Sunday 23 August 2009

Pengembangan Pemikiran Keagamaan dalam Rangka Pengembangan Etika Sosial

Pengembangan Pemikiran Keagamaan dalam Rangka Pengembangan Etika Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Majemuk

Oleh: Djohan Effendi


Makalah untuk proyek pembinaan generasi muda Departemen Agama RI
Jakarta 1987 – 1988

Pendahuluan

Bangsa kita adalah bangsa yang sangat majemuk. Ia terdiri dari berbagai suku bangsa yang hidup dalam sebuah negara kepulauan. Masing-masing mempunyai latar belakang sosio-kultural yang berbeda-beda. Tambahan pula, dalam kehidupan dan pertumbuhan masyarakat kebangsaan kita hidup dan berkembang berbagai agama dengan berbagai alirannya masing-masing. Hal ini menambah tingkat kemajemukan bangsa kita dengan berbagai manifestasi dan implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
 
Kemajemukan sebagai kemajemukan tidaklah serta merta bersifat dan berakibat negatif dan destruktif. Ia, bahkan hingga batas tertentu, justru merupakan unsur dinamik dan kreatif dari dan dalam kehidupan masyarakat. Ia memacu dinamika dan kreatifitas masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masing-masing. Mungkin terjadi persaingan. Akibat negatif akan muncul apabila persaingan beralih menjadi pertentangan yang mewujud dalam konflik sosial.

Memang sudah kodrati bahwa kemajemukan itu terkandung potensi konflik. Persoalannya adalah bagaimana mengarahkan kemajemukan itu hingga tidak tumbuh liar dan tidak mengejawantah dalam konflik sosial dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam kaitan inilah masalah pengembangan etika sosial menjadi sangat penting.

Etika Sosial

Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan ungkapan etika sosial, pertama-tama ia harus dibedakan dengan etika individual. Etika individual berkaitan dengan kewajiban manusia sebagai individu terutama terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap Tuhan. Etika sosial, dengan sendirinya, menyangkut aspek yang lebih luas dari etika individual. Ia berkaitan dengan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial. Ia membicarakan norma-norma sosial yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan manusia antar manusia.

Karena dimensi sosialitas manusia begitu luas, wilayah etika sosial juga sangat luas. Ia mencakup berbagai etika khusus yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu kehidupan manusia. Ia mencakup etika keluarga, etika profesi, etika pendidikan, etika politik dan sebagainya.

Individu dan Masyarakat

Sebagai makhluk individu manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri tindakan-tindakan yang ia lakukan atau yang tidak ingin ia lakukan. Dengan sendirinya ia lalu harus bersikap terhadap alam masyarakat sekitarnya. Ia dapat memelihara atau sebaliknya merusak alam. Ia bisa bersikap bersahabat atau sebaliknya bermusuhan dengan sesamanya. Semua ini tentu saja harus ia pertanggungjawabkan sebagai individu. Ia harus pertanggungjawabkam kepada dirinya sendiri, kepada hati nuraninya.

Kebebasan manusia untuk bersikap dan bertindak sangat tergantung pada kemampuannya. Dan kemampuan itu tumbuh dan berkembang, justru dalam keterkaitan manusia dengan sesamanya, dalam kebersamaannya dengan manusia-manusia lain. Dengan demikian dimensi sosialitas manusia bukanlah unsur tempelan melainkan realitas yang menyatu secara kodrati dalam pertumbuhan individualitasnya. Karena itu keterkaitan individu dan masyarakat merupakan hubungan dialektis yang saling mempengaruhi dalam suatu proses perkembangan yang dinamis.

