Sunday 23 August 2009

Menuju Indonesia yang Ber-Bhinneka Tunggal Ika

Oleh Djohan Effendi


Pendahuluan

Cita-cita tentang persatuan Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Mukadimah UUD Negara kita adalah sebuah konsep politik yang seperti kita ketahui bersama, tidak dimaksudkan untuk menghapuskan segala wujud dan bentuk keragaman yang secara alami, kultural dan historis ada dan berkembang dalam proses dinamik mengindonesia dari segenap penduduk yang sebelumnya berada di wilayah Hindia Belanda. Tentu saja cita-cita itulah yang melatarbelakangi mengapa para pendahulu kita bersepakat menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional bangsa kita. Sebagai semboyan, selain pengakuan terhadap keragaman bangsa kita ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu juga sekaligus merupakan penegasan bahwa keragaman itu diikat oleh bingkai kesatuan sehingga tidak akan membawa bangsa kita kepada pertikaian, perpecahan dan pemisahan. 

 Pengalaman sejarah bangsa kita selama masa merdeka hingga hari ini memperlihatkan bahwa realita belum seperti yang dicita-citakan. Proses dialektik antara cita-cita kesatuan dan realita keragaman masih belum mencapai taraf yang memenuhi rasa adil oleh semua pihak. Kita pernah mengalami ketegangan hubungan antara pusat-daerah uang ditandai oleh pergolakan di berbagai daerah di tahun lima puluhan yang berujung pada pembentukan pemerintahan tandingan: PRRI/Permesta yang kemudian berubah menjadi republik persatuan Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita berbagai peristiwa yang terjadi di Maluku, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, justru setelah Negara kita berusia lebih dari setengah abad. Lepasnya Timor Leste dan apa yang sedang berlangsung di Aceh dan Papua hingga saat ini mestinya mendorong kita untuk bertanya apa yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa kita. Apakah tidak mungkin hal ini terjadi karena dalam praktek kita yang sentralistik bahkan cenderung bersifat eksesif, yang kurang memberi tempat pada keragaman kultural bangsa kita untuk secara eksistensial berkespresi melalui partisipasi aktif dan konstruktif dalam perwujudan identitas kolektif sebagai warga bangsa di satu sisi dan gejala eksploitasi sumber kekayaan dareah untuk kepentingan pemerintah pusat di sisi lain.

 Dalam pada itu kita juga menyaksikan fenomena lain yang tak kalah membahayakan kehidupan bersama kita sebagai bangsa bahwa dalam zaman yang disebut sebagai era reformasi sekarang ini muncul kecenderungan sectarianism, ekslusivisme dan komunalisme yang dengan sendirinya mengancam nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan yang melandasi semangat kolektivitas semua warga bangsa yang mendambakan hidup bersama dalam semangat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Kecenderungan ini juga, disengaja atau tidak, berpotensi menggeser bahkan mungkin menggusur cita-cita Pancasila sebagai “common platform” yang mengakomodasi berbagai orientasi ideologis yang hidup dalam masyarakat kita. Ketidakmampuan kita mengelola dan mengarahkan proses diakletik antara ide dan kesatuan realita keragaman akan menggagalkan kita dalam usaha mewujudkan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Indoensia yang satu dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan. Kita perlu mengambil pelajaran dari pengalaman negeri-negeri lain seperti Uni Sovyet Rusia, Yugoslavia dan Cekoslowakia yang sebagai Negara, belum lama berselang, hapus dalam peta politik dunia. Menyimak hal di atas maka percakapan kita tentang pluralisme menjadi sangat relevan dan perlu meski mungkin agak terlambat. Dalam ungkapan pluralisme tergambar kehidupan suatu masyarakat yang para warganya bersifat heterogen, beragam. Keragaman itu terjelma dari perbedaan antara berbagai kelompok sosial, baik yang berlatar belakang etnis maupun ras, keyakinan agama maupun orientasi ideologis, yang masing-masing mempunyai persepsi dan perspektif sendiri yang berbeda satu sama lain dalam merealisasikan keberadaan mereka dalam sebuah ruang dan waktu di mana mereka hidup bersama. Perlu dicatat dini bahwa keragaman itu sangat kental dan kentara kita rasakan dalam masyarakat modern di mana kebebasan untuk menyatakan diri dihormati dan dilindungi. Karena itu masyarakat yang sedang berkembang, yang bergumul dalam usaha memacu proses modernisasi, mengalami perubahan dari waktu ke waktu menjadi lebih beragam. Berbagai bentuk pengelompokan muncul menambah keragaman yang sudah ada yang sangat banyak jumlah dan jenisnya; masing-masing berdiri sendiri, berbeda dan bersifat otonom satu terhadap yang lain, masing-masing mempunyai kekhasan dengan pola dan gaya kepemimpinan serta sistem manajemen sendiri, masing-masing mempunyai visi, misi dan bidang kegiatan sendiri. Tentulah tidak sulit membayangkan apa yang trejadi dan berlangsung di negeri kita selama masa kemerdekaan yang lebih setengah abad ini, yang sejak semula memang memiliki keragaman yang multiaspek dan multidimensi sifatnya. Tuntutan internal dan pengaruh eksternal berjalin berkelindan dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat dunia yang saling tergantung, pengaruh mempengaruhi dan terus berubah telah memacu perubahan sosial yang bergerak cepat sehingga membuat, baik ciri dan corak maupun isi dan dimensi keragaman negeri kita sangat kompleks. Masyarakat kita menjadi lebih, makin dan terus beragam dalam alur dan arus perubahan terus menerus yang cepat. Dengan singkat bisa dikatakan kita bukan hanya menghadapi tapi justru berada di tengah-tengah pusaran perubahan dalam keragaman dan keragaman dalam perubahan. 

