Majlis Ulama Indonesia telah beberapa kali memfatwakan sesuatu kelompok sebagai menganut ajaran yang sesat. Pengeluaran fatwa semacam itu MUI, sampai batas tertentu, bisa kita mengerti walaupun masih bisa dipertanyakan apakah secara teologis MUI mempunyai hak untuk itu. Baiklah, rupanya lembaga ini telah memungsikan dirinya sebagai pengawal akidah umat Islam.
Fenomena sesat-menyesatkan adalah sebuah fenomena yang biasa terjadi di kalangan umat beragama sepanjang sejarah, di manapun dan kapanpun. Masing-masing penganut agama atau aliran agama, apapun agama atau aliran agama yang mereka anut, yakin sepenuhnya bahwa agama atau aliran agama yang mereka anutlah yang benar. Dengan fatwa menganggap sesat MUI mengingatkan agar umat Islam berhati-hati jangan sampai mereka tersesatkan oleh aliran yang dianggap sesat tersebut. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah dengan fatwa MUI itu para penganut aliran yang sesat itu tidak punya hak hidup di atas muka bumi ini dan di negara kita ini?
Sebenarnya masalah keyakinan adalah masalah yang sangat pribadi. Kita tidak bisa dan tidak mungkin bisa memaksakan pada seseorang untuk menganut atau tidak menganut sesuatu keyakinan, baik agama maupun bukan agama. Tidak ada, tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada satu kekuatan apapun yang berhak dan mampu mengatur hati manusia.
Kebebasan berkeyakinan melekat pada eksistensi manusia dan karena itu manusia dibebani tanggung jawab atas pilihannya. Kebebasan itu adalah anugerah Tuhan yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Allah s.w.t. berfirman dalam al-Quran: “Dan katakanlah kebenaran dari Tuhan kalian maka barangsiapa mau silahkan beriman dan barangsiapa mau silahkan kafir” (Al-Kahfi 29). Dengan demikian bukankah merampas kebebasan manusia yang bersifat primordial dan eksistensial itu sama artinya dengan merampas otoritas Tuhan?
Kalau manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak maka apakah manusia yang menganut suatu agama dipaksa hanya menganut hanya satu penafsiran tentang ajaran-ajaran agama itu? Saya rasa pertanyaan ini tidak realistik karena dalam kenyataan tidak pernah ada penafsiran tunggal terhadap ajaran-ajaran agama. Tidak hanya tentang masalah-masalah furu’iyah (ranting) tapi juga masalah-masalah ushuliyah (pokok). Dalam perspektif agama Islam, perbedaan pemahaman dan penafsiran itu terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah fikih tapi juga dalam masalah-masalah akidah. Perbedaan antara sunni, syiah dan mu’tazilah adalah perbedaan dalam masalah akidah. Begitu pula perbedaan antara para filosof, mutakallimin dan sufi. Perbedaan itu menyangkut tentang konsep mengenai Tuhan, kenabian, kehidupan akhirat, tentang sorga dan neraka, tentang kejadian alam dan sebagainya.
Dibandingkan dengan pendapat para filosof islam yang seperti dikritik oleh al-Ghazali berpendapat bahwa alam ini azali, pengetahuan Tuhan terbatas hanya pada masalah2masalah kulliyah (universal) tidak mencakup masalah-masalah juz’iyah (partikular), kehidupan akhirat bersifat ruhaniyah tidak jasmaniyah, maka penafsiran tentang khatamun nabiyyin sebagaimana dianut oleh Jemaat Ahmadiyah belumlah terlalu mendasar.
No comments:
Post a Comment