Sunday 23 August 2009

Membangun Kebersamaan Demi Masa Depan Bersama

oleh: Djohan Effendi

Konon ada seorang rohaniwan tinggal berseberangan rumah dengan seorang pekerja seks. Setiap membuka jendela sang rohaniwan itu melihat si perempuan itu dan terlintas dalam benaknya bahwa si perempuan itu sedang melakukan maksiat yang terlaknat. Terbayang dalam angan-angannya bahwa perempuan itu sedang bergelut dalam permainan cinta dengan seorang lelaki hidung belang. Sebaliknya, si perempuan pekerja seks itu, setiap kali dia menatap rumah sang rohaniwan itu, muncul rasa penyesalan dalam dirinya dan muncul keinginannya untuk kembali ke jalan yang benar, menghindari perbuatan maksiat dan taat melaksanakan ibadat sebagaimana dilakukan sang rohaniwan tersebut. Syahdan, ketika keduanya berada di seberang makam yang sama terjadilah peristiwa yang mencengangkan yang tidak bisa dimengerti oleh sang rohaniwan tersebut. Dia dijebloskan ke dalam neraka sedangkan si pekerja seks itu justru dimasukkan ke dalam surga. Dengan nada protes ia bertanya kepada malaikat, mengapa dijebloskan ia ke dalam neraka tempat orang-orang jahat seperti si perempuan pekerja seks itu dan sebaliknya si pelacur yang berlumuran dengan kemaksiatan itu malah dimasukkan ke dalam surga, tempat orang-orang baik yang taat melaksanakan ibadat kepada Tuhan dan menjauhi perbuatan maksiat seperti dia jalani sepanjang hidupnya. ”Mesti ada kekeliruan” ujarnya, ”mengapa aku yang setia mengikuti perintah Tuhan masuk neraka sedangkan dia yang setiap hari berbuat melanggar larangan-Nya justru masuk surga. Coba lihat-lihat lagi catatan perilaku kami berdua.” Setelah sang malaikat membuka catatan kedua orang itu dia memberi tahu sang rohaniawan. ”Memang benar kau adalah seorang yang sangat taat beribadat tapi rupanya ibadatmu itu kalah dengan dosamu. Hatimu penuh prasangka buruk terhadap tetangga di seberang rumahmu. Sebaliknya tetanggamu itu, setiap kali melihat rumahmu dia menyesali perbuatan maksiatnya dan muncul keinginannya untuk bertobat dan berhenti dari melakukan perbuatan maksiat itu. Rasa penyesalannya itu telah menghapuskan dosanya.”


 Cerita imajinatif seorang Sufi itu sungguh mengandung ”wisdom” yang patut kita renungkan bersama lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat kita saat ini ketika potensi konflik horizontal makin mudah tersulut dan muncul ke permukaan dan merobek-robek kebersamaan kita. Kita menyaksikan dan memprihatinkan bersama merebaknya budaya kekerasan bahkan kebengisan yang membuat kita seolah-olah hidup dalam ”neraka”. Api kebencian telah membakar tali-tali pengikat kebersamaan kita. Keadaan ini agaknya bermula dari prasangka buruk yang dibiarkan makin merebak dan akhirnya mengalahkan akal sehat kita. Masing-masing kita merasa terancam oleh mereka yang bukan ”orang kita”. Perasaan saling terancam itu sangat memperparah hubungan sosial warga masyarakat kita. Kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan obyektif. Desas desus lebih berperan dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat kita daripada fakta sejatinya. Konsep tentang ”orang kita” dan ”orang mereka” makin mengental dan mempengaruhi sikap kita dalam pergaulan masyarakat. Terbentuklah dalam pikiran bahkan pergaulan masyaarkat kita garis demarkasi antara ”kita” dan ”mereka”. Karena itu siapa yang berbaik-baik dengan ”mereka” adalah musuh ”kita”. Lebih parah lagi, kadar keberagamaan kitapun diukur sepadan dengan kadar kebencian kita terhadap orang lain.


 Situasi kebatinan seperti ini mendorong munculnya sikap anti pluralisme. Sikap anti pluralisme ini dengan baik dilukiskan oleh seorang Sufi dalam kisah imajinatif yang lain. Suatu ketika di malam hari, katanya, Nabi Musa berjalan-jalan. Tiba-tiba ia mendengar suara lamat-lamat dari sebuah rumah. Ia pasang telinganya dan terdengarlah suara munajat dari penghuni rumah itu. ”Tuhan, aku sangat merindukan-Mu. Berilah aku, Tuhan, kesempatan untuk melayani-Mu. Aku ingin mencuci terompah-Mu yang kotor, menjahit baju-Mu yang robek dan menyisir rambut-Mu yang kusai”. Tentu saja nabi Musa kaget mendengar doa seperti itu dan serta merta diapun masuk ke dalam rumah menemui orang itu. Dengan nada marah dia menghardik orang itu. ”Mengapa kau berdoa seperti itu. Kau sangat merendahkan Tuhan yang Maha Agung.”

