Sunday 23 August 2009

Persekusi ataukah Persuasi?

Oleh: Djohan Effendi


Melalui sebuah cerita imaginatif anekdotis seorang sufi, Djohan Effendi bermaksud menggambarkan dan mengingatkan kita bahwa keberagamaan, pemahaman dan penghayatan keagamaan, sangatlah individual sifatnya. Seorang Nabi, bahka mendapat tegoran Tuhan, karena ia telah menghardik dan memaksakan pendapat terhadap seorang gembala, hanya karena persepsinya tentang Tuhan yang dihayatinya berbeda dengan sang Nabi, demikian diceritakan.

Karena ia bersifat individual, maka muncul keragaman pemahaman yang meliputi aqidah, fiqih dan tawawuf yang sangat banyak jumlahnya. Kadang-kadang keragaman tersebut tidak saja bersifat perbedaan, tetapi juga bersifat pertentangan pendapat yang tidak bisa dikompromikan. Namun karena ia bersifat individual, maka pendekatan yang digunakan terhadap golongan sempalan (golongan yang menyempal dari paham dominan), haruslah berdasarkan persuasi dan bukan persekusi. Untuk itu Djohan mencoba mempertanyakan dan sekaligus menafsirkan beberapa ayat al-quran dan sebuah hadits, mendukung pendapatnya itu.


Pada suatu ketika, demikian cerita seorang sufi, Nabi Musa a.s. mengadakan perjalanan, Di suatu tempat beliau bertemu dengan seorang gembala yang sedang berdoa kepada Tuhan dengan penuh khusyu. Terdengar suaranya lamat-lamat:

“Ya Tuhan Yang Maha Kuasa di atas segala yang berkuasa. Dimanakah gerangan Engkau berada? Perkenanlah kiranya hamba mengabdi-Mu, akan hamba jahitkan terompah-Mu, akan hamba sisirkan rambut-Mu. Izinkanlah hamba mencuci pakaian-Mu dan membunuhi kutu-kutu yang ada di kepala-Mu. Akan hamba bawakan susu buat Engkau agar hamba berkesempatan mencium tangan-Mu yang lembut dan membelai kedua kaki-Mu yang mungil. Akan hamba bersihkan kamar tidur-Mu bila waktu tidur-Mu sudah datang….”

Ketika si gembala itu hanyut dan larut dalam kekhusyuan doa, tiba-tiba Nabi Musa bertanya dengan suara lantang:

“Hei! Kepada siapa kau tujukan doamu itu?”

“Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Khalik kita semua, Pencipta semesta langit dan bumi”, jawab gembala itu. 

“Keparat kau!” kata Nabi Musa. “Kau telah sesat dalam berdoa. Kau bukan mukmin lagi, sebab kau telah menghina Tuhan. Ini benar-benar perbuatan bodoh dan kufur. Tutup mulutmu! Kalau kekufuranmu sudah merusakkan hancurlah dunia seluruhnya dan rapuhlah semua sendi agama. Semua itu hanya pantas buatmu dan tak layak buat Tuhan Yang Maha Esa, Sumber segala Cahaya.”

“Aakh, malang nian nasibku. Hati dan perasaanku telah Tuan bakar dengan rasa penyesalan”, kata gembala itu sambil mengoyak-ngoyak bajunya. Kemudian dengan tarikan nafas yang panjang penuh kesedihan ia pun berlari ke arah padang tandus, pergi dan menghilang tak kembali….

Saat itu turunlah wahyu kepada Nabi Musa. Terdengar suara dari kegaiban:
 
“Engkau telah memisahkan Aku dari hamba-Ku. Engkau Kuutus sebagai Nabi bukan untuk menjauhkan tapi untuk mendekatkan. Aku menganugerahi seseorang cara yang unik untuk melakukan sesuatu, dan kepada setiap orang Kuberikan cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaan dan kerinduannya. Apa yang dilakukan si gembala itu, itulah cara yang lebih tepat menurut anggapannya meski menurut anggapanmu ia telah berbuat kesalahan. Baginya itulah madu sedangkan bagimu itu adalah racun. Aku mengatasi segala yang suci….”

