Sunday 23 August 2009

Surat Terbuka kepada Presiden RI

Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yth.

 Izinkanlah saya menyampaikan surat terbuka ini untuk meminta perhatian Bapak Presiden yang sungguh-sungguh berkenaan dengan pelanggaran atas ideologi Negara dan konstitusi yang dilakukan secara terang-terangan, yakni penodaan terhadap kebebasan berkeyakinan di negeri kita terhadap kelompok minoritas yang sudah berkali-kali terjadi. Hati saya tergerak untuk menulis surat ini pada saat mendengar pidato Bapak Presiden ketika membuka the ASEM Interfaith Dialogue pagi tadi, 21 Juli 2005 di Denpasar, Bali. Sungguh enak mendengar ucapan-ucapan Bapak Presiden yang antara lain mengatakan:

“Moderasi berarti kita harus mencegah pemaksaan pendapat seseorang terhadap orang lain dan menghindarkan penggunaan kekerasan. Moderasi mengharuskan kita menghormati hak-hak orang lain, dan menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri kita sendiri. Moderasi menuntut kita menghargai dialog dan perbedaan. Dan moderasi menghendaki pendekatan inklusif dan komitmen total terhadap perdamaian dan toleransi.”

Pernyataan Bapak Presiden di atas sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi saat ini berkenaan dengan penyerangan dan penutupan Kampus Mubarak, milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Parung baru-baru ini. 

 Bapak Presiden;
 Sesat-menyesatkan adalah fenomena biasa dalam dunia keagamaan sepanjang sejarah. Akan tetapi merampas kebebasan berkeyakinan adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang sangat menyakitkan. Tidak ada penderitaan batin yang lebih memerihkan dibanding pelarangan terhadap seorang beriman untuk menganut keyakinan batinnya yang ia yakini merupakan jalan keselamatannya di dunia dan di akhirat nanti. Sebenarnyalah kebebasan berkeyakinan adalah berasal dari Sang Pencipta sendiri, dan sama sekali bukan pemberian Negara atau golongan mayoritas. 

 Adalah sangat disesalkan kalau aparat Negara yang seharusnya melaksanakan amanat konstitusi untuk menjamin hak-hak Warga Negara membiarkan apalagi kalau malah terlibat dalam tindakan melanggar hukum. Sungguh sangat ironis kalau sampai Pemerintah tunduk terhadap intimidasi dan pemaksaan kehendak sekelompok orang yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan melawan hukum. Percayalah Bapak Presiden, kalau Pemerintah tidak bertindak tegas atau bahkan menyerah terhadap intimidasi dan pemaksaan kehendak yang dilakukan dengan kekerasan, apa yang mereka lakukan sekarang bukan yang terakhir. Tindakan-tindakan serupa akan terus terjadi. Jaminan konstitusi terhadap kebebasan berkeyakinan akan menjadi rumusan yang tidak berarti dan masyarakat beradab akan menertawakan kita.

 Tegakah Bapak Presiden jika dalam Negara yang Bapak pimpin seorang atau beberapa orang warga Negara dihukum hanya karena dia atau mereka mengamalkan keyakinan agama atau kepercayaannya yang dianggap menyimpang oleh golongan mayoritas. Apabila suatu agama atau faham keagamaan dilarang di negeri kita apakah yang akan dipakai untuk mengawasi hati orang? Dan kalau mereka didapati beribadah menurut keyakinan dan di tempat mereka sendiri lalu mestikah mereka dianggap telah melakukan tindak kriminal? Kalau mereka masih juga bersiteguh dengan keyakinan mereka apakah mereka harus dipaksa keluar dari negeri ini padahal mereka sejak turun temurun merupakan penduduk asli dan bukan keturunan asing. Karena itu Bapak Presiden, setiap pejabat negara yang berpikiran untuk melarang suatu agama atau faham keagamaan hendaklah memikirkan masak-masak konsekuensi pelarangan tersebut, dan mencoba membayangkan bagaimana kalau pelarangan tersebut dikenakan kepada mereka sendiri. Kalau Tuhan Sang Pencipta saja memberikan mereka kebebasan hidup di atas bumi-Nya apa pula hak negara atau pejabat negara untuk merampas kebebasan seseorang untuk berkeyakinan sesuai dengan pilihannya?  

 Melalui surat ini saya ingin mengetuk hati nurani Bapak Presiden dan semua pejabat negara di negeri kita sebab wibawa Pemerintah untuk menjamin terlaksananya amanat konstitusi sedang dipertaruhkan.

 


Denpasar, 21 Juli 2005



 

Djohan Effendi
 Ketua Umum Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP)

No comments:

Post a Comment