Pluralisme

Pluralisme adalah cara pandang dan pendekatan yang apresiatif dalam menghadapi heterogentitas suatu amasyarakat yang para warganya terdiri dari berbagai kelompok etnik, ras, agama dan sosial yang menerima, menghargai dan mendorong pastisipasi dan pengembangan budaya tradisional serta kepentingan spesifik mereka dalam lingup kehidupan bersama. Itu berarti bahwa pluralisme akan benarbenar berfungsi apabila terdapat ruang bersama dimana masing-masing pihak terlibat dalam pembentukan dan pengembangan komunitas bersama yang lebih luas, mencakup dan mewadahi semuanya tanpa menelantarkan kekayaan tradisi mereka masing-masing.

 Sebagai nilai yang menghargai dan melindungi keragaman dengan sendirinya pluralisme mengandung prinsip untuk bersikap toleran terhadap berbagai perspesi yang berangkat dari pengalaman masing-masing di satu pihak dan bersikap respek terhadap berbagai perspektif yang lahir dari cita-cita masing-masing di pihak lain. Bertolak dari prinsip pluralisme tersebut kita akan bersikap terbuka dalam menerima kehadiran beragai tanggpan semua pihak yang semuanya sah sepanjang bersikap konsekwen dan konsisten menjunjung prinsip pluralisme. Apa yang perlu kita tingkatkan adalah membangun kondisi dialogis dimana semua pihak bersikap apresiatif terhadap kehadiran brbagai pendapat dan pandangan, menghargai sikap mempertanyakan, meragukan bahkan menolak pendapat kita sekalipun. Semua orang berhak mempunyai pandangan dan keyakinannya sendiri dan membiarkan mereka memandang dari persepsi dan perspektifnya masing-masing. Yang perlu disadari adalah bahwa semua orang mempunyai keterbatasan masing-masing dan karena itu kecenderungan absolutisme harus dihindari. Tak seorangpun yang berhak merasa bahwa dirinya mutlak, pasti dan selalu benar lalu memaksakan agar semua pihak harus mengikuti pendapat dan kehendaknya. Dia berhak penuh untuk menyatakan pendapatnya sebagaimana halnya pihak-pihak lain juga berhak menyatakan pendapat mereka. Pendapat pihak lain meski tidak kita setujui tidak boleh dilecehkan dan dinafikan begitu saja. Hal ini perlu kita hayati bersama untuk membangun paradigma pluralisme dalam rangka menemukan titik temu dari berbagai bentuk perbedaan sehingga terpelihara kondisi dialogis dan berbagai bentuk interaksi sosial yang dilandasi oleh sikap terbuka dan memungkinkan semua pihak tanpa diskriminasi berkesempatan menyumbangkan, warisan budaya dan tradisi serta kekayaan pengetahuan dan pengalaman mereka. Dengan demikian kita berharap akan terwujud salaing pengertian yang menjanjikan dan memberikan harapan untuk masa dpean bersama.
 Secara singkat mungkin bisa dikatakan bahwa dengan berpegang pada prinsip pluralisme kita bisa percaya bahwa keterpaduan dari berbagai identitas dan perpsektif bukan hal yang tidak mungkin dicapai. Bertolak dari sudut pandang ini maka kebebasan bereksistensi dan kesempatan yang luas untuk berpartispasi aktif bagi segenap warga masyarakat, baik individu maupun kelompok, yang berbeda-beda asal-usul etnis dan ras, agama dan kepercayaan, stautus ekonomi dan tingkat pendidikan, jenis kelamin dan usia, bakat dan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman dan berbagai atribut lainnya sangat penting bagi proses pembentukan kesadaran kolektif masyarakat.
 Memang untuk menghadapi kehidupan kita sekarang ini, tak ayal lagi, kita tidak punya pilihan lain kecuali menerima dan menerapkan nilai-nilai pluralisme. Seperti kita ketahui dan alami bersama bahwa di zaman modern ini tak ada lagi masyarakat, kecuali beberapa suku-suku terasing di sana-sini, yang sangat kecil jumlah dan warganya, yang secara kultural homogen. Semuanya sudah bersifat heterogen dalam berbagai tingkat dan corak manifestasinya. Proses modernisasi telah memberikan kemudahan mobilitas benda dan manusia yang membuka yang lebih luas bagi interaksi berbagai kelompok budaya. Pengaruh media yang bersifat multinasional yang memiliki daya jangkau global yang luas dalam penyebaran ide dan pandangan hidup tanpa halangan dimensi ruang dan waktu membuat masyarakat dunia saling terbuka dan saling terpengaruh. Pengaruh bahasa, aspirasi, pola konsumsi, gaya hidup bahkan pandangan terhadap dunia dan hidup itu sendiri menyelinap ke dalam kehidupan umat manusia yang sering kali tidak terasa. Sebuah masyarakat yang kultural homogen di zaman ini sudah merupakan sebuah fiksi antropologis.  

Multikulturalisme

Pluralisme bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Seperti disinggung di atas pluralism adalah sebuah cara pandang dan pendekatan yang bermula dari pengakuan akan keragaman dan perbedaan sebagai prasyarat untuk membangun keberadaan sebuah masyarakat yang lebih luas yang diharapkan tetap terpelihara kekukuahn dan keutuhannya. Ini berarti yang kita terima bukan sekedar masyarakat multikultural akan tetapi sebuah masyarakat yang membentuk dan membangun dirinya secara multikultural pula. Menyadari betapa kompleksnya heterogenitas atau keragaman yang mewarnai masyarakat di mana kita berada kita tidak boleh berhenti hanya pada pengakuan adanya keragaman sebagai realita yang tak terelakkan. Dalam perspektif ini kita perlu memahami pendekatan multikulturisme sebagai langkah lanjut pluralisme.

 Mengingat bahwa kebanyakan kebudayaan berakar pada etnik dan agama maka apa yang kita pahami sebagai masyarakat multikultural lebih merujuk pada masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik atau berbagai agama bahkan tidak jarang justru kedua-duanya. Berkenaan dengan yang terakhir ini, masyarakat multikultural yang diwarnai oleh keragaman etnik maupun agama dengan sendirinya mempunyai problem yang tentu lebih kompleks.

 Berangkat dari realitas yang tak terelakkan bahwa semua masyarakat kita adalah bersifat multikultural, maka diperlukan usaha menyerasikan tuntutan untuk mencapai kesatuan di satu pihak dan keniscayaan untuk memelihara keragaman di pihak lain. Tanpa kesatuan kita tidak bias mewujudkan kehidupan bersmaa yang dinapasi oleh semangat komunitas, yang memudahkan untuk secara kolektif mengambil dan menerapkan keputusan yang mengikat semua warga demi kelansgungan eksistensi masyarakat kita. Akan tetapi di sisi lain keragaman semestinya dikelola sebagai kekayaan kultural bersama yang memperkaya dan menyumbang pada wujud kolektifitas masyarakat. Karena dalam realitas kehidupan masyarakat eksistensi manusia baik sebagai individu maupun kelompok tidak bisa dilepaskan dari latar belakang budaya yang membentuk identitas mereka maka sikap respek terhadap manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, dengan sendirinya juga harus diwujudkan dalam sikap respek terhadap kebudayaan mereka.  

 Dalam pengembangan masyarakat multikultural dua-duanya, baik kesatuan maupun dan keragaman sama pentingnya dank arena itu masing-masing membatasi sekaligus melengkapi yang lain. Secara sadar kita harus menghindari usaha-suaha yang ingin memaksakan terwujudnya kesatuan sehingga tidak memberi ruang bagi keragaman atau sebaliknya juga jangan sampai kita membiarkan keragaman tak terkendali sehingga menciptakan masyarakat yang terpecah belah, yang pasti sangat membuang potensi, energi, dan waktu yang akibatnya kita tidak mungkin secara kolektif dan efektif mengejar kepentingan bersama. 