Mendengar teguran Nabi Musa orang itu menjadi ketakutan. Dia berlari sambil merobek-robek bajunya menyesali dirinya. Tiba-tiba muncul suara, ”hai Musa mengapa kau marahi hamba-Ku yang bermunajat kepada-Ku.” Musa menjawab: ”Bukankah dia telah menghina-Mu?” Muncul lagi suara itu: ”Kau tidak boleh berbuat seperti itu, memaksakan pendapatmu. Biarkanlah hamba-Ku itu bermunajat kepada-Ku dengan caranya sesuai dengan tingkat daya nalarnya.”

 Seorang anti pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya. Dia tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda apalagi bertentangan dengannya. Kalau seorang anti-pluralis memegang kekuasaan dia akan memaksakan pikiran dan pendiriannya kepada orang lain. Dia tidak akan membiarkan pikiran dan pendiriannya yang tidak sama dengan pikiran, dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah pikiran dan pendiriannya. Yang lain tidak. Maka dengan bersikap memonopoli kebenaran seorang yang anti pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan dengan gampang menghakimi iman orang lain. Sebagai seorang penganut suatu agama tertentu seorang anti pluralis sukar dibayangkan untuk bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, dan sebagai seorang yang bertuhan dia tidak mungkin siap berkawan akrab dengan seorang atheis.


  Padahal pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup yang tak mungkin kita nafikan. Ia, bahkan, merupakan salah satu tanda kemahabesaran Tuhan. Kita harus menerimanya dengan sikap positif. Kita harus mensyukuri pluralitas itu dengan mengembangkan pluralisme sebagai pola pikir dan jalan hidup kita. Mau tidak mau kita harus berusaha secara aktif dan positif membangun kehidupan bersama yang memberi tempat bagi kita semua yang berbeda-beda satu sama lain. Dalam perspektif inilah mengapa kita mengangan-angankan tumbuhnya sikap saling menerima eksistensi orang lain dengan segala keunikannya, saling menghormati keyakinan masing-masing dan saling membela hak hidup bersama. Cita-cita inilah yang melatarbelakangi kehadiran berbagai organisasi ”interfaith” di mana-mana di berbagai negeri sejak satu-dua dasawarsa yang lalu. Juga di negeri kita dimana kita yang berkumpul di sini merupakan orang-orang yang mendukung cita-cita itu dalam terlibat dalam usaha mewujudkannya.


 Pengembangan pola pikir dan jalan hidup yang menerima pluralisme secara tulus, saya rasa, mestinya bertolak dari kesadaran bahwa kesadaran bahwa keberadaan kita di bumi ini pada dasarnya bukan pilihan kita. Kita ini adalah anak zaman dan lingkungan kita. Kita tidak pernah memilih siapa orang tua kita yang melalui mereka kita lahir ke dunia dan dalam lingkungan masyarakat yang bagaimana kita dibesarkan. Semua itu secara alami dan kultural sangat mempengaruhi agama apa yang kita anut. Oleh karena itu keberagamaan kita pada umumnya berdasarkan kelahiran bukan pilihan. Karena saya lahir dari kedua orang tua saya yang beragama Islam dan mereka membesarkan dan mendidik saya dalam lingkungan masyarakat Muslim, maka jadilah saya seorang muslim. Andaikan saya lahir dari orang tua yang beragama Buddha atau Hindu atau Katolik atau Kristen atau Kong Hucu atau bahkan atheis, kemungkinan besar saya mengikuti agama atau keyakinan orang tua saya tersebut sebagaimana sekarang.


 Dengan mengatakan hal di atas bukanlah maksud saya untuk mengajak kita menjadi seorang relativis atau agnostik akan tetapi hanya ingin mengatakan bahwa kita perlu bersikap positif terhadap perbedaan di antara kita, bahwa kita secara tulus harus menerima dan sekaligus menghormati keberadaan kita masing-masing dengan segala keunikannya. Dunia kita sekarang ini tidak memungkinkan kita mengisolasi diri dalam kotak-kotak yang eksklusifistik. Kita tidak bisa lepas dari relasi-relasi sosial dengan segala bentuknya dalam kehidupan kemasyarakatan kita. Apa yang perlu kita kembangkan bersama adalah bagaimana membangun relasi-relasi sosial tidak dalam bentuk hubungan antara ”kita” dan ”mereka” melainkan hubunagn antar sesama sebagai makhluk Tuhan Yang Esa yang menghuni bumi yang satu di bawah kolong langit yang sama. Inilah, saya rasa, yang kita usahakan bersama melalui berbagai organisasi ”antar iman.”[]

No comments:

Post a Comment