Sunday 23 August 2009

Prawacana Buku Agama dan HAM Litbang Depag

PRAWACARA
oleh: Djohan Effendi

Kata Pengantar buku Agama dan HAM Litbang Depag

Ide tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sudah merupakan “universal wisdom” atau kearifan universal yang diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah lembaga dunia yang menghimpun seluruh negara-negara merdeka jauh sebelum munculnya fenomena kebangkitan agama-agama. Ada sejumlah negara-negara yang masih mennyimpan rasa keberatan untuk menerima subtansi HAM secara penuh dan utuh. Agaknya termasuk sebagian masyarakat indonesia. Karena itu walaupun pemerintah Republik Indonesia telah menerima Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia namun kebebasan beragama masih belum bisa dinikmati sepenuhnya oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama kalangan minoritas atau mereka yang menganut paham yang dianggap sesat oleh kalangan arus besar mayoritas. Masih ada pihak yang lain masih ada ganjalan, terutama bagi kalangan umat Islam, untuk menerima keseluruhan dan seutuhan isi Demokrasi Universal tersebut. Sebab kebebasan beragama dalam arti yang penuh dan utuh mencakup kebebasan memilih agama, kebebasan pindah agama, kebebasan mengikuti sekte atau aliran agama dan bahkan kebebasan perspektif HAM adalah kebebasan yang penuh dan utuh. Sebab kebebasan yang disertai persyaratan bukan lagi kebebasan. Satu-satunya persyaratan yang bisa diterima adalah bahwa kebebasan itu tidak boleh melanggar kebebasan orang lain.

Salah satu alasan mereka yang keberatan dengan kebebasan beragama yang penuh dan utuh itu adalah bahwa kebebasan beragama di Indonesia berdasarkan sila keutuhan yang maha Esa. Lalu apa makna konstitusi bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tidak jelas relevansi pemikiran ini. Apakah karena Republik Indonesia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa maka warga negara tidak memiliki kebebasan untuk memilih agama yang diyakininya, menganut sekte atau paham keagamaan yang dipercayainya? Dengan demikian negara mempunyai wewenang untuk mengatur keyakinan warga negara. Dari mana negara memperoleh wewenang itu? Kalu Tuhan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah intitusi yang bernama negara,yang dalam praktek direpresentasikan oleh pejabat-pejabat negara, baik Eksekutif, legislatif maupun yudikatif, mempunyai wewenang melebihi tuhan sendiri untuk mengurangi kebebasan yang dia anugrahkan kepada manusia? Bukankah kebebasan itu melekat pada keberadaan manusia sejak ia lahir hingga meninggal dunia? Justru sebaliknya dari pemikiran di atas, karena negara kita berdasarkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa maka negara berkewajiban menjamin kebebasan yang dia anugrahkan kepada manusia yang ada dalam wilayah RI untuk menentukan keyakinan hidupnya, baik agama, kepercayaan atau apapun namanya. Negara tidak berwenang untuk menentukan mana agama yang boleh dianut dan mana agama yang tidak boleh dianut, mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang sesat. Ini sepenuhnya merupakan pilihan hati nurani tiap orang dan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing orang yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun dan oleh institusi apapun. Hanya dengan kebebasan beragama yang penuh dan utuh keberagamaan yang tulus akan bisa dihayati dan mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Segala bentuk pemaksaan, kentara maupun terselubung, hanya akan melahirkan kemunafikan dan kepura-puraan.

Dengan menekankan bahwa karena RI berdasarkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa maka tersirat suatu pemikiran bahwa agama atau paham yang tidak berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak memperoleh tempat di negeri ini. Pemikiran ini jelas tidak dianut oleh para pendiri Republik indonesia.Agenda kementrian Agama tahun 1951-1952 memuat tulisan H. Agus Salim, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, dengan judul Kementerian Agama dalam Republik Indonesia. Beliau menulis:

“Dalam karangan ini kita hendak mewujudkan minat kepada kemerdekaan agama itu. Bagaimana kemerdekaan itu harus dipahamkan dalam negara kita, yang didasarkan kepada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapatkah dengan asas negara kita itu kita mengakui keyakinan orang yang meniadakan tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi? Tentu dan pasti! Sebab Undang-undang dasar kita, sebagaimana juga Undang–undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan agama, sekedar dengan batas yang tersebut tadi itu, yaitu asal jangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, jangn melanggar adab kesopanan adab ramai, tertib keamanan dan damai.”

Alasan lain adalah bahwa ide tentang HAM agaknya bernuansa Barat yang lebih menonjolkan aspek kebebasan padahal untuk masyarakat Timur, dan dengan sendirinya juga bangsa dan masyarakat Indonesia, lebih mendahulukan kewajiban. Pemikiran yang mempertentangkan antara pihak yang mengedepankan hak dan pihak yang lebih mengedepankan kewajiban tampaknya logis akan tetapi kalau didalami ide ini terasa mengada-ada. Hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua sisi dari satu mata uang. Ketika diperjuangkan hak kebebasan memeluk agama yang kita yakini maka pada saat yang sama kita dituntut untuk memenuhi kewajiban untuk menghormati bahkan membela kebebasan orang lain untuk memeluk agama yang mereka yakini. Hak lahir sebagai imbalan kewajiban dan sebaliknya kewajiban muncul sebagai imbalan hak. Karena itu kita membuka pintu untuk menerima bahkan mengelok-elokan kehadiran orang lain sebagai warga baru dalam komunitas agama kita maka kitapun tidak bisa menghalangi apa lagi menghukum warga komunitas kita yang pergi dan bergabung ke komunitas agama lain.

Untuk melengkapi ide yang terkandung dalam HAM kita juga perlu menghayati semangat tenggang rasa yang diajarkan oleh boleh dikatakan semua agama. Prinsip yang dikenal sebagai “Golden Rule” atau “Undang-undang Emas” ini satu dalam satu–dua dasawarsa terakhir abad ini diangkat kembali ketika para pemuka agama mendiskusikan tentang “Global Ethics” atau Etika Global. Esensi prinsip itu ditekankan oleh berbagai agama dalam berbagai ungkapan akan tetapi esensinya sama. Yakni, janganlah kita melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang kita tidak ingin orang lain melakukannya pada kita. Untuk lebih jelas saya kutip ungkapan dari berbagai agama yang diterima Undang-undang Emas tersebut sebagai Berikut:

Baha’i: Jangan anggap siapapun yang kalian tidak ingin anggapan itu ditujukan kepada kalian sendiri. Diberkahilah orang yang menyukai saudaranya lebih dari dirinya sendiri. (Baha’ullah)

Buddha: Jangan sakiti orang lain dengan cara apapun yang kamu sendiri merasakan rasa sakit. (Undana- Verga 5:18)

Hindu: Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang menyebabkan rasa sakit kalau hal itu dilakukan padamu.(Mahabhrata 5:1517)

Islam: Tidaklah beriman salah salah seorang kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagai mana dia mencintai dirinya sendiri. (Al- Hadits)

Jain: Dalam bahagia dan sengsara, dalam suka dan duka, kita harus menghargai semua mahluk sebagaimana kita menghargai diri kita sendiri. (Lord Mahavira, Tirthantara ke-16)

Kong Hucu: Jangan lakukan terhadap orang lain yang kamu sendiri tidak ingin orang lain melakukannya kepadamu.(Analects 15:23)

Kristen: Segala sesuatu yang kamu ingin orang lakukan kepadamu demikian juga harus kamu lakukan kepada mereka (Mitius 7:12)

Shinto: Hati seseorang di hadapanmu adalah bagaikan sebuah cermin. Pandanglah perwujudanmu sendiri di situ. (Ko-jiki Hachimin Kasuga)

Sikh: Tak seorangpun musuhku, tak ada orang asing, setiap orang sahabatku .(Guru Arjan Dev.:AG 1299)

Tao: Anggaplah keuntungan tetanggamu sebagai keuntunganmu sendiri, dan kerugian tetanggamu adalah kerugianmu sendiri. (Tai Shang Kan Ying P’ien)

Yahudi: Apapun yang menyakitkanmu jangan lakukan terhadap orang lain.(Talmud, Shabbat 31a)

Zarasustra: Apapun yang tidak enak untuk dirimu jangan lakukan pada orang lain (Shayast-na-Shayat 13:29)

Kalau saja penganut agama menghayati norma dan nilai yang terkandung dalam Undang-undang Emas ini maka Pewujudan Ide HAM secara penuh dan utuh tidak akan menyebabkan keretakan sosial di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan. Keretakan sosial ini kegiatan penyebaran agama. Maka yang kuat secara materi dan rapi secara organisasi dengan sendirinya lebih mendominasi. Sedangkan di pihak lain, di kalangan mereka yang lebih lemah secara materi dan lebih tidak terorganisasi cenderumg merasa terpojok dan bisa dipahami kalau mereka bersifat reaktif dan mempertahankan diri. Dalam situasi seperti ini tidak mengherankan apabila hubungan antar umat berbagai agama ditandai oleh suasana saling curiga yang makin terasa. Bagi mereka yang merasa lebih lemah, baik dari segi materi maupun organisai, ide tentang Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan ancaman bagi mereka. Dari perspektif ini maka ide tentang Undang-undang Emas mengingatkan kepada mereka yang kuat secara materi dan organisasi untuk menahan diri agar mereka menenggang perasaan mereka yang lebih lemah dan merasa terancam. Memang semestinya HAM dan Undang-undang Emas disosialisaikan secara bersama.

No comments:

Post a Comment