Sunday 23 August 2009

Iman dan Kemajemukan Masyarakat: Antar Umat

Oleh Djohan Effendi


Kemajemukan adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari. Kita hidup di dalam kemajemukan dan merupan bagian dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan kita. Juga dalam hal kepercayaan. Kita menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Tidak hanya itu. Kitapun menghadapi – kalau tidak di negeri kita tentu di negeri lain, orang-orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Menghadapi kemajemukan seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap pluralisme. Kita harus belajar toleran terhadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup diatas dasar dan dalam semangat pluralisme. Persoalannya adalah? Bagaimana dalm perpektistif iman kita nilai – nilai pluralisme itu kita hayati.


Islam dan Pluralitas Agama dan Kepercayaan 

 Dengan kata-kata yang jelas Islam tegas-tegas memberikan pembebasan sepenuhnya kepada manusia dalm masal agama dan keberagamaan. La ikra ha fi l- din, ”tak ada paksaan dalam agama”, Tandas al-Qur’an (Q.,II al-Baqarah: 256). Bahkan lebih dari itu, Tuhan pun mempersilahkan siapa saja yang mau bersikap kufur terhadap-nya.
 
Al-Haqqu min Rabbikum
Fa man syaa fa I-yu’min
Fa man syaa fa I-yukfur

Kebebasan dari tuhan mu
Siapa yang ingin silahkan beriman
Siapa yang ingin silahkan kufur
(Q. XVII, al-Kahfi:29)

 Sesuai dengan misi yang diembannya tentulah wajar sekali bila Nabi Muhamad s.a.w. mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawanya. Beliau ingin agar setiap orang bersedia menerima agama islam sebagai anutan mereka.maka itu Tuhan mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksa orang memeluk agama islam.
   
Wa law sya-a Rabbuka La-amana
Man fi l-ardhi kulluhum jami’a
A fa anta tukribu l–nasa
Hatta yakunu mu minin?



Kalau saja tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada dibumi tanpa kecuali Apakah lalu engkau akan memaksa manusia agar mereka beriman? (Q., X, Yunus:99)

Terhadap agama yang ada Islam sama sekali tidak menafikannya begitu saja. Islam mengakui eksitensinya dan tidak menolak nilai-nilai yang terdapat yang señalan dengan niali-nilai yang diajarkan Islam.
  
Inna ‘ llazina amanu wa ‘l- ladzina hadu wa ‘ l- nashara wa’l- shabiina man amana bil ‘llahi wa ‘l-yawmila ‘l-akhir wa ‘ amila shaliha fa lahum ‘inda Robbihim wa la khawfun ‘alyhim wa la hum yahzanun 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang sabiin siapapun yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk mereka ganjaran di sisi tuhan mereka tiada ketakutan akan menimpa mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Q. II, al-Baqarah: 62)

Sikap menghormati kepercayaan orang lain sebagaimana diajarkan al-Qur’an begitu luas sehiungga larangan untuk mencerca berhala yang menjadi sembahan orang lain. Sembari menentang keras segala kemusyrikan. Islam menekankan agar kita tetap menjaga perasaan orang-orang musyrik.
 
Wa la tasubbu lladzina yad’una min duni llah fa yasubbu ‘ llaha ‘adwan bi ghayri ‘ilmi 

Janganlah engkau cerca sesembahan yang mereka seru selain Allah nanti mereka cerca Allah penuh permusuhan tanpa dasar pengetahuan (Q. VI, al- An’am: 109)

Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting sebuah masyarakat majemuk akan tetapi bagi kita sebagai muslim, merupakan ajaran agama. Karena itu memulai kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh al-Qur’an sendiri.
  

Wa law la daf’u ‘llahi l- nasi ba’ dhuhum bi ba’dhin lahudimat shawami ‘u wa biya’ un wa shalawatun wa masajidun yudzkaru fiha smu ‘llahi katsira

Sekiranya tidak ada pembelaan Allah atas manusia satu golongan terhadap golongan yang lain pasti hancurlah biara-biara dan gereja-gereja sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang didalamnya disebut nama tuhan yang banyak sekali. (Q. XXII, al-Hajj: 40)

Kesatuan Nubwwah
  
Salah satu konsep yang ada gayutannya dengan masalah pluralitas agama dan kepercayaan tersebut adalah konsep tentang wihdatu ‘l-nubuwwah kesatuan kenabian. Iman kepada para Nabi dan rasul adalah bagian aqidah Islam. Dalam kerangka iman kepada para Nabi dan rasul itu al-Qur’an mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan mereka satu sama lain.