Dimensi Sosialitas

Dimensi sosialitas dari kehidupan manusia menyangkut ketergantungan dan keterlibatan individu pada masyarakat. Dimensi mencakup:

(1) Keterkaitan manusia sebagai individu dengan individu-individu lain dalam kehidupan sehari-hariannya. Hal ini dihayati secara spontan. Manusia tidak bisa lepas dari sesamanya. Ia memerlukan sesamanya. Ia ada, menemukan dan mengembangkan dirinya dalam melalui kebersamaannya dengan orang lain
(2) Keterkaitan manusia dalam kehidupan masyarakat yang melembaga. Hubungan antar manusia tidak terhenti dalam kebersamaan yang bersifat spontan dan insidental. Sebab tidak sedikit hajat hidup manusia yang lebih mudah terpenuhi bila dilakukan secara bersama-sama. Untuk menjaga dan memelihara ikatan kebersamaan itu lahirlah lembaga yang mewadahi pola-pola tindakan bersama antar manusia. Aspek kelembagaan ini tercakup dalam lingkaran: keluarga, masyarakat luas dan negara
(3) Keterikatan manusia dengan dunia simbolik. Dunia simbolik memuat segala macam kepercayaan, pandangan dan paham tentang makna realitas sebagai keseluruhan. Ia mencakup agama, pandangan hidup, sistem nilai, ideologi, dan sebagainya. Sistem-sistem simbolik ini menjelaskan kemanusiaan tentang hakikat dirinya, bagaimana seharusnya ia hidup sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Toleransi Sosial

Seperti disinggung di atas, manusia ada, menemukan dan mengembangkan dirinya dalam dan melalui kebersamaannya dengan orang lain. Ia berarti hidup bermasyarakat merupakan kebutuhan kodrati dari manusia.

Kehidupan masyarakat mengalami perkembangan. Salah satu bentuk perkembangan itu adalah terbentuknya heterogenitas warga masyarakat. Homogenitas hanya terdapat dalam masyarakat terpencil yang jumlahnya makin berkurang.

Dalam masyarakat yang heterogen diperlukan etika sosial yang mengikat warga masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan kebersamaan. Untuk itu toleransi sosial harus ditumbuhkan, toleransi sosial menjadi syarat mutlak untuk terpeliharanya kebersamaan. Maka itu, sikap tidak toleran merupakan sikap yang tidak etis.

Dalam semangat toleransi sosial itu setiap warga masyarakat menerima dan menghormati keberadaan sesamanya tidak peduli apapun agamanya, ideologinya, pandangan politiknya, selama semuanya menjunjung tinggi prinsip pluralisme.

Agama dan Etika Sosial

Keberagamaan tidak sekedar masalah keyakinan dan pelaksanaan ritual. Ia juga menyangkut akhlak dan moralitas manusia. Agama tidak hanya mengajarkan tentang apa-apa yang harus diimani dan ibadah-ibadah yang harus dilakukan tetapi juga mengajarkan tentang nilai-nilai yang harus dihayati dan norma-norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam kaitan ini agama mempunyai relevansi dengan usaha pengembangan etika sosial.

Dalam masyarakat yang majemuk, dimensi sosial dari agama tidak disajikan secara “eksklusif” sebaiknya dalam patokan-patokan agamawi. Ia sebaiknya diluluhkan dalam etika sosial masyarakat. Melalui etika sosial agama-agama bertemu untuk mengarahkan hubungan antar manusia yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma agama.

Pendekatan Inspirasional

Dalam usaha memadukan nilai-nilai dan norma-norma agama dan etika sosial, agaknya yang harus ditekankan adalah essensialitas dari agama. Artinya yang perlu didahulukan adalah isi daripada kulit. Untuk ini diperlukan pendekatan yang bersifat inspirasional terhadap agama.

Melalui pendekatan inspirasional pemikiran keagamaan dikembangkan ke arah hal-hal yang lebih universal dan eternal, hal-hal yang essensial. Dengan demikian pemikiran keagamaan akan menjadi faktor yang memperkuat, tidak hanya etika sosial akan tetapi juga solidaritas sosial. Hal ini akan mengembangkan semangat dan etik kekitaan dalam kehidupan masyarakat-masyarakat kita yang majemuk.

Semangat dan etik kekitaan merupakan nilai-nilai yang harus ditumbuhkan dan dikembangkan dalam rangka memperkokoh hidup kebangsaan kita. Tanpa semangat dan etik kekitaan, masyarakat bangsa kita akan rapuh dan mudah goyah.[]




No comments:

Post a Comment