungkin dialog-dialog yang dilakukan selama ini, walaupun tidak begitu besar, ada juga gunanya. Asal saja para peserta dialog itu mau membuka telinga hatinya.[]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment