Sunday 23 August 2009

Kebebasan Berkeyakinan dalam Konteks Masa Depan Kebangsaan Indonesia

oleh: Djohan Effendi


Lima puluh enam tahun yang lalu, dalam Agenda Kementerian Agama 1951-1952 dapat kita baca tulisan salah seorang pendiri negara kita, H. Agus Salim (1884-1954) yang berjudul Kementerian Agama dalam Republik Indonesia. Tulisan itu menyinggung masalah yang sangat berkecocokan dengan tema konferensi kita hari ini: Kebebasan Berkeyakinan dalam konteks Masa Depan Kebangsaan Indonesia. Tulis beliau:

 “Dalam karangan ini kita hendak menudjukan minat kepada kemerdekaan agama itu. Bagaimana kemerdekaan itu harus dipahamkan dalam negara kita, yang didasarkan kepada kepertjajaan kepada Ketuhanan Jang Maha Esa. Dapatkah dengan asas negara kita itu kita mengakui kejakinan orang jang meniadaan Tuhan? Atau kejakinan agama jang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi? Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagaimana djuga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunjai adab dan kesopanan mengakui dan mendjamin kemerdekaan kejakinan agama, sekedar dengan batas jang tersebut tadi itu, jaitu asal djangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, djangan melanggar` adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.”  

 Kutipan tulisan Agus Salim di atas, saya rasa, mencerminkan pandangan para pendiri negara kita tentang cakupan kebebasan berkeyakinan yang seharus dijamin dalam kehidupan kebangsaan kita dan karena itu seyogyanya bisa dinikmati oleh setiap dan semua warga negara dan warga bangsa, bahkan siapapun yang mengunjungi apalagi menetap di negeri kita. Ia tidak terbatas hanya dalam lingkup kebebasan memeluk agama tapi lebih luas dari itu, mencakup kebebasan berkeyakinan secara penuh dan utuh, termasuk, yang menurut tulisan Agus Salim, kebebasan keyakinan orang meniadakan Tuhan atau yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi, atau kebebasan mereka yang menyatakan dirinya menganut paham atheisme atau masih menganut kepercayaan polytheisme.  
 
 Di sini kita memang berbicara tentang kebebasan berkeyakinan, bukan sekedar kebebasan beragama dalam arti terbatas. Apa yang kita maksud dengan keyakinan di sini, saya rasa, adalah persepsi dan interpretasi kita berkenaan dengan sistem kepercayaan tentang kehidupan ini, berkenaan dengan kehadiran kita dalam alam semesta ini, berkenaan dengan orientasi terhadap diri kita sendiri dan terhadap orang lain, suatu respon total terhadap keberadaan kita yang memberikan cara pandang terhadap dunia dan bagaimana hidup di dalamnya, yang melengkapi kita kemampuan untuk melihat, merasa dan berbuat dalam perspektif yang melampaui dimensi kekinian dan kedisinian. Karena dalam ungkapan keyakinan tercakup pandangan dan jalan hidup, baik agama maupun bukan agama. Dengan demikian sistem keyakinan adalah sangat fundamental bagi pengungkapan nilai-nilai personal setiap orang. Sebagai keyakinan, agama maupun bukan, sudah semestinya dianut secara kukuh dan sungguh-sungguh. Dan hal ini hanya mungkin kita hayati kalau kebebasan berkeyakinan dijamin dan dilindungi secara penuh dan utuh. Bila tidak, maka yang terjadi adalah kemunafikan dan kepura-puraan sehingga suatu keyakinan tidak berfungsi secara sentral dan fundamental terhadap persepsi dan orientasi kita tentang makna keberadaan manusia di dunia ini.

 Sesungguhnyalah, kebebasan berkeyakinan merupakan hak yang paling asasi dalam kehidupan umat manusia, baik pada tingkat pribadi maupun pada tingkat kolektif. Hak untuk menghayati keyakinan secara bebas, walaupun tidak dinikmati dan dialami oleh semua orang adalah hak alami yang esensial dalam kehidupan yang bermartabat. Tapi hal ini tidak pernah kita terima sebagai barang jadi yang siap pakai. Memang kita bisa saja merumuskannya dalam berbagai deklarasi dan menyuarakannya dalam berbagai diskusi dan konferensi akan tetapi hal itu akan berhenti hanya sekedar wacana akademik bila tidak diikuti oleh kesungguhan menyusun agenda kerja dan melakukan aksi yang bersifat substantif. Karena memang pada akhirnya kita harus berbuat berdasarkan penilaian dan pengalaman kita sendiri untuk menikmati kebebasan yang bertanggung jawab dan membuatnya mengeja-wantah dalam ruang dan waktu, tidak atas dasar keterpaksaan melainkan karena dorongan kesadaran dan panggilan moral kita sendiri. 