Cerita imaginatif di atas, agaknya dimaksudkan oleh sang Sufi untuk menggambarkan dan mengingatkan kita bahwa keberagaman seseorang, pemahaman dan penghayatan keagamaannya, sangatlah individual sifatnya. Tergambar dalam cerita anekdotis di atas, betapa jauh perbedaan antara persepsi tentang Tuhan yang dihayati si gembala dan konsep tentang Tuhan yang diajarkan oleh seorang Nabi. Mungkin saja persepsi itu salah atau bahkan sesat. Tapi apakah karena kesalahan dan katakanlah kesesatan persepsi itu si gembala itu mesti dibentak, dihardik….dan dipersekusi?

Si gembala dalam kisah di atas tentu saja sekedar personifikasi banyak orang atau kelompok yang interpretasi dan persepsi keagamaannya dianggap menyempal atau menyimpang dari faham yang mu’tabar, terutama menurut kelompok yang dominan dalam suatu masyarakat. Ia mewakili berbagai faham dan kelompok sempalan, aliran-aliran heterodoks atau ghayru mu’tabar yang banyak jenis dan ragamnya, dan meliputi bidang aqidah, fiqh dan tasawuf.

Masalah keragaman tentu saja tidak terbatas antara faham atau aliran yang mu’tabar dan yang ghayru mu’tabar, yang ortodoks dan yang heterodoks. Ia juga terdapat dalam sesama kalangan mu’tabar dan ortodoks sendiri. Ada sebuah peristiwa menarik yang sungguh-sungguh terjadi, berkenaan perbedaan di antara sesama kalangan mu’tabar ini.

Pada tahun 1953 di Pakistan terjadi kerusuhan sehubungan dengan tuntutan keras dari kalangan ortodoks yang mayoritas terhadap suatu kelompok sempalan yang dianggap jauh menyimpang dari ajaran ortodoks Islam. Karena Pemerintah Pakistan di bawah Perdana Menteri Khwaja Nazamuddin bertahan untuk tidak mematuhi tuntutan kalangan ortodoks untuk mengucilkan kaum heterodoks, kerusuhan pun terjadi. Pemerintah Pakistan bertindak secara hukum. Dibentuk sebuah mahkamah yang khusus untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang kasus di atas. Pimpinan mahkamah itu adalah Hakim Senior, Muhammad Munir namanya, dan karena itu, keputusan mahkamah itu terkenal dengan sebutan “Munir Report”.

Dalam rangka penyelidikan itu sejumlah tokoh ulama Pakistan, Sunni maupun Syi’i, dimintai keterangan mereka. Kepada mereka, antara lain, diajukan pertanyaan:

(1) apakah Islam itu dan
(2) siapakah muslim itu?

Mereka ditanya secara bergantian seorang demi seorang. Yang menarik kemudian adalah, jawaban mereka sangat beragam, berbeda satu sama lain. Terhadap perbedaan jawaban itu mahkamah memberikan komentar sebagai berikut:

“Memperhatikan berbagai definisi yang diberikan oleh ulama-ulama, tak perlu kita berkomentar kecuali bahwa tak ada dua orang ulamapun yang seia dalam masalah yang fundamental ini. Bila kita mencoba membuat definisi kita sendiri sebagaimana dilakukan oleh para ulama itu, dan definisi kita itu berbeda dengan definisi-definisi yang diberikan oleh semua lainnya, tak ayal lagi kita keluar dari lingkungan Islam. Dan bila kita mengikuti definisi yang diberikan oleh salah seorang ulama maka kita tetap muslim menurut ulama itu akan tetapi kafir menurut definisi lainnya.” (Lihat Report of the Court of Inquiry Constituted under Punjab Act II of 1954 to enquire into the Punjab Disturbances of 1953, hal. 218).

Keragaman yang terdapat dalam kalangan umat Islam tidak saja bersifat perbedaan akan tetapi juga tidak jarang bersifat pertentangan pendapat atau faham yang tidak bisa dikompromikan. Mungkinkah kita bersikap, meyakini kebenaran faham yang kita anut –dan hal ini berarti mengganggap faham orang lain salah—tapi juga menghormati hak orang lain untuk meyakini kebenaran fahamnya sendiri. Bagaimana hal ini dilihat dari kacamata syar’iyah? Sehubungan dengan masalah ini saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan:

1. Apakah firman Tuhan “La ikraha fiddin” (tak ada paksaan dalam agama) hanya berlaku dalam masalah perbedaan agama saja? Artinya kita diperkenankan melakukan pemaksaan terhadap saudara seagama untuk menerima dan mengikuti faham kita. Ataukah sebenarnya larangan Tuhan itu juga berlaku dalam menghadapi adanya perbedaan madzhab, aliran atau faham keagamaan dalam kalangan umat Islam, bagaimanapun besarnya perbedaan itu, furu’i maupun ushuli? Dan karena itu kita harus menghormati madzhab, aliran atau faham saudara kita seagama, lepas dari persoalan apakah kita setuju atau tidak terhadapnya.