Qulu: Amanna bi llahi wa ma unzila ila Ibrahima wa Ismai’ ila wa Ishaqa wa ya‘quba wa ‘l-asbathi wa ma utiya musa wa ‘Isa wa ma utiya ‘l-Nabiyyuna min Rabbihim la nufarriqu bayna ahadin minhum wa nahnu lahu muslimun.
   
Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishak dan Ya‘kub dan keturunan (mereka) dan apa yang dianugrahkan kepada Musa dan Isa dan apa yang dianugrahkan kepada para nabi dari tuhan mereka, kami tidak membeda-bedakan di antara mereka dan kepada-Nya berserah diri (Q. II. al- Baqarah : 136)

  Dalam kata-kata nabi Muhamad s.a.w para nabi digambarkan bersaudara. Mereka bersaudara bukan berasal dari keturunan yang sama melainkan membawa risalah yang sama, agama perdamaian yang berlandaskan pada kepasrahan kepada tuhan. Al-Anbiya-u ikhwatun ya’allatin wa ummahatuhum wa dinuhum wahid. ”Para nabi itu bersaudara , ibu-ibu mereka berlainan namur agama mereka satu “(al- Hadits) Sabda nabi ini mungkin bisa kita pahami sebagai penjelasan terhadap pernyataan al-Qur’an.

Syara’a lakum mina ‘l-dini uma ‘wassha bihi Unan wa ‘lladzi awhayna ilayka wa ma washshayna bihi ibrahima wa Musa wa Isa an a qimu ‘l-dina wa la tatafaraqu fih 

Ia jelaskan kepada kalian agama yang ia perintahkan Nuh dan yang kami perintahkan kepada Ibrahim dan Musa dan Isa agar menegakkan agama dan jangan lah bersekta-sekta (Q., XLII., al-Syura: 13)

Walau Islam tidak mengajarkan bahwa semua agama itu sama namun ia mengakui titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi.

Qul ya ahla ‘ l-kitab Ta’alau ila kalimatin sawa baynama an na‘buda ila llah wa la nusyriku bihi syai-a wa la yattakhidzu ba’dhuna ba’dhan arbaban min duni ‘llah

Katakanlah hai muhamad hai ahli kitab marilah berpegang pada prinsip yang sama antara kami dan kalian bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah bahwa kita tidak menyekutukan Allah sedikitpun bahwa tidak akan bersikap di antara sesama kita seakan-akan tuhan-tuhan selain Allah (Q. III., Ali Imran:63)

Ka’bah Lambang Kesatuan Nubuwwah
 
 Ada baiknya bila kita mencoba melihat dan memahami posisi ka’bah dalam kerangka konsep kesatuan nubuwwah. Ka’bah atau baitullah yang menjadi kiblat kita dalam sembahyang dan pusat dikitari jemaah hají dalam thawaf sering kali menjadi sasaran kritik menghadapi pertanyaan kritis semacam itu.
 
Ka’bah sebenarnya melambangkan ide kesatuan nubuwwah. Ia melambangkan himpunan para nabi yang diutus dari zaman ke zaman di berbagai tempat di muka bumi ini yang mencapai puncaknya dalam kedatangan Nabi Muhamad s.a.w. perlambang ini dapat kita tarik dari sabda nabi:
 
Inna matsali ‘l-anbiyai min qabli kamatsali rajul bana bunyanan. Faahsanahu wa ajmalahu illa wwdhi’a labnatin zawiyatin minzawiyahu. Fa ja’ala ‘l-nasu yathufuna wa yata’aj buna hala wadha’ta hadzihi ‘l-labnah. Fa ana tilka ‘ l-labnah ana khatamu ‘l-Nabiyyin. 