 Agama dan kepercayaan, sebagai sistem keyakinan, tidak semestinya dipahami terbatas hanya sekedar sebagai institusi akan tetapi dihayati sebagai metode konseptualisasi kebenaran, formulasi moralitas dan penegasan peran kita dalam kehidupan ini. Dalam kenyataan sosial agama dan kepercayaan berperan sebagai unsur perekat bagi komunitas sepaham sekaligus juga sebaliknya berperan sebagai unsur pembeda bahkan pemisah dalam kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu kita dituntut untuk mampu bersikap bijak dan bajik untuk bersedia menerima kehadiran orang lain dan bersikap toleran terhadap segala perbedaan.  

Toleransi terhadap perbedaan keyakinan adalah nilai dan kebajikan yang menghasilkan penerimaan dan penghormatan terhadap keberadaan orang lain. Peran hukum terutama adalah untuk mejamin keragaman dalam sistem keyakinan dalam sebuah masyarakat yang beradab, adil dan bebas. Karena toleransi yang sesungguhnya, tentu saja, tidak berhenti pada sekedar pengakuan akan keberadaan orang lain yang menganut keyakinan yang berbeda bahkan mungkin bertentangan dengan keyakinan yang kita anut melainkan juga menuntut komitmen dan usaha untuk hidup bergandengan dalam semangat kebersamaan dan kesetaraan. Bahkan lebih dari itu, kita harus menghormati dan membela kebebasan orang lain untuk meyakini dan menghayati keyakinan yang mereka pilih sebagaimana kita juga menuntut kebebasan serupa untuk meyakini dan menghayati keyakinan kita sendiri. Sikap masyarakat yang bersumber dari dari apa yang selama ini diakui sebagai “golden rule’ semacam inilah, yang diajarkan oleh semua agama dan kepercayaan, yang memungkinkan terwujudnya sebuah masyarakat yang adil dan beradab. 

Apa yang menjadi perhatian kita selanjutnya adalah bagaimana merayakan kebebasan berkeyakinan itu dalam konteks kebangsaan di negeri kita. Dalam konteks ini penting dicatat apa yang ditulis salah seorang pendiri negara kita, Bung Karno Sang Proklamator (1901-1969), dalam tulisannya yang cukup monumental: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, delapan puluh satu tahu yang lalu. Tulis Bung Karno:

“Nasionalis jang sedjati, jang tjintanja pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwajat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka,--nasionalis jang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengetjualian jang sempit-budi itu. Nasionalis jang sedjati, jang nasionalisme itu bukan copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan,--nasionalis jang menerima rasa nasionalismenja itu sebagai suatu wahju dan melaksanakan rasa itu sebagai bakti, adalah terhindar dari segala faham keketjilan dan kesempitan. Baginja, maka rasa tjinta-bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara jang memberi tempat pada segenap sesuatu jang perlu untuk hidupnja segala hal jang hidup.”  

Bahkan Bung Karno, untuk mengingatkan bahaya paham kebangsaan yang sempit, dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dikenal sebagai Pidato Lahirnya Pancasila, beliau mengutib dan menggaris-bawahi pernyataan Mahatma Gandhi yang berkata: “My nationalism is humanity.” 