 Perlu ditekankan di sini bahwa masyarakat multikultural hanya akan bisa menyrasikan tuntutan kesatuan dan realitas keragaman bila kita tidak mengacaukan kesatuan dengan keseragaman apalagi kalau kekaburan itu bersumber pada anggapan yang memandang keragaman sebagai sesuatu yang negatif. Dalam keadaan seperti ini usaha membentuk keragaman budaya yang menyeluruh di antara warga dianggap sesuatu yang niscaya dan karena itu harus diusahakan dan kalau perlu dipaksakan. Warga yang menyadari kemultikulturalan masyarakatnya diharapkan mampu mengembangkan kesatuan yang lahir dari keragaman dengan memajukan komunitas-komunitas budaya mereka masing-masing untuk secara kreatif mengembangkan kebudayaan nasional yang plural sehingga keduanya, kesatuan dan keragaman, merefleksikan dan mentransidenkan warga masyarakat tersebut sebagai sebuah entitas yang harmoni dan memiliki keindahan mozaik. Masyarakat multikultural semacam itu akan mampu mengembangkan kebudayaan bersama tanpa menelantarkan kebudayaan kelompok dan malahan dua-duanya berinteraksi sehingga saling memperkaya. Keterlibatan seluruh warga masyarakat dalam pembentukan kebudayaan nasional mereka akan membuat mereka mempunyai rasa bangga mengidentifikasi diri dengannya.

 Berbeda dengan kemultikulturalan di masa lalu, kemultikulturalan di zaman kita sekarang ini memperlihatkan berbagai kecenderungan. Pertama-tama kemultikulturalan sekarang lebih luas dan lebih dalam dibanding masa-masa sebelumnya. Lebih luas karena keragaman budaya memasuki seluruh aspek kehidupan manusia dan lebih dalam keragaman itu juga berkaitan bukan hanya aspek lahiriah tapi juga menyangkut hal-hal batiniah berkaitan dengan pandangan dan cara hidup, menyangkut “weltanschaung” dan “way of life” kita.

 Kedua, kemultikulturan masa kini lebih menantang karena warga masyarakat yang beragam itu menentang segala bentuk diskriminasi, sosial, ekonomi, politik dan ideologi; menuntut persamaan dan kesetaraan dalam kedudukan, kekuasaan dan kesempatan untuk ikut serta dalam membangun kehidupan kolektif bersama. Kecenderungan untuk membentuk sistem yang melahirkan subordinasi satu kelompok terhadap kelompok lain tidak mungkin diterima.  

 Ketiga, kemultikulturan di zaman kita sekarang ditandai oleh proses dialektik sebagai dampak proses globalisasi yang melahirkan kecenderungan paradoksal. Di satu pihak terlihat kecenderungan yang mengarah pada alur global yang sama dalam cita-cita dan pelembagaannya, dalam moral dan praktek-praktek bermasyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai universal dan dipihak lain terlihat kecenderungan untuk meneguhkan identitas kelompok sebagai respon terhadap arus globalisasi yang tak terbendung yang diwarnai oleh usaha mempertahankan hal-hal yang bersifat partikular.

 Dengan menyadari hal-hal di atas maka usaha mengembangkan kebudayaan nasional yang memberi tempat pada keragaman diharapkan akan merembes kepada seluruh arena kehidupan dan membentuk etos yang menjiwai semuannya. Untuk itu diperlukan beberapa hal. Pertama, masyarakat multikultural secara konsisten dan konsekwen tidak memperlakukan komunitas-komunitas kulturalnya secara diskriminatif, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kehidupan dan pergaulan dalam masyarakat harus menunjukkan respek yang sama pada semua komunitas kultural yang ada dan memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang. Dalam kaitan ini institusi negara terutama aparat pelayanan masyarakat, tentara, polisi, peradilan mestilah bersikap tidak memihak dan menghindari kebijakan dan tindakan yang bias etnik dan agama.

 Kedua, sebuah masyarakat multikultural mesti menjamin keadilan sosial dan akses yang sama untuk mendapatkan kekuasaan politik pada kelompok-kelompok minoritas dan mendorong kerja sama antar etnik dan antar agama dalam semula bidang kehidupan lebih-lebih dalam bidang politik. Kesadaran memiliki hanya akan tumbuh dalam proses kerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.  