Sesungguhnya perumpamaan dengan para Nabi sebelumku adalah ibarat seorang laki-laki yang membangun gedung. Ia bangun gedung itu dengan baik dan indah kecuali kurang sebuah batu bata di salah pojok gedung itu. Lalu orang –orang berkeliling mengitari sambil mengaguminya berkata: ‘kenapa kau tinggalkan batu bata lagi;. Akulah batu bata itu, akulah penutup segala Nabi. (Al-Hadits).

Batu bata terakhir yang mengisi kekosongan di pojok bangunan yang indah itu adalah fungsi Nabi Muhamad s.a.w. khatamu ‘ l-nabiyyin. Itulah yang dilambangkan oleh Hajaru ‘l-Aswad. Karena itu perbuatan mencium Hajaru l-Aswad ketika melaksanakan tawaf adalah perlambang komitmen kita kepada agama yang dibawa oleh nabi. Tidak jelas apakah Umar ibnu l-Khaththab menghayati makna pelambang itu namun kata-kata yang terlontar dari mulut beliau ketika akan mencium Hajaru ‘l-Aswad memperlihatkan komitmen itu.kata beliau: “Hai batu hitam, sebenarnya kau sama saja nilainya dengan batu-batu lain yang berserakan di jalan. Aku tak akan mencium kau kalau saja ku tak melihat nabi mencium kau”.

Sikap Nabi Terhadap Umat Lain

Man adza dzimmiyan faqod adzani, barang siapa yang mengganggu kaum dzimmi (minoritas non muslim) maka ia telah mengganggu aku, kata Nabi. Ucapan ini memperlihatkan betapa besar tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan muslim yang hidup bak ........ kekuasan kaum muslimin. Hal ini telihat semenjak Nabi mulai membangun masyarakat di Madinah setelah hijrah. Penting untuk dicatat bahwa sejak semula kelihatan sekali bahwa Nabi tidak bermaksud membangun sebuah masyarakat muslim yang ekslusif. Piagam Madinah yang menjadi landasan pembangunan masyarakat baru di Madinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan umat-umat lain. Piagam Madinah menggambarkan semangat hidup berdampingan secara rukun yang diikat oleh kesediaan untuk bekerja sama dan saling membela. Tersingkirnya orang-orang Yahudi dari Madinah terutama karena pengkhianatan mereka sendiri terhadap piagam Madinah.
 
Salah satu peristiwa lain yang sangat penting untuk kita adalah Nabi Muhamad s.a.w terhadap delegasi kristen Najran. Suatu ketika Nabi kedatangan serombongan delegasi yang berjumlah sekitar 60 orang.mereka menganut agama katolik. Pimpinan rombongan itu adalah Abdu ‘l-masih, al-Ayham dan Abu Harissa bin ‘l-qama. Yang terakhir ini adalah seorang uskup tokoh agama mereka. Mereka tinggal beberapa hari di Madinah, ditampung di mesjid Nabawi dan rumah-rumah sahabat Nabi. Selama beberapa hari itu terjadilah dialog antar agama antara Nabi dengan mereka.
 
Suatu ketika pimpinan delegasi itu mohon pamit kepada Nabi untuk meninggalkan masjid nabawi beberapa saat. Ketika Nabi menanyakan apa keperluan mereka sehingga harus pergi meninggalkan masjid, mereka menjawab bahwa mereka ingin melakukan kebaktian. Nabi melarang mereka pergi dari masjid, dan mempersilahkan mereka melakukan kebaktian di mesjid Nabawi.

Refleksi
 
Sikap Nabi seperti tergambar di atas kalau kita tarik ke dalam konteks kehidupan sekarang mungkin menimbulkan dilema antara komitmen kepada nalai-nilai luhur Islam sebagaimana diteladankan oleh Nabi dengan kepentingan politik yang lebih ditentukan oleh tuntutan kondisional. ……….. Hirarki dari sistem nilai yang kita anut sebagai muslim sering kali tidak jelas sehingga akibatnya komitmen kita tidak jarang lebih kepada kepentingan yang temporal daripada nilai yang eternal, tidak mengherankan apabila kita lebih memperlihatkan kegarangan daripada keramahan. Bukankah kemukminan kita secara pribadi maupun kolektif mestinya mendatangkan rasa aman kepada orang dan umat lain.[]
 

No comments:

Post a Comment