Menyimak tulisan Bung Karno di atas saya rasa kita bisa belajar bahwa kehidupan kebangsaan yang ingin kita wujudkan bukanlah kehidupan yang bersifat isolasionik, mengurung diri dari dunia luar. Karena itu kitapun tidak akan menampik gagasan-gagasan dari luar apalagi yang sudah menjadi kesepakatan-kesepakatan internasional dan sudah diterima sebagai “global wisdom” seperti prinsip-prinsip tentang hak asasi manusia. Di pihak lain kita juga menolak segala bentuk diskriminasi dalam peri kehidupan kebangsaan kita, yang dalam ungkapan Bung Karno disebut sebagai faham pengecualian yang sempit budi, baik dalam perspektif berbangsa, bermasyarakat maupun bernegara. Sesungguhnyalah, diskriminasi dalam bentuk apapun dan dalam hal apapun adalah sesuatu yang menyakitkan. Apalagi diskriminasi berkenaan dengan keyakinan hidup seseorang yang langsung menyangkut nilai yang sangat sentral dan fundamental dalam hidupnya, berkaitan dengan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dan keselamatan. Diskriminasi pada dasarnya bersumber dari sikap egoisme kelompok yang ingin menang sendiri, sikap yang meremehkan pihak lain sehingga mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap keberadaan dan kepentingan mereka. Diskriminasi adalah aib dan noda yang mencemari sebuah masyarakat beradab yang menjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. 

Apa yang kita rasakan akhir-akhir ini adalah bahwa kebajikan dalam masyarakat kita untuk saling menerima keberadaan orang lain disertai kesediaan untuk hidup berdampingan sebagai sesama makhluk Tuhan dalam semangat kebersamaan dan kesetaraan makin memudar dan menipis padahal kita semua tahu bahwa bumi ini bukan milik kita. Yang kita rasakan saat ini adalah gejala egoisme sektarian yang makin marak yang ditandai oleh tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak dari mereka yang seolah-olah merupakan pemegang sertikat pemilikan bumi ini dan karena itu merasa paling berhak untuk hidup di atasnya dan merasa berwenang mengusir atau mencekal orang sekehandak hati mereka. Lebih celaka lagi mereka merasa berbuat kebajikan dengan merampas hak hidup orang lain hanya karena mereka tidak sekeyakinan. Sungguh sukar dimengerti mengapa mereka yang mengakui beriman kepada Tuhan bertindak seakan-akan lebih tuhan dari Tuhan sendiri, Pencipta dan Pemilik Kerajaan langit dan Bumi, yang menyediakan bumi untuk dihuni dan dinikmati oleh manusia makhluk ciptaan-Nya, tak peduli apakah mereka beriman atau bersikap kufur terhadap-Nya, beragama atau tidak beragama? Bukankah hal ini merupakan sebuah kezaliman tiada tara?

Alangkah pedih dan perih hati kita menyaksikan secara kasat mata berbagai peristiwa di negeri kita yang memperlihatkan betapa kebebasan berkeyakinan makin tidak terjamin dan makin jauh dari harapan. Puluhan orang di Lombok yang terusir dari rumah mereka karena keyakinan mereka dianggap sesat masih harus mengungsi di negeri mereka sendiri sampai hari ini. Mas Dawam, baru-baru ini, diharamkan menginjakkan kaki ke kota kelahirannya, Solo, karena kegigihannya membela pluralisme dan menyuarakan jeritan hati teman-teman yang menjadi korban perampasan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Hambatan untuk mempunyai tempat-tempat ibadat beberapa kalangan minoritas masih juga terjadi. Belum lama ini untuk kesekian kalinya pemerkosaan hak kebebasan berkeyakinan terulang lagi di wilayah Riau. Teman-teman yang yang berniat berkumpul melakukan ibadat di Lembah Carmel, Jawa Barat, juga berhadapan dengan sikap tidak toleran dari kalangan mayoritas. Sementara itu pejabat pemerintahan, aparat pemelihara keamanan dan ketertiban, dan aparat penegak hukum setempat seakan-akan sudah impotent, loyo tak berdaya menghadapi tindak pelecehan dan pemerkosaan hak-hak sipil warga negara.

Dengan mengatakan hal-hal di atas saya berharap melalui Konferensi ini kita akan lebih membulatkan tekad bersama untuk tetap teguh dan kukuh memperjuangkan kebebasan berkeyakinan di negeri kita sebagai sebuah panggilan hidup kita. Sebab nampaknya tantangan yang akan kita hadapi tidak makin berkurang melainkan justru makin bertambah. Kita tidak boleh jemu dan bosan menyuarakan jeritan para korban perampasan kebebasan berkeyakinan di negeri kita dan di mana saja yang untuk sebagian besar agaknya sudah kehabisan suara dan air mata. Semoga kita dianugerahi kekuatan batin dan keteguhan hati untuk bersikap tegar dan pantang menyerah dalam berjihad memperjuangkan kebebasan berkeyakinan.[]

No comments:

Post a Comment