2. Bagaimanakah kita harus menterjemahkan dalam kehidupan keumatan kita kebebasan penuh yang diberikan Tuhan seperti tersurat dalam firman-Nya: “Al-Haqqu min Rabbikum, fa man sya-a falyu’min fa man sya-a falyakfur” (kebenaran itu dari Tuhanmu, siapa yang mau silahkan beriman dan siapa yang mau silahkan kufur). Kalau Tuhan sendiri memberikan kebebasan untuk bersikap kufur terhadap-Nya, lalu berhakkah kita –apapun kualitas dan kedudukan kita, swasta maupun formal—mengurangi dan membatasi kebebasan orang lain untuk berbeda faham dengan kita. Apakah bisa dibenarkan dari sudut pandangan syar’iyah, bila kita menempatkan lembaga kekuasaan duniawi di atas Tuhan untuk mengontrol dan mengatur kepercayaan, keyakinan dan keberagamaan seseorang?

3. Bagaimana kita menerapkan firman Tuhan: “La yajrimannakum syana-anu qawmin ‘ala alla ta’dilu”. (Janganlah sampai ketidaksenangan kalian terhadap sesuatu kaum membuat kalian berlaku tidak adil). Adilkah kita, misalnya, kalau kita di satu pihak menuntut kebebasan untuk mengikuti agama dan faham yang kita yakini tetapi di pihak lian kita membiarkan atau bahkan menuntut pembatasan kebebasan orang lain untuk mengikuti keyakinan dan faham mereka sendiri?

4. Apakah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi Muhammad SAW: La rahbaniyata fi’l – islam (tak ada kepadrian dalam Islam). Apakah sekedar menolak keharusan hidup “celibat” atau membujang seumur hidup bagi pada padri, ataukah juga menentang adanya semacam tindakan inquisisi oleh lembaga keulamaan atau aparat pemerintahan untuk menentukan keberimanan atau kekufuran, kebenaran atau kesesatan seseorang?

Sebenarnya masih banyak nash-nash syar’iyah yang dapat kita hadapkan dengan masalah keragaman faham di kalangan sesama umat. Akan tetapi kalau jawaban-jawaban terhadap pertanyaan di atas benar, yaitu:

(1) Setiap kita bebas menganut faham keagamaan yang kita yakini, dan tidak boleh ada tindakan-tindakan pemaksaan untuk meninggalkan atau menganut sesuatu faham keagamaan,

(2) Tidak ada satu lembaga duniawi pun yang berhak mengurangi kebebasan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk memilih keyakinan hidupnya,

(3) Tidak ada satu lembaga apapun, swasta atau resmi, yang berhak menentukan atau memaksakan faham keagamaan atau bentuk keberagamaan seseorang, dan

(4) Kita harus berlaku adil, tidak boleh bersikap dzalim terhadap kelompok atau komunitas apapun walaupun kita tidak setuju dengan anutan mereka, pendekatan terhadap keragaman bukanlah melalui kekuasaan akan tetapi melalui pengertian. Kalau tokh kita menganggap mereka menyimpang dari jalan Tuhan, kewajiban kita hanyalah dakwah melalui hikmah (kebijaksanaan), mau’idhat al-hasanah (peringatan yang baik) dan mujadalah billati hiya ahsan (dialog yang baik), atas dasar simpati dan bukan antipati, cinta dan bukan benci, persuasi dan bukan persekusi. (Wallahu a’lam bishshawab).

Mimbar Ulama, No. 102 Tahun X – Sya’ban 1406 H / April 1986 M


  - Makalah ini diambil dari Musyawarah Intern Umat Islam diselenggarakan oleh Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Departemen Agama, tanggal 11-12 Februari 1986 di Jakarta


 

No comments:

Post a Comment