 Ketiga, suatu masyarakat multikultural hendaklah mendorong warganya untuk bersikap terbuka dan tanpa takut-takut menyatakan identitas kultural mereka sehingga tidak ada yang merasa tersisihkan dan terpinggirkan. Kecenderungan sikap eksklusifistik sejauh mungkin dihindari agar terjelma pergaulan masyarakat yang longgar dan damai dalam semangat menghargai keragaman bahkan perbedaan budaya.

 Keempat, masyarakat multikultural hendaknya mengembangkan identitas nasional yang tidak meminggirkan dan menyingkirkan salah satu kelompoknya. Simbol-simbol, tata cara dan berbagai upacara nasional hendaknya merefleksikan semangat dan ciri multikultural masyarakat itu. Negara hendaknya didefinisikan sebagai milik sebagai milik semua warga negara dan bukan hanya milik satu kelompok dominan, entah etnik maupun agama.

 Terakhir, masyarakat multikultural menuntut pandangan yang lain tentang identitas dan perbedaan. Identitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang homogen dan tak berubah. Bila tidak dikhawatirkan sikap tidak toleran terhadap perbedaan akan mengental.

Penutup

Untuk mengakhiri makalah ini ingin dikemukakan beberapa masalah yang perlu mendpaat perhatian dalam rangka membangun kehidupan bersama. Pertama, harus disadari bahwa otonomi dareah seyogyanya tidak hanya dipahami sebagai pelimpahan wewenang administrasi pemerintahan akan tetapi lebih pada pengakuan dan pengesahan untuk “self-government” yang didasarkan bukan sekedar pembagian wilayah administrasi dan pelimpahan kekuasaan akan tetapi seyogyanya juga mempertimbangkan aspek budaya yang merupakan kekayaan kultural dan menyimpan kearifan lokal yang harus dipelihara dan diolah untuk kemajuan seluruh warga masyarakat.  

 Kedua, sistem pendidikan mestilah memperhatikan kemultikulturan masyarakat kita sehingga anak-anak didik memperoleh pengetahuan tentang keragaman masyarakat kita dan mampu menyerap serta menghayati nilai-nilai pluralisme yang diperlukan sehingga berfungsi secara efektif dalam sebuah masyarakat demokratis dan plural, dan memperoleh kecakapan yang diperlukan untuk bergaul bersama semua kelompok untuk membangun sebuah masyarakat sipil dan beradab dalam usaha meraih kebaikan bersama. Dalam kaitan ini apa yang disebut sebagai muatan lokal dalam kurikulum pendidikan perlu dikembangkan secara sungguh-sungguh.

 Ketiga, organisasi-organsiasi lintas iman perlu dikembangkan sehingga tersedia forum utnuk bertemu, berdialog dan bekerja sama antar berbagai tokoh, organisasi dan lembaga yang berbeda latar belakang agama dan kepercayaan. Lembaga-lembaga lintas iman ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bersama bahwa kehidupan yang harmoni dan damai, kini dan di sini, adalah kepentingan bersama.

 Keempat, lembaga kepemerintahan hendaknya benar-benar menyadari keragaman dan kemultikulturan masyarakat sehingga secara konsisten dan konsekwen menghindari kebijakan dan praktek-praktek yang bersifat diksriminatif dan melanggar hak-hak asasi manusia. Semua pihak diperlakukan sama dan setara di hadapan hukum yang adil. 

 Sebagai akhir dari paparan ini ingin ditekankan bahwa pengakuan atas perbedaan adalah prasayarat untuk menciptakan kondisi dialogis di antara berbagai komunitas budaya yang pada gilirannya merupakan wahana untuk melakukan kontruksi dan pembentukan masyarakat multikultural yang lebih luas. Untuk itu kita perlu mengembangkan kemampuan kerja bersama, saling mengajar dan saling belajar satu sama lain dari semua pihak sehingga tercipta budaya damai. Dalam kaitan ini kita ahrus beekrja sama untuk mengerahkan dan mengarahkan semua kekuatan imaginatif dan kreatif dari seluruh unsur masyarakat mencakup kalangan pemerintahan, lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan, para akademisi, ulama dan cendekiawan, pers, orpol, ormas dan seluruh kekuatan masyarakat sipil sehingga ungkapan Bhinneka Tunggal Ika tidak cuma semboyan kosong yang tertera pada lambang Garuda Pancasila yang tergantung di dinding yang tidak lebih daripada sebuah pajangan berdebu yang menghias kantor-kantor aparat pemerintah. 

******

No comments:

Post a Comment